Kontan Daniel mengamati wajah oval serta penampilan menarik yang tampak dari Sang Pemilik wajah itu. Sungguh sedap dipandang dalam balutan sack dress berwarna dusty pink polos yang panjangnya sedikit di atas lutut, dipadu dengan blazer hitam pekat, sewarna sepatu bot yang membungkus sepasang kaki jenjangnya.
Dengan penampilan macam itu, bagi Daniel Gadis ini lebih mirip model yang semestinya dipekerjakan oleh Brenda. Tak perlu harus menjadi Seorang Pengamat fashion seperti halnya Brenda, Daniel sudah dapat menaksir dan mengira-ngira, nominal yang dikeluarkan OLEH Gadis ini, untuk outfit yang dikenakannya siang ini. Oh, belum lagi tas kerjanya, segala aksesoris Wanita yang dikenakannya. Dari anting, arloji, cincin, kalung serta liontinnya serta entah apa lagi. Lepas dari semua fakta itu, dia tampak ‘pas’. Pas di mata Daniel. Tidak berlebih. Tidak seperti ‘pasar berjalan’.
Sayangnya, tak urung ingatan Daniel seketika melayang pada kejadian seminggu silam. Kejadian yang berlangsung di Gedung miliknya, tepatnya di area parkir.
...
Begitu dirinya keluar dari lift, Daniel berjalan tergesa menuju tempat ia memarkirkan kendaraannya.
Tetap Kijang Innova, favoritnya semenjak dulu. Jenis kendaraan yang pernah disebut oleh Ferlita sebagai ‘penyamaran yang sempurna’. Namun sialnya, selalu disikapi secara sinis oleh Inge setiap kali melihatnya. Tak jarang, tatapan Inge terkesan sungguh meremehkan dan seperti hendak mengenyahkan kendaraan Daniel itu agar tak menyesaki pandangan matanya.
Jadwal meeting Daniel dengan mitranya hari ini berlokasi di pusat kota, hanya sekitar empat puluh menit ke depan. Daniel tahu dirinya sudah pasti bakal terlambat mencapai tempat perjanjian mereka, mengingat tempatnya juga harus ditempuh minimal setengah jam dari sini. Belum lagi kemungkinan macetnya lalu lintas menjelang jam makan siang begini.
Sesaat sebelum pintu pintu lift terbuka secara sempurna, telinganya sudah lebih dahulu menangkap sebuah Suara yang penuh emosi.
“Terserah kak Hera. Ambil saja semuanya! Biar Kak Hera puas!”
Sentakan yang disambut oleh senyap setelahnya.
“Aku nggak peduli Kak! Ambi, ambil semau Kak Hera!”
Suara itu terdengar lagi.
Kemudian, yang ada hanyalah hening yang panjang. Sepertinya pembicaraan telah berakhir.
Daniel memutuskan untuk tak ambik pusing dan segera keluar dari kotak lift begitu pintunya terbuka lebar. Dalam keadaan santai saja ia tidak tertarik untuk menaruh perhatian hal-hal ‘berbau gosip’ begitu, apalagi sekarang, di mana dirinya tengah dikejar waktu begini!
Mendadak...
Brukkk!
Astaga! Gara-gara dirinya berjalan meleng, Daniel tak sengaja menabrak Seorang Gadis yang berdiri dekat pilar, tak jauh dari pintu lift. Alangkah cerobohnya!
Gadis itu segera berjongkok, ikut memunguti semua berkasnya yang jatuh berantakan di dekat kaki Daniel. Daniel, walau dalam kekagetannya, sudah terlebih dulu melakukan hal itu sebagai bentuk reaksi spontan yang menunjukkan tanggung jawabnya atas esalahan yang tak sengaja ia perbuat barusan.
“Maaf, tadi saya terburu-buru,” kata Daniel dengan nada rendah, seraya menyerahkan berkas milik Gadis itu yang sudah sempat dirapikannya.
Wajah Gadis itu terangkat, tangannya terulur menerima berkas yang diangsurkan oleh Daniel dan berkata, “Thanks. Tapi tolong ya, lain kali kalau jalan nggak usah pakai nabrak Orang juga. Semua orang juga buru-buru dan sibuk. Bukan hanya Anda.”
Wow! Judes sekali. Daniel terbungkam karenanya.
Daniel mendapati tatapan mata Gadis itu macam Harimau yang sedang asyik tidur tapi terinjak ekornya oleh kakinya. Bedanya, ‘Harimau Perempuan’ yang satu ini bukan dalam posisi siap untuk menerkam dirinya. Sebaliknya, malahan tampak ingin sesegera mungkin berlalu dari hadapan Daniel. Seolah, bila satu menit lebih lama dirinya melihat Daniel di dekatnya, akan berefek membuat matanya mengalami infeksi yang parah. Dan seakan, jika dirinya terlampau lama menghirup udara yang sama dengan Daniel, akan berakibat buruk pada kesehatan organ pernapasannya.
Dengan bibir terkatup, Gadis itu mempercepat langkah kakinya dan menyeberangi parkiran di depan lift, sebelum Daniel sempat mengatakan apa pun kepadanya.
Alis Daniel seketika mengernyit. Dia tak habis pikir.
Gila, pikir Daniel.
Daniel tahu sih, dirinya memang salah, tapi dia sedang dalam keadaan denial dan bertanya-tanya dalam hati, “masa iya separah itu? Sedangkan Cewek tadi, ngapain juga berdiri lama-lama di dekat pintu lift, kan? Masa mau menyeberangi tempat parkir saja sampai butuh konsentrasi demikian lama?”
Ini membuat Daniel didera rasa sebal saja.
Kalau saja dirinya masih seketus dulu, ingin rasanya Daniel mencemooh, “Nggak tahu apa, dia, gedung itu milik aku, tepatnya milik Keluargaku!”
Daniel mendesah gemas.
Ngelamun? Cari tempat lain, sana! Atau jangan-jangan, dia Pemilik Suara emosional yang tadi sempat aku dengar? Hm, pasti! Buktinya, sebuah telepon seluler tergenggam di tangannya. Dan nggak ada orang lain juga kan? Nggak mungkin juga kalau suara setan! Sejauh ini nggak ada tuh yang menyebut-neybut kalau di gedungku ada setan! Ini peresmiannya saja sudah pakai ritual doa yang disarankan lho, pikir Daniel, mencoba menetralkan suasana hatinya.
Daniel menggeleng-gelengkan kepala, berusaha untuk tetap tak ambil pusing dan kembali ke niat semula, hendak secepatnya mencapai mobilnya dengan langkah panjangnya.
Malangnya, rencananya tidaklah berjalan ‘semulus’ itu.
Bila sebelumnya Daniel terkejut lantaran menabrak Gadis itu, sekarang dia tertegun melihat apa yang terpampang di depan matanya.
Si Gadis yang berpenampilan cukup ngejreng dengan dress putih dengan model A line, bermotif floral yang lembut dan bahan yang ringan, dipadu dengan blazer warna hijau army, sesuai sepatu botnya yang hampir mencapai lutut itu, tampak tengah membuka pintu Toyota Fortuner yang diparkirkan tepat di sebelah mobilnya.
Toyota Fortuner yang bersebelahan dengan Toyota Kijang Innova milik Daniel!
Untuk sebuah alasan yang amat sulit dipahami apalagi diterimanya, seketika Daniel merasa dirinya terintimidasi. Ia sekaligus merasa dirinya kurang macho. Merasa dirinya terlalu cute, sementara si Cewek, terkesan lebih dari sekadar maskulin.
Uh, apa ini sudah saatnya aku berganti mobil, minimal mengendarai Land Rover? Masa lantaran melihat si Cewek judes yang satu ini mengendarai Toyota Fortuner, terus aku jadi minder? Masa seorang Daniel Marcello Sanjaya semudah itu diintimidasi? Huh! No, it’s so not me, pikir Daniel, menyangkal sendiri perasaan yang berkecamuk di benaknya.
Lucu memang.
Daniel Marcello Sanjaya yang senantiasa memegang prinsip : ‘aku nggak hidup dari apa kata orang atau apa yang orang pikirkan tentangku’ di detik ini digoda kegamangan hanya akibat ‘secuil detail’ macam itu. Padahal seingat Daniel, Inge yang hobby mengatur nyaris di semua sisi dalam hubungan mereka saja, seperti soal mereka mau makan di mana, mau nonton film apa, mau berliburan bersama kapan dan kemana, sampai ke... masalah pesta pertunangan itu, sudah kehabisan cara untuk membujuk, memaksa maupun mengharuskan dirinya untuk mengganti kendaraan dengan ‘yang lebih pantas untuk posisi Daniel’.
Lumayan ajaib kan?
Sementara di point lain, Daniel yang enggan ribut dengan Inge dan lebih pilih mengalah kepada si Nona super dominan, yang selalu meminta Supir mengantarnya kemana-mana dengan BMW seri terbarunya, khusus untuk masalah mobil, Inge yang terpaksa menyerah karena sudah terlalu sering berusaha tanpa hasil.
Sejauh menyangkut perkara mobil, Inge tampak kehabisan ide dan kesabaran untuk mendebat Daniel. Dan gara-gara malas ribut dengan Inge yang dinilainya hanya akan membuat dirinya kehabisan energi serta ide kreatifnya untuk memajukan Perusahaan yang ia kelola, Daniel memang cenderung sok plegmatis hampir di sepanjang hubungan mereka.
Apalagi kalau yang menjadi permasalahan ‘hanyalah’ perkara mobil.
Daniel merasa itu tidak cuku berarti untuk diributkan. Itu hal sepele baginya.
Daniel pasti berlagak mengangguk atau mengatakan, “Ya, nanti aku pikirkan untuk ganti mobil,” tapi tetap saja, ia tidak kunjung melakukannya.
Intinya, ndableg [1] mode on, dia.
Memang, di kala Daniel menjemput ke rumah Inge dan akan makan ke luar berdua, tentunya Inge memaksanya meninggalkan mobil di rumahnya, baru pergi bersama memakai BMW-nya. Di luar itu, Daniel tetap setia sama Kijang Innova-nya. Mau sampai berapa kali ganti mobilpun, nyatanya dari masa ke masa, dia nyaman kok, memakai keluaran terbaru dari merk yang sama.
Hm, ini sebetulnya sama sekali nggak salah, kok. Ini masalah selera, kan?
Saat Daniel membuka pintu mobilnya, sempat dilihatnya Gadis itu menstarter kendaraannya. Berbatas kaca mobil yang dilapis kaca film 40%.
Daniel sempat memergoki, si Gadis judes itu pun tengah menatap ke arahnya.
Tatapan mata Gadis itu terkesan seperti mau menelannya bulat-bulat dalam sekali gerakan.
Lantas sebelum Daniel dapat menerka apa yang dipikirkan oleh Gadis itu, Toyota Fortuner itu telah melaju mendahului kendaraan Daniel.
Daniel secepatnya melakukan hal serupa.
Ya, mitranya sudah menunggu kedatangannya, toh? Sangat membuang waktu jika ia hanya tertegun dan memikirkan Gadis yang entah Siapa dan bisa jadi tak akan pernah berpapasan dengannya atau ketemu dengannya lagi. Itu yang dia harapkan, sebetulnya. Dia tak mau mood baik yang dia miliki jadi memburuk lantaran terusik sikap angkuh Si Cewek Judes itu.
...
“Bu Stephanie, perkenalkan, ini bapak Daniel Marcello Sanjaya, Direktur Operasional kami. Pak Daniel, ini Ibu Stephanie, Senior Marketing Manager dari Sheng Li Industries. Maaf ya, Bu, sampai sekarang bagian Produksi kami belum dapat mengatur jadwal untuk menemani Ibu melakukan survey ke pabrik kami.”
Suara pak Adji manjur mengembalikan pikiran Daniel yang sempat melayang-layang ke peristiwa di tempat parkir, kembali lagi ke ruangan kerjanya.
Daniel menyalami tangan yang terulur itu.
Ia menggoyang lembut tangan halus itu beberapa saat lamanya.
Daniel berusaha keras untuk menahan senyum gelinya, mendapati keterkejutan hebat yang terbias di paras Stephanie.
Mendapati keterjutan Stephanie, Daniel merasa demikian puas. Tak ubahnya Seseorang yang tengah mendapatkan kesempatan untuk ‘membalas dendam’.
Seolah Daniel mau bilang, “Hei, Nona, keputusan jadi membeli atau tidak, ada di tanganku lho.”
Boleh dong, Daniel seyakin itu?
Ia berpikir, hitung-hitung, bolehlah sedikit memberi semacam shock theraphy pada Cewek yang super judes, di pertemuan pertama mereka, kapan hari itu? Harpannya, biar Cewek di depannya ini menyesali perilakunya.
Sudah terbayang oleh Daniel, bakal seperti apa raut wajah Stephanie sebentar lagi. Ia yakin, Stephanie pasti bakalan salting berat. Dalam pikiran Daniel, sebentar lagi paras Stephanie bukan hanya memerah lantaran menahan malu. Malahan yang ada, bisa jadi parasnya berubah warna menjadi keunguan atau mirip semur, saking perasaannya tidak karuan.
Aha! Yang namanya Keangkuhan itu memang harus dihancurkan dengan keangkuhan kuadrat. Minimal! Daniel kok dilawan. Salah Orang, Cantik! pikir Daniel yang siap ntuk memamerkan seringai kemenangannya.
Namun yang terjadi adalah...
“Stephanie, Pak. Selamat siang, senang berkenalan dengan Pak Daniel. Anyway, saya mohon maaf atas kesan pertama yang kurang baik, saat di tempat parkir, minggu lalu.”
Ucapan tulus Gadis itu ampuh membekap arogansi yang siap ditunjukkan oleh Daniel. Arogansi yang terpaksa harus ditelan kembali oleh Daniel.
Pasalnya, Daniel dapat membaca dengan pasti, ada kesungguhan dalam kata-kata maupun gestur yang diperlihatkan Stephanie. Sikap Stephanie bukannya basa-basi ataupun lip service demi memuluskan penawarannya agar berbuah menjadi Purchase Order.
Daniel juga menengarai, rasa percaya diri Gadis itu sama sekali tidak berkurang. Wow! Alangkah takjubnya dia. Di antara sekian banyak kemungkinan, mengapa begini kejadiannya? Andai tak ada Orang lain di ruangan kerjanya, pasti Daniel sudah menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lantaran semua perkiraannya meleset jauh.
Terngiang oleh Daniel perkataan ketus Stephanie, ketidak acuhannya yang diterjemahkannya sebagai kesombongan, saat melajukan kendaraan meninggalkan tempat parkir. Bagi Daniel, sepintas itu bagai sebuah ejekan tak terucap padanya, “Ehm. Ada Cowok yang se-cute tweety, yang begitu ceroboh, menabrak Cewek macho, di dekat lift.”
Bayangan itu hilang begitu saja, digantikan dengan seraut wajah manis dengan senyum segar, di bibirnya. Suaranya memang tidak lembut, atau manja. Tidak, jauh dari kesan itu. Suara Stephanie cenderung tegas, percaya diri, dan.. apa adanya? Daniel merasa dirinya tengah dejavu.
Dalam diam Daniel merenung.
Apa dulu, gambaran ini yang melekat pada Ferlita, Mantan terindahku? Oh, no, just mantan, tanpa kata terindah. Mantan terindah itu, semestinya Seseorang yang nanti duduk berdampingan denganku di pelaminan dan mengarungi hidup berdua, sampai maut memisahkan kami. That’s it, bisik hati Daniel.
Karenanya, dia buru-buru menepis pemikirannya sendiri.
Ia merasa bahwa perbandingannya amat keliru.
Benar, Ferlita memang Gadis yang bersikap dan bertindak apa adanya. Ferlita juga cukup percaya diri, itu betul. Tapi soal tegas?
Di bagian ini Daniel tersenyum kecut.
Hati Daniel seolah berbisik, “Hm.., kalau dia cukup tegas, aku yakin, rasanya kami berdua nggak akan pernah pacaran, deh. Bukan aku bermaksud sinis, kenyataannya memang begitu kok. Dari awal juga Ferlita itu pasti sudah ngeh, aku sama Bang Edo sama-sama naksir dia, kok. Ngapain pakai muter-muter dulu, memberikan aku kesempatan untuk menjaganya walau sementara, sebelum akhirnya berlabuh pada seseorang yang mungkin saja adalah real soulmate-nya, ya Si Bang Edo itu?”
*
^ * LUCY LIESTIYO * ^
[1] LL : Maksudnya Cuek, keras kepala, tak terlalu peduli perkataan orang