Who Is The Guest?

2192 Kata
“Hm. Akhirnya matang juga, dan siap untuk dihidangkan. Not bad, biarpun sifatnya darurat dan hanya memanfaatkan bahan makanan yang ada di kulkas,” ucap Daniel puas, usai mencicipi masakan buatannya. Diangkatnya panci kala merasa yakin bahwa cita rasa masakannya sudah pas. Mendadak saja sebuah distraksi menjelang. Ketukan di pintu unit apaertemennya terasa begitu mendesak. Amat keras, juga tanpa henti. Daniel mengerutkan kening. Daniel segera meletakkan sup daging yang baru dimasaknya di atas meja pantry, bersebelahan dengan salad buah, nasi dan sayuran. Aroma sedap menguar, menerpa indra penciumannya. “Sebentar!” seru Daniel sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan yang telah mengetuk pintu dengan amat sangat tidak sopan begitu.   “Siapa sih? Masa iya Si ... Inge?” Gumam Daniel spontan. Lantaran terpengaruh penuturan Stephanie, prasangka ini membersit liar di pikirannya. Namun Daniel buru-buru menepisnya. Pikirnya, bagaimana bisa Inge sampai ke lantai unitnya yang ini? Ya meskipun, dia kemudian tersadar, buat Seorang Inge, apa sih yang tidak bisa dilakukan? Sedangkan untuk membuktikan bahwa dirinya lebih unggul dari Ferlita saja, Putri Tunggal dari Pasangan Pak Victor dan Bu Chelsea itu mau-maunya kok, menempuh jarak ribuan kilometer dan mencicipi tinggal di Asrama dari Universitas tertua di kota Kaifeng, pula! Daniel menggelengkan kepalanya dan setengah bergumam, “Tapi firasatku bilang itu bukan Inge. Tapi Siapa? Nggak sopan banget sih!” “Steph, kamu pesan gas atau air mineral, ya? Kelihatannya masih ada semua,” teriak Daniel usai menyingkap kain penutup galon air di atas dispenser. Seingat Daniel, hanya Penghuni dari lantai bersangkutan, Pihak Pengelola gedung dan Pemilik kios di bawah, yang memiliki kartu akses ke tiap lantai di apartemen ini. Pemilik kios juga dibatasi, hanya mereka yang menjual air mineral serta gas saja. Untuk kios makana, tidak diijinkan memiliki access card yang sifatnya umum tersebut, alias bisa dipergunakan ke semua lantai. Belum ada sahutan dari Stephanie, walau Daniel memperkirakan bahwa Gadis itu sudah selesai mandi. “Steph!” seru Daniel lebih keras. Tetap saja tidak ada sahutan apapun kecuali bunyi hair dryer. Sepertinya, Stephanie yang sudah selesai mandi itu sedang mengeringkan rambutnya. Apa mungkin Security? Mau kasih tahu soal apa? Masa nggak sopan begitu? Harus ditegur dan dilaporkan nih! pikir Daniel. Rasa penasaran membuat Daniel segera membuka pintu yang memang tidak terkunci semenjak dia masuk tadi tanpa melihat lebih dulu melalui view finder. Telinganya sudah lumayan capek mendengar suara ketukan yang tanpa jeda itu. Pintu terbuka. Seorang Laki-laki berdiri di depan Daniel. Wajahnya jauh dari kesan ramah. Tepatnya, wajah itu mencerminkan Seseorang yang siap untuk mengajak duel dengannya. Daniel terusik. Dia merasa tidak punya Musuh kok! “Ya? Cari Si.. a.. pa?” pertanyaan Daniel terbata-bata, ketika berusaha mengingat-ingat di mana dia melihat Sosok yang kini berdiri di depannya. Sosok yang sepertinya familiar baginya. Ya, bukankah Wajah dari Lelaki itu cukup mirip dengan Gadis yang dicintainya, Stephanie? Daniel mengumpulkan segenap memory-nya. Dia hampir dapat menebak dengan tepat Sosok yang berdiri di depannya, namun dia kembali bertanya, “Anda Siapa?” Bukan jawaban yang didapat oleh Daniel, melainkan bogem mentah ke yang melayang ke wajah tampannya diiringi dengan bentakan, “b******k! Jadi benar ini tempat tinggalmu! Berani-beraninya kamu sembunyikan Stephanie di sini!” Daniel yang terkaget, tak sempat menghindar dari serangan mendadak itu. Pukulan itu pas mengenai pipinya, meninggalkan kenang-kenangan berupa memar di sana. Belum sempat Daniel mengatakan apa-apa, sebuah pukulan sudah melayang lagi ke area antara pipi dan hidungnya. Namun kali ini, pukulan itu meleset hingga ke ujung bibirnya, menyebabkan bibirnya berdarah. “Apa-apaan ini? Ada masalah apa?” teriakan Daniel sama sekali tidak digubris. Bobby sudah mendorong tubuh Daniel sampai terjerembab ke sofa, menimbulkan suara yang berisik. “Mana Steph? Bilang sekarang juga! Dasar nggak bermoral, menyembunyikan Adikku di sini!” teriak Bobby dengan nada tinggi. Dia masih berusaha merangsek terus. Sekarang Daniel sepenuhnya ingat, dia juga pernah dua kali melihat Bobby, yakni di Bandara serta di kediaman Stephanie. Meski pada dua kesempatan itu, dia hanya dapat melihat dari arah samping, dan dari jarak yang terbilang jauh juga.   “Tunggu! Aku jelaskan! Ini salah paham!” teriak Daniel yang berusaha melindungi kepalanya dari amukan Sang Tamu tak diundang.   Pintu kamar utama terkuak. Stephanie, yang telah usai mengeringkan rambutnya, terusik mendengar suara berisik dari arah ruang tamu. Masih mengenakan jubah mandi, dia berlari keluar dari kamar, tanpa mengenakan alas kaki lagi. Dibiarkannya rambutnya tergerai, karena dia memang belum sempat mengikatnya. “Dan..., ada apa sih?? Kok berisik am.. at.” Sama seperti Daniel, Stephanie juga tak menyangka sama sekali akan kedatangan Bobby. Suara Gadis itu sampai tersendat. Apa yang terpampang di depan matanya sungguh membuatnya tertegun. Daniel yang terduduk di sofa sambil mengusap ujung bibirnya dan memandang bingung pada Bobby, serta Bobby yang posisinya membelakangi pintu kamar, tengah berkacak pinggang dengan marah. “Mana Steph? Kamu sudah merusak dia? Dasar kurang ajar! Bajixxxn tengik!” Teriak Bobby lagi. Kelihatannya, Bobby memang belum menyadari kehadiran Stephanie. Membayangkan Adiknya yang dinilainya masih polos dan lugu itu pasti sudah diperdaya oleh Seorang laki-laki yang dianggapnya merupakan Penjahat Wanita, darah Bobby rasanya menggelegak. Dia tak rela. Dan Ia sungguh-sungguh mau memberi pelajaran berharga kepada Daniel karena telah berani membodohi Sang Adik. Pukulan Bobby siap melayang lagi, mengenai Daniel yang tengah memikirkan cara untuk mengakhiri kesalahpahaman ini. Daniel sungguh-sungguh dalam posisi tak dapat membalas, setelah tahu bahwa yang datang adalah Bobby, Kakak tiri dari Stephanie. Daniel hanya dapat bertahan dan menghindar sebisa mungkin.   “Kak Bobby, jangan!” teriak Stephanie. Celakanya suara Stephanie bukannya membuat Bobby terpecah perhatiannya, melainkan justru membuatnya kian kalap saja. Apalagi, ketika dia menoleh ke asal Suara dan mendapati Adiknya berpenampilan macam itu. Hanya mengenakan jubah mandi. Rambut yang belum sepenuhnya kering dibiarkan terurai hingga ke pundak. Sungguh menyiratkan sesuatu hal yang mengerikan bagi Bobby. Segala pemikiran buruk sudah memenuhi kepalanya. Seolah-olah, Stephanie baru saja usai membersihkan badan seusai bercinta dengan Daniel. Rahang Bobby mengeras. “b******k! Laki-laki b******k! Kamu sudah apakan Stephanie! Kamu berhasil memperdaya dia? Selama ini kamu sembunyikan dia di sini? Kamu...! Dasar Laki-laki b***t! Sudah berapa kali kalian...!” bentak Bobby geram, walau tak selesai mengucapkan kalimat yang memang dia sendiripun tak tega untuk mengucapkannya. Seiring bentakannya, Bobby kembali menyarangkan sebuah pukulan di lambung Daniel. Pukulan yang menghalangi Daniel untuk menjawabnya. Dia hanya mampumeringis, merasakan mual yang menjalar ke atas, menyebabkan dirinya begitu ingin muntah. Stephanie tercekat melihat Kekasihnya dihajar seperti itu tanpa membalas sama sekali.   “Kak Bobby! Kak Bobby salah paham. Daniel pinjamin unitnya buat aku di sini. Dia juga nggak tinggal di sini, tapi di unitnya yang lain!” Teriak Stephanie.   Namun Bobby tak mau menggubrisnya. Dia terus mencengkeram kerah kemeja Daniel. Hati Stephanie terasa nyeri melihat pemandangan itu. Dia tahu, Daniel pasti serba salah. Daniel tak mungkin membalas, tetapi juga sudah kesulitan menghindari serangan Bobby, di dalam posisi terdesak macam itu. “Rasakan ini! b******k! Berani-beraninya kamu mengajak Stephanie tinggal satu atap denganmu!” Dada Stephanie terasa sesak. Dia tak rela Kekasihnya dianiaya macam itu di hadapannya. Apalagi dituduh yang macam-macam. “Hentikan, Kak Bobby! Dari tadi aku sudah bilang, Daniel nggak tinggal di sini. Aku tinggal sendirian di sini. Dan jangan berpikir bahwa kami berdua sudah melakukan hal-hal terlarang! Kak Bobby kejauhan mikirnya! Daniel bukan Cowok macam itu!” bela Stephanie dengan suara yang mulai serak karena menahan tangis. Kak Bobby jahat. Seenaknya menuduh kami berdua kebablasan. Itu sama saja bukan hanya menyudutkan Daniel, tetapi juga aku! Masa iya aku selemah itu sampai menyerahkan milikku yang paling berharga, meski kepada Cowok yang aku cintai, sebelum waktunya? Jerit hati Stephanie. “Apa maksudmu menyembunyikan Stephanie di sini? Jawab!” Stephanie menggelengkan kepalanya dengan perasaan yang bercampur aduk. Sedih, terluka, kecewa serta marah berpadu. Tepat saat Bobby akan memukul Daniel lagi, Stephanie menghambur ke antara mereka berdua, menyebabkan pukulan keras Bobby yang semestinya ditujukan ke wajah Daniel, terhalang kepala Stephanie. Pukulan itu mendarat di tulang pipi kiri Stephanie, dan menyebabkan Gadis itu terhuyung dan membentur dinding di samping sofa.   “Steph!” seruan panik Daniel dan Bobby menyatu. Daniel lebih dulu menjangkau tubuh Stephanie, memeluknya dengan amat protektif.  Tidak dipikirkannya lagi rasa sakit di kepala dan tubuhnya. Semuanya tidak ada artinya, dibandingkan keamanan Gadis yang dicintainya itu. Daniel memergoki Gadis itu meringis menahan sakit, tetapi tangannya masih terulur menyentuh ujung bibir Daniel yang masih meneteskan darah. Daniel mengusap-usap kepala Stephanie dengan kebingungan yang memuncak. Dia mendengar dengan jelas barusan, suara sesuatu yang berbenturan dengan dinding. Dia masih sangat berharap, sesuatu itu bukanlah kepala atau lengan Stephanie. Tetapi begitu menyaksikan pipi kiri Stephanie yang memar, harapan Daniel otomatis memudar. Kepanikan luar biasa yang menguasainya, nyaris membuat kepalanya serasa mau meledak.    “Steph! Sayang, kamu nggak kenapa-napa? Kepala kamu, badan kamu, nggak kenapa-napa, kan?” dielusnya dengan lembut dan hati-hati, pipi Gadis itu, seolah takut kalau-kalau sentuhan tangannya akan menambah rasa sakit yang diderita oleh Stephanie.   Meski terlihat meringis menahan sakit, Stephanie menggeleng lemah. Gadis itu malahan berkata lirih, “Dan, bibir kamu berdarah.”   Betapa gadis itu berusaha keras untuk melawan rasa pening yang menyerang kepalanya. Dirasanya, kepalanya berdenyut, makin lama makin keras, betapapun Dia mencoba untuk terus mengabaikannya. Lalu pandangan  matanya perlahan memburam. “Sayang, kamu benar-benat nggak kenapa-napa? Kamu bohong, kan? Itu pipi kamu memar Sayang!” desak Daniel, lalu menciun dahi Stephanie dengan amat lembut dan hati-hati. “Hei! Apa-apaan itu cium-cium Adikku! He Lelaki bejad, jangan kurang ajar kamu!” Daniel tidak peduli. Demikian pula dengan Stephanie. Dirasanya teriakan Bobby hanya menambah kadar rasa pening kepalanya saja. “Lepasin! Lepasin Stephanie! Steph, pulang! Pulang sekarang, sama aku! Tinggalkan tempat Laki-laki b******k ini! Jangan kamu terperdaya sama dia! Dia ini nggak bisa dipercaya. Kamu dalam bahaya Steph, kalau berada dekat-dekat dia.” Bobby berusaha memisahkan Stephanie dari Daniel. “Apa-apaan ini?” Daniel masih berusaha untuk mempertahankan Stephanie. Kedua tangannya masih melingkari pundak Gadis itu, dan memangkunya. Dia tercekat, ketika merasakan tubuh Stephanie memberat, dan terkaget saat mendapati ada darah serta lebam di dekat pelipis kanan gadis itu. Ada erangan samar dari celah bibir Stephanie. “Steph! Steph Sayang, bangun!” Tidak ada reaksi dari Stephanie. Daniel bertambah cemas. Akumulasi kemarahannya yang sejak tadi dia tahan-tahan, akhirnya meledak. Dia sudah tak berminat untuk memperlihatkan rasa segan lagi kepada Bobby. Ini tentang Stephanie. Bagi Daniel, Siapa saja yang menyakiti dan membahayakan Stephanie, harus berurusan dengannya. “Lihat, hasil perbuatanmu!” bentak Daniel dengan mata nyalang, tak peduli lagi Orang yang ada di depannya ini adalah Kakak tertua dari Stephanie, Gadis yang dicintainya. Seseorang, yang bilamana dirinya akan meminta ijin untuk menikahi Stephanie kelak, harus dihadapinya.   Melihat apa yang terpampang di depan matanya, Bobby bagai disengat lebah. Dia tak menyangka sama sekali akan seperti ini jadinya. “Steph!” teriak Bobby sambil menguncang tubuh Adiknya. Daniel menepis tangan Bobby dengan kasar. Rahang Daniel terlihat mengeras. Dia menggertakkkan giginya saking marah. “Pelan-pelan! Jangan sakiti dia!” bentak Daniel kemudian.   Untuk sesaat, Bobby terperangah. Jauh dari perkiraannya bahwa kejadiannya bakal berbalik begini. Padahal sewaktu tadi dia datang, keyakinannya sudah sampai  ke level tertinggi. Pikirnya, dengan menghajar Daniel habis-habisan, mata Stephanie bakal terbuka lebar dan menyadari bahwa Daniel tidak layak berdampingan dengan Adiknya itu. Tadi dia sudah yakin dapat menjauhkan Stephanie selamanya dari Daniel. Dan tadi juga Bobby telah membayangkan bahwa Stephanie akan langsung percaya apa yang akan disampaikannya mengenai Daniel dan pulang ke rumah bersamanya. Kini menghadapi kenyataan yang bertolak belakang dengan harapannya, Bobby terbengong.   Steph, di luar sana, masih ada puluhan Laki-laki yang jauh lebih baik dan lebih pantas untuk bersanding denganmu. Dan tentunya, Laki-laki itu bukan Daniel, pikir Bobby sewaktu akhirnya berhasil melacak keberadaan Stephanie yang ditengarainya tinggal di apartemen Daniel. Tak heran, Bobby segera mencari berbagai cara untuk dapat mengajak Stephanie pulang. Salah satunya, menghubungi Koleganya yang mempunyai unit di lantai yang sama dengan Daniel, sehingga dia bisa memakai access cardnya.   Mengenang kronologi bagaimana dirinya sampai ke detik ini, Bobby tersentak. Dia sempat berharap apa yang dilihatnya ini tidak nyata.    “Ya ampun, Steph! Jangan sampai kamu kenapa-napa. Aku nggak bisa memaafkan diriku sendiri kalau sesuatu yang buruk terjadi padamu,” sesal Bobby lirih. Mendengar perkataan Bobby, Daniel menatapnya dengan sinis. “Aku juga nggak akan pernah memaafkanmu kalau sampai dia kenapa-napa,” ancam Daniel dengan berani   Berani sekali Bad Guy satu ini!  Dia pikir dirinya Siapa, berani bertingkah arogan macam itu! pikir Bobby yang menahan kesalnya karena sama sekali tak mempersiapkan antisipasi bagaimana jika rencananya meleset, apalagi menghadapi keadaan yang berbalik menempatkan dirinya sebagai Orang yang bersalah seperti ini. Hampir saja ia terpancing marah. Seketika bayangan wajah Pak Tristan terlintas begitu saja di pikirannya, membuat Bobby tersentak. Dia bagai terlecut kesadaran dia harus cepat bertindak. Dia takut sesuatu yang buruk akan menimpa Stephanie, adik Sedarahnya. Satu-satunya Adik Perempuan, dan yang mestinya paling dilindunginya itu.   “Sini, aku bawa dia ke rumah sakit sekarang!” Bobby berusaha mengambil Stephanie dari rengkuhan Daniel. Namun kali ini, jelas dia melakukannya dengan sangat hati-hati. Dan herannya, Daniel pun terdorong untuk membiarkan Bobby membopong Stephanie. Ia bahkan bergerak cepat, membuka kulkas dan menyambar wadah es batu dari sana. Pandangan waspada Bobby seolah bertanya, “Buat apa?” Seakan-akan, dia curiga Daniel akan membahayakan keadaan Stephanie. “Pikirmu buat apa? Supaya luka di pelipisnya nggak terus-terusan berdarah,” kecam Daniel bagai Seorang Mentalist sehingga tahu apa yang ada di pikiran Bobby. **                                                                                   ^ *  Lucy Liestiyo  * ^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN