Bingkisan

1250 Kata
Derap langkah Bima saat memasuki kantor membuat beberapa pasang mata menoleh. Bisik-bisik dari karyawan mulai terdengar, terutama dari para wanita. Ketampanannya, juga posisi yang bagus sebagai seorang manager IT di perusahaan, membuat laki-laki itu kerap menjadi bahan perbincangan. Ada beberapa karyawan wanita yang diam-diam menyimpan rasa, tetapi tak berani mengungkapkan. Namun, ada juga yang berani dan terang-terang. Seperti pagi itu, saat dia sedang mengantre di depan finger print. "Pagi, Bim. Udah sarapan?" tanya Nadine, sekretaris direktur utama yang berwajah blasteran dan juga cantik menggoda. "Udah," jawabnya singkat. Bukannya Bima tak mau berbasa-basi, tetapi penampilan Nadine yang seronok dengan pakaian seksi membuatnya risih. Apalagi wanita itu suka menempel kepadanya. "Kamu ini dingin banget. Gak suka sama cewek, ya?" ucap Nadine manja sembari mendekatkan diri. Sikapnya justru membuat Bima menjadi jengah. Dengan cepat, laki-laki itu menyetor jari telunjuknya ke mesin absen, lalu berjalan menuju lift. Nadine menggerutu dan menghentakkan kaki karena kesal. Baru kali ini ada seseorang yang menolak pesonanya. Selama ini, hanya dengan modal senyuman, kaum Adam akan bertekuk lutut bahkan mengejar untuk mendapatkan perhatiannya. "Kasihan Nadine, dicuekin Pak Bima." "Iya, ganjen amat, sih. Semua mau diembat." "Eh, denger-denger Pak Dirut juga udah kena perangkap dia, ya." "Katanya sih begitu. Gak tau, deh." "Dasar serakah. Bagus aja Pak Bima nolak dia. Biar kita-kita juga kebagian." Begitulah bisik-bisik yang santer terdengar. Nadine memilih untuk diam dan tak peduli, lalu mengantre di lift setelah menyetor absen. Sayangnya, Bima sudah naik duluan. Sehingga kesempatannya untuk kembali mendekati laki-laki itu, menjadi pupus seketika. "Pagi, Pak," ucap Tiara, gadis manis yang beberapa bulan ini menjadi sekretaris Bima. "Ya," jawab laki-laki itu singkat sembari membuka kunci ruangan dan masuk dengan cepat. Sudah hampir empat bulan Bima bekerja di kantor itu, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Sosok Annisa masih saja bergelayut di pelupuk mata, juga mengganggu tidur malamnya. Entah sudah berapa banyak wanita yang mencoba mendekati, beberapa di antaranya bahkan dengan sengaja dikenalkan. Namun cinta, sekaligus perasaan bersalah kepada Annisa terus saja membayangi. Ada rasa perih di hati Bima saat ibunya mengatakan bahwa Annisa menolak lamaran mereka. Lalu, rasa menyesal kembali muncul. Ternyata setelah m*****i wanita itu, cintanya tetap tak berbalas. Namun, secara diam-diam dia tetap berusaha mendekati sang pujaan hati secara perlahan. Bima merasa masih ada harapan untuk merebut hati Annisa kembali, sekalipun dia tahu itu penuh perjuangan. Apalagi ada banyak kenangan indah mereka sewaktu kuliah. Begitu pintu terbuka, Bima langsung menyalakan pendingin ruangan, lalu meletakkan tas di meja. Dia duduk dengan tenang dan menyalakan PC dan mulai memeriksa beberapa email yang masuk. Ada sedikit kendala di beberapa divisi mengenai jaringan, juga rencana perusahaan yang akan menerapkan program baru untuk memudahkan laporan. Saat sedang serius membalas email, ponselnya bergetar tanda ada panggilan yang masuk. "Ya, Bu?" Bima menjawabnya ketika nama sang ibu tertera di layar ponsel. "Sibuk, Nak?" tanya Ratih. "Kayak biasa, Bu. Namanya juga kerja," jawabnya sembari mengutak-atik laporan yang harus dikirm saat itu juga. "Besok libur, 'kan?" "Iya, Bu. Memangnya ada apa?" tanya Bima serius. Biasanya kalau ibu menelpon di saat jam kerja, berarti ada hal penting yang akan dibicarakan. "Besok Ibu mau pergi arisan sama ibu-ibu komunitas amal. Kamu bisa antar?" Bima menghela napas karena sudah tahu apa maksudnya. Sudah sering dia diminta mengantar ibunya berpergian. Pada akhirnya, tujuan utama mereka adalah perjodohan. "Lihat nanti ya, Bu. Biasanya kalau hari Sabtu, aku diminta training tim IT cabang kecil," jawabnya. Sebenarnya di perusahaan itu ada beberapa karyawan senior yang ikut mendaftar sewaktu lowongan manager dibuka. Namun, berkat ijazah sekolah di luar negeri itulah Bima diterima bekerja dan langsung menempati posisi yang cukup tinggi. Ada banyak komplain dan cibiran yang menghampirinya di awal bekerja. Bima tetap berusaha untuk tenang saat menanggapi itu semua. Dia membuktikannya dengan prestasi. Itu terwujud dalam waktu tiga bulan berjalan. Sistem instalasi, jaringan software maupun hardware menjadi lebih lancar dari sebelumnya. Atas usulnya juga, perusahaan dalam waktu dekat akan menerapkan program baru, sehingga laporan input data penjualan lebih mudah dan cepat untuk di-entry. Perusahaan memang akan mengeluarkan banyak biaya kali ini. Namun, sesuai dengan hasil yang akan didapat, karena program yang baru lebih efisien dalam menghemat waktu, juga meminimalisir kesalahan. "Ya jangan begitu jawabnya. Pokoknya besok harus bisa. Ibu tunggu!" Ratih memutuskan panggilan setelah sedikit memaksa putranya. Sebenarnya bisa saja mereka membicarakan itu di rumah, tetapi Bima selalu pulang larut malam sehingga dia sudah tertidur. Bima sendiri memang tak pernah langsung pulang ke rumah selesai jam kantor. Dia akan duduk di cafe untuk menikmati segelas kopi dan sepotong cheese cake bersama teman-temannya. Satu kebiasaannya sejak tinggal di luar negeri yang belum bisa ditinggalkan sampai sekarang. Setelah suara ibunya menghilang bersamaan dengan sambungan yang terputus, tiba-tiba dia teringat akan sesuatu hal dan menelepon seseorang. "Gimana dengan pesanan saya. Apa sudah dikirim?" Dia bertanya kepada seseorang di seberang sana. "Sudah. Sesuai dengan pesanan Bapak. Jika sesuai jadwal, harusnya hari ini sudah sampai." Bima mengangguk mendengarkan penuturan itu, lalu menutup telepon setelah mendapatkan informasi yang cukup jelas. Setelah meletakkan ponsel di meja, Bima melanjutkan pekerjaan hingga tiba makan siang. Kali ini dia meminta Tiara untuk mengantarkan makanan ke ruangan, karena tak keburu waktu untuk ke luar. "Masuk!" ucapnya ketika mendengar suara pintu diketuk. "Hai, Bim!" Sebuah sapaan manja terdengar bersamaan dengan masuknya sesosok wanita cantik. "Loh, ngapain kamu ke sini?" tanya laki-laki itu heran ketika melihat Nadine dengan santainya duduk di sofa ruangan. "Mau ajak kamu makan siang," jawab wanita itu sembari tersenyum manis. "Aku udah pesen online. Sorry," tolak Bima halus. Nadine seperti tak tahu malu karena masih saja terus mengejarnya. "Kalau gitu kita makan bareng. Aku pesen online juga," katanya dengan begitu percaya diri. Bima menggelengkan kepala karena sudah tak dapat berkata. Ketika pesanan makanannya tiba, mau tak mau mereka duduk makan bersama sembari bercerita. *** Annisa bergegas memakai hijab saat ada yang mengetuk pintu rumah. Bapak masih di sawah pada jam segini, sehingga dia sudah bisa menduga bahwa yang datang itu adalah tamu. "Ya?" Dia bertanya kepada seorang laki-laki berseragam yang berdiri di depan pintu. "Ibu Annisa?" "Benar," jawabnya singkat. "Ini ada paket." Annisa menerima kotak itu lalu melihat siapa pengirimnya. Ternyata dari ibu mertua. Sejak kedatangannya tiga bulan lalu, mereka tetap berkomunikasi dengan baik, sekalipun dia secara terang-terang menolak lamaran Bima. "Tanda-tangan di sini ya, Bu," ucap si pengantar paket sembari menyerahkan sebuah pulpen. Annisa menorehkan coretan tangannya kemudian menutup pintu setelah petugas paket pergi. Dia meletakkan kotak itu di meja dan mengambil gunting, lalu memeriksa isinya. Wajah Annisa sembringah ketika melihat apa isianya. Beberapa baju hamil dan hijab panjang dengan warna senada. Wanita itu membuka bungkusnya satu per satu dan terkejut saat melihat isi kartu ucapan yang terselip di salah satu baju. 'Semoga kamu suka. Bima.' Ada perasaan tak enak ketika Annisa membaca pesan itu. Jelas bahwa Bima lah yang sebenarnya mengirim bingkisan hanya mengatas namakan ibunya. Entah apa maksud dari laki-laki itu, yang pasti dia tak akan memakainya. Annisa mengusap perutnya yang sudah mulai telihat membuncit. Rasa mual dan muntahnya sudah berkurang, justru selera makannya kini meningkat. Wanita itu memasukkan kembali isi bingkisan ke dalam kotak dan menyimpannya di kamar. Ada rasa bimbang di hatinya, antara ingin mengatakan hal yang sebenarnya atau tetap menutup rapat semua aib. Lalu, dia kembali meneguhkan hati kepada keputusan awal, bahwa ayah dan ibu mertuanya tak boleh mengetahui kejadian itu. Annisa berjalan ke dapur, hendak menyiapkan makan malam untuk ayahnya yang sebentar lagi akan pulang. Wanita itu berencana akan mencari pekerjaan jika nanti putranya sudah lahir. Annisa tak mungkin membebankan semua biaya kepada sang ayah mengingat kondisi fisiknya yang semakin renta. Semoga mereka diberikan rezeki yang berlimpah untuk menyambung hidup agar lebih baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN