No Matter What... (1)

2040 Kata
Toh, pada akhirnya Bobby dan Daniel bahu membahu membawa Stephanie ke rumah sakit yang terdekat. Di sepanjang perjalanan, keduanya membisu. Daniel hampir tak sudi untuk naik ke mobil Bobby kalau saja Bobby tidak tergerak untuk sedikit merendahkan hatinya dan berkata datar, “Nanti kita lanjutkan urusan kita. Itu sama sekali belum tuntas. Aku masih harus membuat perhitungan denganmu. Tapi sekarang, keselamatan Stephanie yang lebih penting.”  Dan bagi  Daniel, apa yang diucapkan oleh Bobby itu sudah lebih dari sebuah permintaan maaf yang tak terucap. ** Mata Ardi memejam. Dia menyandarkan tubuhnya pada salah satu dinding rumah sakit. Sementara tak jauh darinya, ada dua Laki-laki dengan ekspresi yang serupa. Sama-sama berharap-harap cemas, curiga, marah sekaligus menyesal tergurat di wajah mereka, tetapi keduanya saling tak bicara. Tanpa harus bertanya lebih detail serta mendapati luka di dagu, bibir dan pipi Daniel sementara keadaan Bobby jelas baik-baik saja, Ardi dapat meraba apa yang telah terjadi di antara keduanya. Daniel pasti tidak membalas sedikitpun serangan dari Kak Bobby. Entah karena dia segan, atau karena ada Stephanie bersamanya, pikir Ardi dengan penat yang menggayuti perasaannya. Ardi benar-benar sedang tak tertarik untuk memikirkan lebih lanjut kronologi peristiwa ketemunya Bobby dengan Stephanie. Bagi Ardi, yang terutama dan harus dipikirkannya adalah Stephanie. Yang lain-lain menyusul. Nomor ke sekian.   “Kak Ardi,” panggilan Seseorang membuat Ardi membuka matanya. Ia memalingkan wajah dan mendapati Siapa yang barusan memanggilnya.   “Hei, kamu sudah datang Ryan,” kata Ardi lirih. Ardi mengangguk pelan. “Non Steph sakit apa, Mas Ardi? Selama ini Non Steph tinggal di mana?” berondong Bi Sum yang membawakan tas kecil yang tampaknya berisi pakaian Stephanie. Segera setelah mendapat kabar dari Ardi yang mengatakan agar dia menjemput Bi Sum di tempat tinggal Stephanie, Ryan memang segera menelepon Bi Sum dan menyampaikan pesan Ardi supaya Bi Sum membawa pakaian ganti dan keperluan sehari-hari untuk Stephanie, sembari meluncur ke rumah Setiabudi. Dari sana, dia lantas menuju ke rumah sakit.   “Kak Ardi, Steph ada di mana sekarang?” tanya Ryan dengan perasaan kalut. “Lagi di ruang tindakan,” jawab Ardi lalu beralih pada Bi Sum, “Bi, nanti tolong gantiin bajunya Non Steph. Tadi pas dibawa kemari dia cuma pakai jubah mandi.”   “Iya, Mas. Tapi Non Steph nggak kenapa-napa, kan? Non Steph jatuh di kamar mandi atau bagaimana sih sebetulnya? Non Steph kepeleset? Lukanya parah?” tanya Bi Sum bertubi-tubi. Wajah Asisten Rumah Tangga yang telah sekian lama mengabdi pada Keluarga Pak Tristan itu membiaskan kekhawatiran yang sangat. Ardi tidak menyahut. Kalau menuruti kata hati, dia ingin mengantarkan Bi Sum masuk, tetapi bagaimana mungkin dia berani mengambil resiko dengan membiarkan Daniel dan Bobby hanya berduaan? Sama saja dia membuka peluang mereka berdua bakal gebuk-gebukan lagi. Bukannya memecahkan masalah, malahan hanya akan mempermalukan mereka saja dan menambah keruwetan.   “Ryan, antar Bi Sum ke dalam. Yang di depan ini, ruangannya. Ryan, kamu mintakan ijin ke Dokternya saja. Bi Sum, bisa kan?” tanya Ardi sambil menunuk ke salah satu pintu yang tertutup. Bi Sum lekas menganggukinya. Dia sudah tak sabar hendak melihat secara langsung keadaan Stephanie. “Ayo, Bi,” ajak Ryan. “Ryan, jangan lama. Setelah kamu memintakan ijin ke Dokter, kamu tolong langsung keluar. Biar Bi Sum saja yang menangani. Aku perlu kamu di sini..” Ardi melirik kesal ke arah Daniel dan Bobby dan berkata lirih pada Ryan, “Buat mengawasi mereka berdua. Kamu pastikan mereka berdua nggak menambah masalah dan mempermalukan diri sendiri, dengan adu jotos di rumah sakit. Aku mau ke toilet, sebentar. Lagi pula, sudah kubilang jangan grusa-grusu, tetap saja ngeyel cari cara sendiri buat menemui dan memulangkan Steph ke rumah. Hh! Nggak begitu caranya.” “Oke, Kak. Nggak akan lama.” Lalu Ryan mengembuskan napas dan berkata dengan nada merendahkan, “Kayak nggak tahu saja, Kakaknya Kak Ardi yang satu itu. Memangnya baru sore ini, jadi Adiknya?” Ardi menggeleng, mencegah Ryan berkomentar buruk tentang Bobby. Dia tidak memerlukan silang pendapat lagi. Dan dia juga tak mau perselisihan Bobby dengan Ryan yang memang belum usai itu, dilanjutkan lagi di rumah sakit, dalam situasi macam ini. ** “Nggak apa-apa, Cleo, semuanya baik-baik saja,” kata Ardi. Ia mengurungkan niat untuk menjelaskan lebih detail bahwa Stephanie terkena gegar otak walau menurut Dokter tingkatannya masuk gegar otak sedang. Dia sendiri tengah dalam keadaan harap-harap ccemas, menantikan berita yagn terbaik. Cleo tidak puas dengan jawaban Ardi. “Ajak dia pulang ke rumah kita Di, please. Sekalian ajak Ryan juga biar mereka berdua bisa mengobrol banyak di sini. Biar aku telepon si Bibik sekarang supaya mempersiapkan kamar buat mereka,” pinta Cleo sungguh-sungguh. Ardi mengembuskan napas, tak sanggup berjanji. “Di,” panggil Cleo pula. “Aku susul saja ke rumah sakit, kebetulan posisiku sekarang juga nggak terlalu jauh dari rumah sakit itu. Pak Dudi, di depan itu belok kiri saja, lewat jalan kecil. Kita ke rumah sakit Sehat Sejahtera,” ucap Cleo pada Supirnya setelah menutup area microphone pada telepon selulernya. Ardi lekas mencegah. “Nanti aku kabari perkembangannya, Cleo. Kamu langsung pulang saja sekarang. Terus langsung istirahat. Kamu pasti capek kan, karena hari ini terpaksa belanja bulanan sendiri,” ucap Ardi seraya menutup pembicaraan.   Ya, sesudah semua hasil pemeriksaan termasuk MRI memastikan Stephanie baik-baik saja, lanjut Ardi,tetapi tentu saja dalam hati. Hanya berselang dua puluh lima menit setelah itu, telepon seluler Ardi kembali berbunyi. Ardi mendapati, Cleo yang menghubunginya. Segera dia menggulir ikon telepon berwarna hijau. “Ya, Cleo. Kamu sudah sampai di rumah?” tanya Ardi. “Di, di sebelah mana?” Cleo justru balik bertanya. “Apanya?” tanya Ardi. “Kamu sama Steph di sebelah mana? Masih di ruang tindakan atau bagaimana sekarang?” tanya Cleo lagi. “Ini, lagi mengurus ruangan untuk rawat inap. Aku dan yang lainnya nggak mau ambil resiko. Jadi biar dia di sini dulu, jadi kalau ada keluhan supaya bisa cepat tertangani. Daniel sama Kak Bobby lagi adu gengsi. Lagi berebut itu, buat membereskan administrasi,” cetus Ardi dengan sebal yang tak tersembunyikan. Terserah deh kalian berdua mau ngapain. Asal jangan memperparah kondisi Stephanie saja. Dan selama nggak berkelahi di muka umum, sebaiknya aku biarkan saja, pikir Ardi kemudian. Sedikit apatis. “Ya, ya, aku sudah melihat mereka, dari jauh,” ucap Cleo. Dia langsung mengenali Dua Orang Laki-laki yang sedang berdiri di ruangan administrasi walau sekadar melihat perawakan mereka dari belakang. “Maksudnya apa?” Ardi melontarkan kalimat bodoh. “Sebentar, ya Di, aku mau samperin mereka dulu. Nanti aku ke sana. Bye,” ucap Cleo yang segera menutup pembicaraan melalui telepon seluler itu. “Cleo, Cleo! Hei! Kamu menyusul ke rumah sakit?” seru Ardi. Sayangnya, ucapannya tak terdengar oleh Cleo. Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan gemas. Cleo, Cleo! Ini kenapa sih, semua pada nggak bisa dibilangin? Sudah Kak Bobby, main seenaknya mendatangi Stephanie, sekarang Cleo juga...! Hhh! Keluh Ardi dalam hati. ** “Masih sakit, kepalanya Dek?” tanya Cleo sambil menggenggam tangan Stephanie dan menepuk-nepuk punggung tangan Gadis itu. “Sedikit,” jawab Stephanie sambil mengangguk lemah. “Selain itu apa lagi yang dirasa?” tanya Cleo. “Pusing saja Kak. Dan agak susah konsentrasi.” “Ya sudah, kalau begitu dicoba untuk istirahat saja,” kata Cleo. “Non Steph, cepat sembuh, ya. Terus, pulang ke rumah. Bibik kangen sama Non Steph.” Stephanie mencoba untuk tersenyum menanggapinya, tetapi gerakan yang minim itu membuat kepalanya pusing lagi. “Non Steph nggak usah takut ya, pokoknya kalau ada Siapa saja yang jahat sama Non, biar Bibik siram air cucian beras, sekalian. Biar tahu rasa. Seperti.., Mbak Hera..,”  ucap Bi Sum, tergagap di ujung kalimatnya. Tampaknya dia sadar bahwa dirinya telah kelepasan bicara. Namun apa daya, semua yang ada di ruangan itu sudah terlanjur mendengarnya. Alis Ryan mengernyit seketika. Dia merengut. “Orang gila harta itu masih nekad, datang ke rumah Setiabudi? Bi Sum kenapa baru cerita? Itu, Suaminya ada di depan. Sudah dikasihtahu belum, kelakuan Istrinya yang ajaib begitu? Biar kalau mereka mau cerai, cepetan cerai sekalian lah. Jadi nggak perlu maju mundur, Suaminya itu. Nggak tega, nggak tega apaan sama ular berkepala dua itu,” sahut Ryan gusar. Cleo mengerling tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sayangnya, Ryan tidak menangkap isyaratnya agar tidak membahas lebih jauh. Justru, wajah Bi Sum yang langsung memucat. “Eh, maaf Mbak Cleo, maaf Non Steph. Nggak ada apa-apa kok. Pokoknya, Non jangan khawatir. Selama ada Bi Sum, nggak ada yang berani-berani masuk ke rumah dan ngacak-ngacak tempatnya Non atau ganggu Non. Nanti Bibik leparin sapu ijuk sekalian, kalau masih berani datang,” kata  Bi Sum polos. Kali ini lantaran merasa tergelitik, Stephanie tersenyum geli. Tetapi karena nyeri di pelipisnya mengganggu, akhirnya yang muncul adalah seringai layaknya Orang yang tengah menahan sakit. Cleo memergoki ekspresi Stephanie. “Kamu istirahat saja, Dek. Nggak usah mikir yang berat-berat dulu. Nanti, setelah kondisimu membaik dan hasil pemeriksaanmu bagus semua lalu Dokter memperbolehkan untuk rawat jalan, tinggal di Pejaten dulu sampai benar-benar pulih. Kalau terpaksa harus ke kantor, biar disupiri sama Pak Dudi. Kak Cleo jarang kemana-kemana, kok. Ryan juga mau tuh, menemanimu di rumah,” bujuk Cleo lembut. Stephanie mengangguk dengan matanya. Dia berusaha mengingat-ingat semua, apa yang terjadi hingga dirinya sampai terbaring di ranjang rumah sakit begini. Dan dia teringat, Daniel terluka. “Kak Bobby? Daniel?” tanya Stephanie akhirnya. “Tenang saja, mereka dijagain kok sama Kak Ardi, di luar. Jadi nggak bakalan berantem kayak Anak kecil lagi.” Ryan yang menyahut. Cleo langsung paham apa yang diperlukan oleh Stephanie saat ini. “Kamu mau ketemu mereka ya Dek? Eng..., tapi mungkin satu-satu, ya. Mereka masih..,” Cleo menggantung ucapannya. Ryan mencolek pundak Bi Sum dan berkata, “Bi, kita berdua keluar dulu. Biar Steph bisa ketemu sama Pacarnya.” Bi Sum tampak ragu dan berkata, “Si.. Pak Daniel itu? Memangnya dia itu Pacarnya Non Steph? Mas Ryan yakin, dia baik ke Non Steph?” Ada nada protes dalam kalimat panjang Bi Sum. Cleo mengulum senyum mendengar kepolosan Bi Sum. Betapa Bi Sum sangat perhatian kepada Stephanie!             Ryan tersenyum dan membisiki Bi Sum, “Kelihatannya dia punya daya juang yang bagus buat membahagiakan Steph.”             Bi Sum sepertinya belum sepenuhnya ‘setuju’, tetapi dia tak mengatakan apa-apa. Lalu Ryan berkata, “Steph, aku tinggal dulu ya. Ayo, Bi. Biar gantian, nengoknya.”             “Non, Bibik di luar dulu ya. Nanti malam biar Bibik temani di sini,” kata Bi Sum pula.             Stephanie lekas menggeleng dan menyahut, “Nggak usah.”             “Ayo, Bi kita ke depan. Bi Sum nggak tahu apa, sudah ada perdebatan di luar? Ada dua Orang yang ngotot, berebut mau menjaga Steph malam ini, saling nggak percaya satu sama lain. Malah yang satunya, tetap nggak puas sewaktu Kak Ardi setuju sama usulanku bahwa sebaiknya aku saja yang menginap di sini malam ini. Maklum, merasa dirinya paling tua, dan mungkin nggak yakin kalau aku bisa menjagamu, Steph. Dipikirnya..., ia itu sudah sukses menjadi Panutan, mungkin,” kata Ryan seenaknya. Dia baru sadar apa yang dikatakannya adalah di luar kontrolnya, terhasut bayang-bayang Hera mendatangi kediaman Stephanie dan membuat keributan di sana.               “Ryan,” tegur Cleo halus.             Ryan menutup mulutnya. “Sorry, aku masih emosi terus, sama yang satunya. Kalau satunya lagi sih.., nanti ya, aku cek lebih lanjut sebelum memutuskan harua aku apakan dia,” Ryan mesem kecil dan berlalu dari kamar perawatan. Melihat Daniel mengabaikan luka-luka di wajahnya, entah mengapa dia jadi berempati.Dia juga mempunyai pemikiran yang sama dengan Ardi, yakni bahwa Daniel tidak membalas memukul Bobby barang satu kali saja.               Saat Bobby masuk ke kamar perawatan Stephanie bersama Ardi, Ryan berinisiatif mengajak Daniel mengobrol di luar dan memberi isyarat agar Bi Sum menunggu saja.              Seolah, selagi kesempatan itu terhampar di depannya Ryan hendak menimba, sejauh mana sebenarnya keseriusan dari Sang Putra Mahkota clan Sanjaya kepada Stephanie. Ryan juga bermaksud untuk mengorek bagaimana Daniel sampai menyembunyikan Stephanie dari keluarganya.              Seraya melangkah bersisian dengan Daniel, Ryan tergugah untuk mengingatkan bahwa luka-luka Daniel juga harus ditangani.             “Selagi di rumah sakit. Mendingan diperiksa sekalian saja. Siapa tahu kalau ada lukanya yang serius, kan bisa sekalian minta pertanggung jawaban dari ... Saudara Bobby. Nanti aku bantu kalau mau menuntut dia,” ucap Ryan kalem.             Dahi Daniel berkerut mendengar ucapan Ryan. Dia sulit untuk menerjemahkan, apakah Ryan tengah bercanda ataukah memang tengah melontarkan sedikit kekesalan hatinya semata. * $ $  Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN