Big Questions (2)

1319 Kata
Mujur sekali. Sebab akal sehat Stephanie rupanya masih bekerja dengan baik, dan terbilang sukses untuk membungkam mulutnya sendiri. Sebaliknya, dia mesem kecil saja. Dia sadar, yang tadi sempat terpikir olehnya itu merupakan kalimat retorik semata. Oleh sebab itu, sangat tidak penting penting untuk ditanyakannya kepda Daniel. Dia juga sudah tahu kok, jawabannya. Dan bisa jadi jawabannya nanti malahan berpotensi membuat dirinya dilanda patah hati berkepanjangan. Dengan visual Daniel yang amat menawan, sikap yang sehangat ini, otak cemerlang yang dimilikinya, latar belakang keluarga ditambah dengan pendidikan yang sempat ia enyam, serta jabatannya yang sekarang, bisa jadi, Para Cewek di luar sana bakal berjingkrak-jingkrak gembira kalau diajak menemani dirinya untuk sekadar sarapan pagi, brunch, makan siang, ngopi sore, hingga makan malam bersama. Apalagi jika hanya berdua saja. Barangkali malah banyak yang mengajukan diri atau merengek, demi mendapatkan kesempatan macam itu. “Rumahmu di daerah Setia Budi kan, Steph? Sebelum aku drop kamu di rumah, kita singgah ke warung soto gebrak dulu, ya? Kita makan di sana, mau kan?” Daniel menawarkan. Nyaris tawa Stephanie meledak. Ia langsung membayangkan, Seorang Daniel Marcello Sanjaya, Sang Putra Mahkota dari Bapak Agustin Reynand Sanjaya, makan di warung tanpa pendingin ruangan, duduk di bangku papan yang demikian keras, tanpa sandaran, menyetir sendiri melewati jalan-jalan di sekitar warung yang lumayan sempit, namun cukup ramai oleh lalu-lalang kendaraan bermotor. Hm. Sekejap saja Stephanie mendapati bahwa ini merupakan ide bagus. Pikirnya, boleh lah, ya, sekali-kali Daniel merasakannya juga, supaya dia tahu, bagaimana perjuangan Stephanie setiap harinya, setiap berangkat dari rumah dan pulang dari kantor, dengan kendaraan yang ukurannya tidak mungil itu. Khususnya pada pagi hari. Pasalnya di dekat situ kan, ada beberapa sekolah. Tahu sendiri kan, kebiasaannya orang kita? Satu anak diantar dengan satu mobil! Berjuang keluar dari area sekitar rumahnya menuju kantor, tak ubahnya olahraga pagi, buat Stephanie! “Nggak keburu lapar?” tanya Stephanie. Daniel menggeleng singkat. “Bisa ditahan, sih. Sengaja, biar bisa makan dua porsi nanti. Kamu sendiri, sudah telanjur lapar, nggak?” Daniel balik bertanya. “Enggak. Ini, roti yang tadi dibeliin saja masih ada. Belum tersentuh.” Berkata begitu, Stephanie menawarkan roti pada Daniel, yang segera ditolak dengan gelengan kepala. “Good. Kamu makan saja, buatganjal perut.” Stephanie tak menjawab. “Ngomong-ngomong, Steph..  ini, nggak ada yang marah, kan, ya, kalau kita makan bareng?” tanya Daniel kemudian. Stephanie tertawa menimpalinya. Di telinganya, pertanyaan Daniel sama saja dengan permintaan untuk sebuah konfirmasi, “Steph, kamu masih single, kan? Belum taken?” “Kok malahan ketawa Steph? Aku kan jaga-jaga, jangan sampai besok pagi ada Orang yang datang menerobos masuk ke ruanganku, ngamuk-ngamuk di kantorku, memperingatiku supaya jangan menggoda Pasangannya. Itu... nggak keren. Bisa heboh, seluruh Sanjaya Building. Aku nggak tertarik untuk jadi ngetop dengan cara begitu. Bukan aku banget,” gurau Daniel. Daniel penuh maksud, memakai kata ‘Pasangan’ supaya netral. Pasangan itu kan, kata yang bisa dipakai untuk Orang yang telah menikah maupun masih pacaran. Pastinya dia nggak mungkin, kan, seenak jidatnya bertanya apakah Stephanie sudah menikah atau belum? Sejak kapan, menanyakan status seseorang dikategorikan pertanyaan yang pantas? “Dari pihak saya sih, nggak ada yang marah, nggak tahu kalau dari sisi kamu.” Entah setan centil mana yang merasuki Stephanie saat ini, bisa-bisanya dia melontarkan kalimat memalukan ini. Berani kurang ajar, pula, mengganti panggilan ‘Daniel’ dengan ‘kamu’. Daniel terdiam barang lima detik, membuat Stephanie langsung serba salah. Gadis itu bertanya-tanya dalam hati, apakah Daniel mendadak teringat Someone special-nya, ataukah justru tersinggung dengan pertanyaan barusan, dan berpikir bahwa dirinya adalah Seorang Cewek Penggoda?  “Eh, maaf, Dan, salah ngomong. Barusan itu maksudnya cuma bercanda, kok,” ralat Stephanie cepat, demi menyelamatkan harga dirinya yang tanpa sengaja dibantingnya barusan. Kalimat pengganti dari apa yang sejatinya hendak dilontarkannya, “Huh, kuberitahu, nggak terpikir sama sekali olehku buat menggodamu. Kurasa, mulutku tadi memang sedikit lancang dan tidak konsultasi dulu dengan otakku, jadinya asal ngejeplak! Begini saja, forget what I said!” Daniel justru terbahak. “Ha ha ha.., santai saja Steph. By the way, jawabanmu bikin aku lega. Minimal, aku terhindar dari kemungkinan terkenal lantaran citra buruk, yaitu Tukang tikung,” terang Daniel yang masih saja tergelak usai mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Kening Stephanie otomatis berkerut, nyaris dia berucap, “Astaga! Tukang tikung? Kejauhan banget deh mikirnya! Ini sekadar makan malam, lho. Dan tempatnya juga di warung sederhana, bukan candle light dinner yang superr omantis itu. Please, deh!”. Untung dia sempat menelan kembali ucapannya ini sebelum sukses dilontarkannya. “Kamu lucu, ya, Dan. Jauh dari kesan Seorang Bos galak. Di kantor, pasti semua Anak buahmu enjoy banget kerjanya, dan nggak pernah stress,” kata Stephanie kemudian. Daniel mendadadak berdecak. “Ck! Steph, hari ini kamu sudah mengatakanku lucu, dua kali. Sekali lagi, pasti kukasih kamu hadiah piring cantik. Bukan cuma satu seperti di mini market. Kamu boleh minta satu lusin, atau malahan sama pabrik piringnya sekalian. Terus, kata siapa aku nggak galak?” timpal Daniel. Hampir Stephanie menimpali, “Tuh, kan, kamu luc..” Untung saja, kali ini mulutnya tersinkronisasi dengan otak. Boleh jadi, gara-gara Daniel menyiratkan dirinya galak. Ngeri-ngeri sedap juga dia. Dia lagi nggak berminat mencari musuh atau dibentak. Malu, tahu! Enggak banget, kan? Di bentak sama Cowok charming yang kebetulan Prospekku? Jangan sampai deh! Batin Stephanie. “Steph, dari kecil kamu tinggal di daerah Setia Budi?” secepat kilat Daniel beralih ke topik lain. Parah deh, seenaknya Daniel melompat dari satu topik ke bahasan lainnya. Pertanyaan standard sebetulnya. Herannya, pertanyaan itu ternyata sanggup membuat d**a Stephanie sesak seketika. Daniel memalingkan wajahnya pada Stephanie, lantaran menyadari Stephanie terdiam. “Hei.., ada apa?” tanya Daniel penuh perhatian. Bisa jadi, dia menangkap ekspresi wajah Stephanie yang berubah. Daniel langsung menengarai ada yang salah dalam pertanyaannya. “Nggak apa-apa,” ucap Stephanie sewajar mungkin. Daniel menghela napas panjang, lalu diam. Lamaa... sekali, bahkan rasanya seperti ribuan tahun cahaya, lamanya. Kalau saja Penyiar radio tidak berceloteh, pasti suasana di dalam mobil amatlah senyap. Beda tipis dengan situasi kuburan di malam hari. Stephanie sungguh tak enak hati dan berbincang dengan dirinya sendiri dalam hening. Apakah dia tersinggung? Dan mengapa aku harus menjawab?    “Steph,” panggil Daniel dengan lembut. Stephanie memalingkan wajah. Tatap mereka bertemu sesaat, sebelum Daniel mengarahkan lagi tatapannya ke jalanan di depan. “Aku minta maaf, kalau pertanyaanku tadi melanggar privasimu. Aku nggak bermaksud begitu kok.” Stephanie baru akan menyahut tetapi Ia melihat gelagat bahwa kalimat Daniel belum sepenuhnya usai. “Aku hanya.., nggak mau mengulang kesalahan yang sama. Kesalahan yang pernah aku perbuat di masa lalu,” ujar Daniel. Tersirat penyesalan di wajah yang sedikit muram itu. Stephanie menyadari perubahan mimik muka Daniel. Dan banyak pertanyaan yang seketika memenuhi kepalanya. Pertanyaan yang membuat dirinya ragu, akankah mungkin untuk diungkapkan, kapan saatnya, dalam kapasitas apa dan akankah ada jawabannya? “Nah, kita hampir sampai, di depan belok kiri, kiri lagi, lalu ke kanan, betul, kan? Google map bilang, begitu.”  Sial, baru saja Stephanie memasang telinga untuk menyimak penuturan Daniel selanjutnya, Cowok itu malah sudah melompat ke bahasan lain. Dasar Cowok random! Keluh Stephanie dalam hati. Stephanie sebetulnya paling benci dibuat penasaran macam ini. Dia bertekad, pasti akan ditanyanyainya Daniel saat makan nanti. Baru memikirkannya saja, sudah langsung timbul niat jahilnya. Ya, Stephanie berniat untuk memosisikan Daniel agar duduk di bangku yang menghadap ke arah jalan, sehingga tidak akan konsentrasi karena sebentar-sebentar pasti terkaget dengan bunyi gebrakan yang dilakukan oleh Sang Penjual soto gebrak setiap kali usai menyiapkan hidangan soto ke dalam mangkuk. Belum-belum, hati Stephanie sudah merasa senang. Seolah-olah dirinya tengah menjelang sebuah kemenangan. Hasil yang sempurna! Sebab Stephanie berpikir dalam posisi yang demikian Daniel pasti takkan pernah tahu, kan, kapan tepatnya Si penjual akan menggebrakkan botol ke kayu? Karenanya Daniel pasti akan terkaget-kaget berulang kali. Nah, momen Daniel terkaget itu, akan dimanfaatkannya untuk mengorek berbagai hal tentangnya, terutama keterangannya yang masih serba menggantung ini. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN