Raline tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, saat ini ia sedang bersama anak perempuan yang ia ketahui bernama Cinta – yang telah berganti pakaian itu, dan juga ayah sang anak. Cinta tampak begitu menikmati es krimnya, tanpa mau melirik makan siangnya sama sekali.
“Cinta, di makan dulu dong nasinya! Es krimnya nanti lagi, ya!” ucap sang ayah sambil menarik es krim milik cinta. Namun, gadis mungil itu menahannya sambil menggelengkan kepala.
“Cinta nggak mau makan nasi, Pa. Cinta mau es krimnya aja.” Setelah mengatakan itu, Cinta beralih menatap Raline yang sejak tadi masih tampak blank akibat kemunculan anak itu yang tiba-tiba memanggilnya Mama.
“Mama juga nggak mau makan? Kok dari tadi Mama cuma lihatin Cinta terus? Pasti Mama juga kangen, kan, sama Cinta? Cinta kangen banget sama Mama. Dan sekarang Cinta senang, Mama sudah kembali lagi,” ujar Cinta.
Eh, kembali ke mana maksud anak ini?
Mendnegar suara deheman dari ayah Cinta, Raline pun segera menatapnya. “Makanlah makanan kamu! Atau kamu bisa pesan yang lain sepuas kamu. Siang ini, saya yang traktir sebagai ucapan terima kasih.”
“Eh? Tidak perlu. Saya tadi bawa uang, kok. Dan uang saya juga masih cukup untuk membayar pesanan saya sendiri,” tolak Raline.
“Tidak apa-apa. Pesanlah sepuas kamu!” ujar pria itu.
“Iya Mama harus makan banyak biar Mama sehat!” imbuh Cinta.
Raline selalu merasa gugup setiap kali anak itu memanggilnya demikian. Ia merasa kurang nyaman – tentu, karena ia bukan anak gadis itu, dan ia takut akan ada orang yang salah paham jika mendengar bagaimana Cinta memanggilnya.
“Papa, es Cinta habis. Tapi cinta masih mau lagi. Boleh, kan, Pa?” ujar Cinta.
“Boleh. Tapi Cinta makan dulu nasinya, ya! Kalau Cinta nggak mau makan nasinya, Papa nggak izinin kamu nambah lagi es krimnya,” jawab lelaki itu.
Cinta mengangguk dengan wajah yang begitu menggemaskan hingga Raline pun sempat terbuai selama beberapa detik.
“Eh?!” Raline terkejut saat melihat Cinta turun dari kursinya. Namun, baru saja ia hendak menegur gadis itu, ayah Cinta sudah menghentikannya.
“Dia bisa pesan sendiri. Jadi kamu tidak perlu khawatir!” ucap ayah CInta dengan nada yang begitu tenang. Melihat ayahnya saja bisa sesantai ini membiarkan Cinta, Raline pun ikut bernapas lega.
“Oh iya. Boleh saya tahu, kenapa Anda diam saja saat Cinta memanggil saya Mama?” tanya Raline. Akhirnya kini ia punya kesempatan untuk bertanya.
Ayah Cinta yang baru saja hendak mulai makan pun segera meletakkan sendoknya, lalu beralih menatap Raline. “Saya hanya tidak mau membuat dia menangis. Saya nggak mau nanti dia mogok makan, padahal ini sudah jam makan siang.”
“Memang di mana mamanya? Kok nggak diajak aja?” bingung Raline.
Ayah Cinta tersenyum miris. Raline menyadari ada sesuatu yang tidak beres sehingga laki-laki itu seketika mengubah ekspresinya.
“Apa saya salah bicara? Kalau begitu saya-“
“Ibu Cinta sudah meninggal saat melahirkannya. Jadi, dia belum pernah bertemu dengan ibunya. saya juga tidak tahu kenapa dia tiba-tiba memanggil kamu Mama. Kami memang habis dari makan istri saya – ibunya Cinta. Namun tidak biasanya Cinta seperti ini,” terang lelaki itu. “Oh iya. Nama saya Gara. Boleh saya tahu nama kamu juga?”
Raline segera menerima uluran tangan lelaki bernama Gara itu dengan kaku. “Eh, maaf, Pak. Saya nggak tahu. Saya nggak bermaksud mengungkit luka lama. Nama saya Raline,” jawabnya.
Gara tersenyum. “Sepertinya kamu masih cukup muda. Kamu masih kuliah?” Tampaknya ia tak mau lagi membahas tentanng mendiang istrinya yang telah tiada.
“Memangnya muka saya se-baby face itu, ya?” Raline langsung menangkup kedua pipinya sendiri, dan menatap Gara dengan penuh harap.
Melihat sikap aneh Raline, Gara berdehem kaku. “Hm, maksud saya kamu kelihatan muda. Memang, kamu sudah nggak kuliah? Sudah kerja?”
“Iya saya sudah kerja. Wah saya nggak nyangka mata Anda masih bagus juga ya, ternyata? Bisa melihat-“
“Maksud kamu, saya kelihatan seperti orang yang penglihatannya sudah menurun? Saya masih 33 tahun, Raline,” protes Gara.
“Loh, jadi Cinta anak pertama? Saya kira Anda sudah empat puluhan. Soalnya style Anda seperti orang kantoran yang punya jabatan tinggi. Kan biasanya … hm pokoknya begitu lah, hehe.” Melihat raut wajah Gara sudah tidak terlalu bersahabat, Raline segera menghentikan ocehannya. Namun, setelah itu, giliran ponselnya yang menyita perhatian keduanya.
“Ada telepon. Kenapa nggak kamu angkat?” tanya Gara.
“S- sepertinya salah sambung. Ng- nggak perlu, kok,” jawab Raline.
“Tapi itu ada namanya, kok. Lucas, kan? Pacar kamu?” tanya Gara. Ia memang sempat melihat layar ponsel Raline yang menyala sebelum gadis itu menyembunyikan.
“Ck, pacar apa sih. Bukan kok, Pak,” balas Raline.
Gara terkekeh kecil melihat ekspresi kesal gadis di hadapannya. Namun, setelah itu kehadiran Cinta berhasil mengambil alih semua perhatiannya. Gara segera menolong putrinya itu untuk duduk kembali di kursinya.
“Sudah pesan esnya?”
“Sudah, Papa. Cinta juga pesankan buat Mama. Mama pasti suka. Soalnya kata Papa, Mama juga suka sama es krim coklat, sama seperti Cinta,” ujar Cinta.
“Eh? Seharusnya nggak perlu,” tolak Raline.
“Kenapa, Ma? Mama nggak mau makan es krim bareng Cinta, ya?”
“Bukannya seperti itu. Tante cuma … c*m- cuma lagi pilek aja. Makanya-“
“Kok Mama nyebut dirinya sendiri Tante sih, Pa?” tanya Cinta dengan nada lesu ke arah ayahnya.
Gara menatap Raline penuh harap. Sebenarnya Raline tidak mengerti. Namun akhirnya ia memilih diam dari pada ia mengatakan sesuatu yang salah.
“Mama cuma salah bicara, Cinta. Sudah jangan dipikirkan! Sekarang, sesuai janji Cinta ke Papa, Cinta harus segera makan, oke? Buruan, sebelum es krim pesanan kamu datang!” ujar Gara.
Cinta mengangguk patuh. Kemudian, anak itu mulai menyantap makanannya dengan lesu. Sesekali, Raline mencuri pandang ke arah anak itu. Kenapa ia mendadak merasa bersalah melihat senyum di wajah Cinta yang menghilang setelah mendengar ucapannya tadi?
Selesai makan siang, Raline ikut Gara dan Cinta keluar dari café. Dan seperti yang Gara katakan, ia benar-benar membayarkan makanan Raline tadi, meski Raline sudah berkali-kali menolaknya.
Kini, mereka sudah sampai di parkiran. Raline berniat untuk langsung pamit setelah ia mengucapkan terima kasih atas traktiran Gara. Namun, belum sempat ia berpamitan, Cinta sudah lebih dulu menggenggam erat tangannya.
“Mama, Mama akan pulang bersama Cinta dan Papa, kan, Ma? Mama akan sama-sama kami dan nggak akan pernah ninggalin kami lagi, kan, Ma?” tanya Cinta dengan nada sendu.
“Cinta, biarkan Mama pulang, ya! Mama nggak bisa ikut kita,” ucap Gara, berusaha membuat putrinya mengerti.
“Kenapa nggak bisa, Pa? Teman-teman Cinta juga tinggal sama mamanya, kok. Mereka aja bisa. Kenapa Cinta nggak bisa? Apa karena Mama sudah meninggal? Kalau begitu, Mama jangan meninggal lagi! Kita harus jagain Mama biar Mama nggak meninggal lagi, Pa! Cinta nggak mau pisah sama Mama lagi. Cinta mau sama-sama Mama!” rengek Cinta. Mata gadis kecil itu sudah mulai berkaca-kaca. Bahkan suaranya sudah mulai terdengar sengau. Tampaknya sebentar lagi anak itu akan menangis.
Gara segera menegakkan tubuhnya kemudian menatap Raline. “Rumah kamu di mana? Boleh saya antar kamu pulang, supaya Cinta bisa sedikit lebih lama bersama kamu?”
“Ya?” kaget Raline.
“Saya janji akan pelan-pelan menjelaskan pada Cinta di jalan nanti. Kamu bantu saya, ya!” pinta Gara.
Raline menelan salivanya dengan susah payah. Sungguh, ia tidak suka dengan anak-anak. Lalu, ketika kini ada seorang anak kecil yang rewel karena merindukan ibunya, kenapa ia harus ikut repot?
“Ma, Mama ikut Cintas ama Papa, ya! Cinta mohon, Ma. Cinta mau punya Mama. Cinta mau ngerasain dipeluk Mama, seperti teman-teman Cinta yang lain,” lirih Cinta dengan tatapan memohon.
Sungguh, kalau sudah seperti ini, lantas bagaimana bisa Raline menolak? Jika ia menolak, itu artinya ia sama saja membiarkan Cinta menangis. Dan melihat tatapan gadis mungil itu, rasanya Raline tidak tega mengecewakannya. Biar bagaimana pun, Cinta hanyalah anak kecil yang ingin merasakan kasih sayang ibunya. Tidak ada yang salah dengan itu. Dan rasanya sangat jika Raline tega menghancurkan harapan sederhana anak itu.
‘Hanya sebentar, kan? Mungkin tidak apa-apa. Sekalian saja aku bisa memanfaatkan ini agar bisa lebih lama berada di luar, agar saat aku kembali, Lucas sudah pergi,’ batin Raline.
Mungkin tidak apa-apa jika kali ini Raline memanfaatkan orang lain untuk menghindari Lucas. Atau justru, ini adalah kali pertama, dan akan ada kali kedua, ketiga dan seterusnya di mana Raline akan mendapatkan bantuan dari orang lain untuk menghindari Lucas?
“Ayo, Ma! Cinta mau duduk di depan sama Mama!” rengek Cinta, sambil menarik tangan Raline cukup kuat ke arah mobil ayahnya.
Raline memilih tidak menolak. Akhirnya ia menatap Gara sembari menganggukkan kepalanya, sebelum akhirnya mengikuti langkah Cinta – membuat gadis kecil itu tersenyum lebar.