PART. 6

661 Kata
Seperti refleks Adam menggenggam jemari Adis. Adis sendiri, spontan memeluk lengan Adam. Kamera wartawan mengabadikan momen kedekatan mereka. "Minta waktunya sebentar Mas Adam. Untuk klarifikasi tentang hubungan Mas Adam dengan gadis yang bersama Mas Adam ini." Salah seorang wartawan menunjuk Adis. "Aduh, saya bukan artis, bukan selebgram, bukan youtuber. Untuk apa diwawancara segala." "Tapi, Mas Adam ini sangat terkenal. Karena salah satu keluarga Lazuardi." "Kabar yang beredar, katanya gadis di foto ini calon istri Mas Adam. Bukankah gadis yang bersama Mas Adam ini, sama dengan gadis yang ada di foto ini?" Adam menatap layar ponsel di hadapannya. Itu foto bersama Adis saat pertama kali mereka bertemu. Adam menatap Adis, tapi tatapan gadis itu entah kemana. "Maaf, no komen. Tidak ada yang perlu saya jelaskan. Kehidupan saya bukan konsumsi publik." Adam menarik lengan Adis, wartawan masih berusaha mengikuti mereka. Adam membuka pintu mobilnya. "Masuk!" Adam menekan kepala Adis agar tidak terantuk saat masuk ke mobil. Adis seperti kehilangan suara. Ia shock dengan apa yang terjadi. Dikejar wartawan seperti selebritis yang tengah terkena kasus saja. Adam masuk ke dalam mobil, lalu membawa mobilnya menjauh dari kantornya. "Ini salahmu!" Seru Adam gusar. Yang disalahkan duduk seperti patung, menatap lurus ke depan. "Hey, kamu dengar. Ini salahmu, karena menyusup masuk ke dalam mobilku. Membuatku menabrak mobil Tante Yola. Memintaku mengaku sebagai calon suamimu. Dan didengar oleh Tante Fey. Semua berawal dari dirimu, kamu dengar!" Tetap tidak ada reaksi dari gadis di sampingnya. Adis tidak bergerak, tatapannya lurus ke depan. Matanya bagai tak berkedip. Adam mengernyitkan keningnya. Ditepikan mobilnya. Lalu ia duduk menghadap Adis. "Hey!" Adam menjawil lengan Adis. "Hey, kamu kenapa?" Adam menggoyangkan lengan Adis. Mata Adis mengerjap. Tapi tubuhnya tidak bergerak. "Ya Allah, kamu kenapa Adis Arinda Kamila!?" Seru Adam semakin bingung. "Kamu kesambet?" Tiba-tiba, Adam merasa bulu tubuhnya meremang. "Ya Allah, anak ini kenapa? Adis ...." Adam mengambil air mineral botol, ia bacakan Ayat suci, dan Ayat Kursi. Lalu ditumpahkan ke telapak tangannya, ia percikan ke wajah Adis. Adis terjengkit kaget. Ditatap Adam, lalu diusap wajahnya yang basah. "Heh, Om ngapain aku? Kenapa wajah, rambut, dan bajuku basah?" Adis mengusap bajunya yang basah. "Itu salah kamu, kenapa kamu seperti kesambet begitu?" "Eh ... kita di mana?" Adis menatap sekelilingnya. "Kok aku ada di mobil, Om!" Kening Adam berkerut mendengar pertanyaan Adis. "Kamu lupa apa yang baru saja terjadi?" "Memangnya ada apa?" Mata Adam yang terbuka lebar menatap Adis dengan bingung. "Coba kamu ingat. Kamu tadi ke kantorku, untuk mengambil KTP, dan nota perbaikan mobil. Kamu ingin transfer, tapi ponselmu tertinggal di mobil. Kita ke bawah, saat pintu lift terbuka ...." "Banyak wartawan di lobi ... selanjutnya, aku lupa ....," gumam Adis nyaris tak terdengar. "Aku membawa kamu pergi dari kerumunan wartawan." "Wartawan sedang apa di sana?" "Mereka sedang mencari tahu, gosip yang beredar tentang kita." "Haah! Memangnya kita artis!?" "Aku ingin telpon orang kantor dulu. Mungkin wartawan itu sudah pada pergi. Biar aku bisa mengantarmu mengambil mobil." Adam mengambil ponselnya. Ia bicara sebentar dengan sekretarisnya, ternyata wartawan masih bertahan di kantornya. "Mereka masih di sana." "Jadi bagaimana, mobilku di sana. Ponselku di dalam mobil." Adam menyandarkan punggungnya ke sandaran jok mobil. "Ini gara-gara Om!" "Kok aku? Yang minta bantu aku berperan sebagai calon suamimu siapa?" "Ya memang gue, tapi kenapa coba Lo harus jadi orang terkenal?" "Hey, aku tidak berminat jadi orang terkenal ya!" "Terus bagaimana?" "Sebentar." Adam kembali menelpon. Tidak lama datang seseorang naik motor yang diparkir di belakang mobil Adam. "Mana kunci mobilmu. Biar supirku yang membawa mobilmu ke sini." Adis menyerahkan kunci mobilnya pada Adam. "Mobilmu apa?" Adis menjelaskan tentang mobilnya pada supir Adam. Setelah supir Adam pergi. Ponsel Adam berbunyi. "Ami. Assalamualaikum, Ami." "Walaikum salam, kamu di mana?" "Di jalan." "Mau ke mana?" "Engh ... mau makan siang Ami." "Kamu makannya pulang saja ya, ada yang ingin Ami bicarakan." "Ami sakit? Suara Ami lemah sekali." "Ami tidak apa-apa, kamu pulang ya. Makan siang di rumah." "Iya Ami." "Assalamualaikum." "Walaikum salam." Adam mematikan ponselnya. Ia merasa ada yang tidak beres dengan Aminya. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN