Langit hari itu terlihat mendung dengan awan yang beriring, seperti saling berlomba ingin menurunkan air untuk membasahi bumi. Hawa yang sejak satu minggu lalu terasa panas, seketika menjadi sejuk.
Para petani akan bersorak girang jika hujan turun dengan deras, karena padi mereka akan terendam air untuk menumbuhkan bulirnya. Begitu pula dengan Pandu yang sudah berangkat sejak pagi menuju sawah bersama motor bututnya.
Annisa berjalan tertatih menuju dapur karena kaki yang terasa nyeri. Semakin besar kehamilannya, semakin sulit baginya untuk bergerak. Jika beberapa tetangga yang sedang mengandung tampak baik-baik saja berpergian bebas membawa perut yang membuncit, itu tak berlaku untuknya.
Si jabang bayi yang sedang bersemayam itu ternyata cukup manja dan tak mengizinkan ibunya untuk bergerak bebas layaknya orang lain. Sehingga Annisa hanya bisa berdiam di rumah atau duduk di teras untuk mengusir kebosanan.
Tak terasa waktu berlalu, kini kandungannya memasuki bulan ke tujuh, di mana pipi yang tadinya tirus lalu membulat, diikuti dengan berat badan yang melonjak drastis. Secara rutin setiap bulannya, dia memeriksakan diri di puskesmas dekat rumah.
Tak ada warisan apa pun yang ditinggalkan, karena waktu itu mereka masih tinggal bersama orang tua. Rahman hanya seorang pegawai kantoran biasa dengan gaji UMR tanpa adanya bonus. Selama menikah, ibu mertuanya lah yang banyak membantu keuangan mereka karena suaminya tak bisa bekerja telalu keras.
Ketika pulang ke kampung, Annisa hanya membawa pakaian juga beberapa perhiasan yang dihadiahkan Rahman saat akad nikah dulu. Nanti jika tiba waktunya melahirkan, dia akan menjual semua agar tak memberatkan ayahnya.
"Jangan manja, Le. Ibu mau masak untuk kakekmu," ucapnya sembari mengusap perut. Ini sudah hampir jam dua belas siang dan ayahnya akan datang mengambil bekal, lalu kembali ke sawah hingga Magrib menjelang.
Annisa memotong seikat kangkung, juga bumbu untuk menumisnya. Tak lupa dia menggoreng beberapa ekor ikan sebagai teman nasi nanti. Setelah satu jam berkutat di dapur, wanita itu menyusun satu per satu makanan ke dalam rantang.
Pagi tadi dia tak sanggup bangun, sehingga ayahnya merebus pisang dan menyeduh kopi untuk sarapan. Semakin hari rasa malas semakin merajalela sehingga waktunya banyak dihabiskan dengan berbaring di kamar.
"Assalamualaikum."
Suara seseorang yang mengucapkan salam di depan menghentikan aktivitasnya. Annisa menutup rantang, lalu berjalan pelan untuk membukakan pintu.
"Ambil bekal, Pak?" tanyanya saat menyambut kedatangan sang ayah sembari menyambut kantong plastik hitam yang tadi disodorkan.
"Bapak makan sekarang saja. Tadi yang lain bawa singkong goreng di saung," jelas Pandu yang langsung bergegas ke dapur karena perutnya sudah melilit.
Setelah mencuci tangan dan membasuh wajah, Pandu duduk di meja dan mulai menikmati makan siangnya. Sementara itu, Annisa membuka bungkus plastik untuk melihat apa isinya.
"Dapat bunga kates dari mana, Pak?" tanya wanita itu sembari tersenyum senang. Nanti dia akan menumisnya dengan cabe rawit yang banyak untuk makan siang besok.
"Tadi dikasih waktu Bapak mau jalan pulang. Kamu masak saja besok buat lauk kita," jawab Pandu dengan mulut penuh. Laki-laki itu mengusap peluh yang menetes di dahi, lalu mencuci tangan setelah sepiring penuh nasi habis tak bersisa.
"Bapak mandi dulu sana. Nanti Nisa siapkan sajadah. Sudah masuk Zuhur," katanya sembari memasukkan bunga pepaya itu ke dalam wadah.
Annisa memijat kakinya dengan pelan sebelum berjalan kembali ke depan untuk menyiapkan perlengkapan salat, saat bunyi air di kamar mandi terdengar nyaring. Ketika dia membentangkan dua sajadah di lantai, ponsel ayahnya bergetar tanda ada panggilan yang masuk. Wanita itu mengintip dan terkejut saat melihat nama siapa yang tertera di layar.
"Apa, Nduk?" tanya Pandu saat melihat putrinya berdiri mematung sembari menatap ponsel.
"Itu ... ada telepon buat Bapak."
"Siapa?"
"Mbuh. Aku mau wudu," ucapnya singkat lalu berjalan kembali ke belakang.
Pandu mengambil ponselnya dan melatakkannya kembali di meja. Lalu mereka menunaikan empat rakaat dengan berjemaah. Setelah mengucapkan salam pada tasyahud akhir dan memajatkan doa, dia langsung menghubungi si penelepon.
"Assalamualaikum, Nak Bima. Ada apa?" tanya Pandu dengan nada khawatir. Keluarga Rahman memang sejak dulu jarang menghubunginya. Jika sampai itu terjadi, berarti ada sesuatu yang penting.
"Waalaikumsalam, Pak. Ini mau mengabari kalau ibu sedang sakit," jawab suara di seberang sana.
Sebenarnya sejak tadi, Bima sudah menghubungi Annisa terliebih dahulu, tetapi tidak ada jawaban. Mungkin karena dia menggunakan nomor baru, jadi tak dikenal. Sehingga akhirnya dia menyerah dan menelepon Pandu untuk mengabari kondisi ibunya.
"Memangnya Mbak Ratih sakit apa?" tanya Pandu.
"Serangan jantung, Pakde. Ibu dirawat di rumah sakit," jelas Bima.
"Ya Allah semoga Mbak Ratih segera pulih," ucap Pandu tulus.
"Aamiin. Makasih, Pakde. Cuma ini, ada satu permintaan Ibu kepada saya," ucap Bima ragu-ragu.
"Ada apa, Nak Bima?"
"Ibu ... mau ketemu Annisa."
Pandu terdiam untuk beberapa saat. Annisa yang mendengarkan itu berpura-pura tidak mendengar. Setelah beberapa hadiah yang Bima kirimkan, juga pesan dari beberapa nomor baru yang dia blokir, wanita itu memilih tetap merahasiakan semua.
"Begini, Nak Bima. Annisa sedang hamil. Saya ndak mungkin membiarkan dia berpergian jauh," tolak Pandu halus.
"Tapi Ibu ingin sekali bertemu menantunya, Pak," desak Bima. Kali ini dia tak mengada-ada, sejak dirawat ibunya memang kerap bermimpi dan meminta agar dipertemukan dengan Annisa.
"Apa sebaiknya bicara lewat video call saja, Nak Bima? Nanti pakai hape Annisa. Punya Pakde ini kan model lama. Jadi ndak bisa," usul Pandu lagi.
"Ibu ingin bertemu langsung, Pakde. Katanya untuk yang terakhir," ucap Bima lesu.
Pandu melirik ke arah putrinya yang sedang melipat mukena, lalu berkata dengan lirih. "Coba nanti Pakde bicara sama Nisa. Semoga dia mau."
"Kalau memang Nisa mau, nanti saya belikan tiket pesawat. Pakde ikut juga sekalian. Jangan naik kereta," ucap Bima dengan sungguh-sungguh.
Pandu mengucapkan beberapa kata, lalu menutup panggilan dengan salam. Saat menoleh ke belakang, putrinya sudah tidak ada.
"Nisa. Bapak mau balik ke sawah dulu. Kamu baik-baik di rumah, ya," pamit Pandu saat mengetuk pintu kamar putrinya.
Annisa hanya mengucapkan iya tanpa membuka pintu. Kakinya sudah tidak mau berkomporomi. Bisa memasak saja dia sudah bersyukur karena menghemat pengeluaran.
Pandu mengendarai motor dengan perlahan melintasi jalan kampung. Sepertinya saat pulang nanti, baru dia akan menyampaikan pesan Ratih kepada putrinya.
***
Bima menatap ibunya yang terbaring lemah di tempat tidur. Sudah dua hari Ratih dirawat di rumah sakit setelah dokter men-diagnosis penyakitnya. Diabetes, itulah yang kini bersarang di tubuh renta itu.
Bima menyesal karena terang-terangan menolak perjodohan dengan salah satu putri sahabat ibunya. Sehingga mengakibatkan kondisi wanita paruh baya itu drop dan mengalami komplikasi hingga ke jantung.
"Mana Nisa, Nak?" tanya Ratih dengan lirih.
"Belum datang, Bu. Sabar, ya," bujuk Bima. Sudah beberapa hari ini dia mengambil cuti untuk merawat ibunya. Ada beberapa keluarga jauh yang datang, sehingga dia sedikit terbantu.
"Ibu mau ketemu, Nisa. Dia lagi hamil anak Rahman," lanjut Ratih.
"Iya, ini lagi diusahakan datang," bujuknya sembari menatap wajah sang ibu dengan perasaan bersalah.
Bima ingin mengatakan maaf, tetapi tak terucap. Hanya genggaman jemari yang semakin eratlah, yang bisa dia lakukan untuk menguatkan.
***
Bandara Soekarno Hatta.
Pandu mendorong koper dan menggandeng putrinya saat ke luar pintu kedatangan. Setelah meminta surat kesehatan dari dokter agar diizinkan berpergian jauh, mereka berangkat sesuai dengan permintaan Ratih.
Dua hari adalah waktu yang dibutuhkan Pandu untuk membujuk putrinya agar mau pergi dengan banyak syarat. Annisa tidak mau ditinggal sendirian selama berada di sana. Dia juga meminta dipesankan penginapan yang dekat dengan rumah mertuanya.
Pandu mengiyakan semua dan menyampaikan itu kepada Bima. Laki-laki itu langsung menyetujuinya asalkan Annisa bisa datang. Selain untuk memenuhi permintaan ibunya, juga karena dia sendiri ingin melepas rindu
"Kita naik apa, Pak?"
"Bak Bima mau jemput," jawab Pandu tenang. Dia mengajak putrinya duduk di kursi tunggu sembari menatap suasana sekeliling.
Annisa tak merespons itu, hingga seseorang berdiri di hadapan mereka.
"Nisa. Pakde." Senyum Bima merekah di bibir ketika sang pujaan hati tampak di pelupuk matanya.
Annisa mengangkat kepala lalu membuang pandangan.
"Nak Bima," kata Pandu yang langsung berdiri menyambutnya.
"Ayo kita jalan sekarang, Pakde. Ibu baru saja dibawa pulang ke rumah."
Annisa menggandeng lengan ayahnya dengan erat saat berjalan menuju mobil. Sepanjang perjalanan dia memilih untuk memejamkan mata karena tak mau berbasa-nasi dengan Bima. Lagi pula tubuhnya cukup lelah.
Mobil terparkir cantik di depan rumah Ratih setelah menempuh satu setengah jam perjalanan. Bima membukakan pintu dan mengulurkan tangan untuk membantu Annisa turun. Namun sayang, tangannya ditepiskan dengan kasar.
Pandu membawa tas berisi buah tangan ke dalam rumah dan langsung duduk menunggu di ruang tamu. Annisa sendiri mengambil tempat di sebelah ayahnya dengan perasaan yang bercampur aduk.
Tak lama kemudian, Ratih muncul dari dalam dengan kursi roda yang didorong oleh salah satu kerabatnya.
"Ibu ...." Annisa menghambur di pelukan wanita paruh baya itu dan memeluknya erat.
"Hamil jadi makin cantik kamu, Nduk," ucap Ratih sembari mengusap pipi menantunya.
"Alhamdulillah, Bu."
"Jadi apa jenis kelaminnya?"
"Laki-laki, Bu," jawab Annisa.
"Alhamdulillah, Rahman punya penerus," jawab Ratih penuh syukur.
Annisa menundukkan wajah lalu tersenyum pahit. Sementara itu, Bima menatap pertemuan itu dengan haru.
"Mbakyu jangan banyak mikir. Kita sudah tua ini banyak ibadah saja," ucap Pandu menimpali.
Mereka berbincang cukup lama dan melanjutkannya dengan makan siang. Ketika hari mulai sore, Pandu berpamitan untuk ke penginapan dan beristirahat.
"Kamu ndak mau menginap di sini?" tanya Ratih.
"Ndak, Bu. Nanti Nisa sedih ingat Mas Rahman," ucapnya berbohong. Dia tak akan masuk ke kamar itu lagi karena di sanalah noda itu tercipta.
"Ya sudah. Besok pagi ke sini lagi. Ibu masih kangen. Kamu jangan pulang dulu."
Pandu kembali menggandeng putrinya saat hendak masuk ke mobil. Setelah tiba di penginapan, Bima mengambilkan kunci dan menyerahkannya.
"Tunggu sebentar. Bapak mau ke toilet," ucap Pandu saat mereka masih duduk di lobi.
Bima tersenyum mendengar itu karena ada kesempatan untuk berduaan dengan Annisa.
"Aku kangen kamu," ucapnya tanpa malu.
Annisa berpura-pura tak mendengar lalu mengambil ponsel dan sibuk mengutak-atiknya.
"Nisa."
Bima meraih lengan Annisa dan berusaha untuk menggenggam jemarinya.
"Lepas!" kata wanita itu dengan melotot.
"Menikahlah denganku setelah anakmu lahir. Aku janji akan jadi ayah yang baik untuk keponakanku nanti," ucap Bima dengan sungguh-sungguh.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Bima. Laki-laki itu tersenyum pahit dan berjalan meninggalkan penginapan, lalu pulang tanpa menunggu Pandu datang.
Annisa memegang dadanya yang terasa sesak sekaligus merasa puas atas apa yang dilakukannya tadi. Wanita itu segera masuk ke kamar dan menumpahkan tangis di dalam sana.
***
Next?