Bab 7. Bagaikan Terkena Sengatan Listrik

1316 Kata
"Masuk." Suara bariton itu membuat hati Sheva berdegup kencang. Sheva masuk ke dalam dan menghadap Denver yang masih sibuk dengan semua dokumen yang tertumpuk sangat tinggi, lelaki itu terlihat menakutkan. Sheva merasa canggung dia kini bingung bagaimana memulai pembicaran pada lelaki yang terlihat dingin itu. "Mas maaf telat, tadi susah cari ojek. Malah ketemu Mama di jalan," ujar shevaya mencoba memecah keheningan. Shevaya meletakkan makanan yang Rosmala berikan di meja, dia berusaha menghampiri Denver yang terlihat emosi di kursinya. Shevaya tidak tahu apa yang membuat lelaki itu begitu emosional, dia hanya takut jika Denver akan memarahinya karena terlambat begitu lama. “Sheva, apakah kamu bisa menenangkanku?” ujar Denver yang tiba-tiba menarik Shevaya hingga jatuh tepat diatas pangkuannya. Shevaya terkejut bukan main, awalnya dia mendekatkan diri untuk meminta Denver segera datang makan siang, tetapi apa yang dia dapatkan malah sebaliknya. Tubuh Shevaya serasa tersengat aliran listrik, tubuh lelaki itu begitu panas. Shevaya tidak tahu apa yang Denver pikirkan, tetapi dia langsung mencium bibir Shevaya dengan kasar. Shevaya yang tidak siap hanya bisa pasrah dan menggenggam kerah kemeja Denver, lelaki itu terlihat b*******h. Sheva yang awalnya kuwalahan kini mulai bisa mengontrol dirinya, dia menahan tubuh Denver karena takut ketahuan oleh orang lain yang masuk ke dalam ruangan lelaki itu, tetapi dia tidak sanggup menahan tubuh Denver yang dipenuhi dengan gairah. “Kamu kenapa Mas?” tanya Shevaya yang berhasil menghentikan Denver, dia mengusap pipi Denver dengan halus. Denver mengabaikan ucapan Sheva dan kembali mencium bibirnya dengan liar. Lelaki itu memeluk Shevaya, membuat keduanya merasakan gairah yang tidak pernah ada sebelumnya. Shevaya tidak tahu setan apa yang merasuki lelaki itu, tetapi dia benar-benar berubah dan membuat Shevaya kualahan. “Tahu tempat dong bos,” ujar Gandi-sahabatnya yang masuk ke dalam ruangan Denver tanpa permisi. “Sialan, mengganggu saja kau! Enyahlah!” maki Denver yang kini harus melepaskan Shevaya. Gadis itu terlihat malu, dia tidak berani membalikkan tubunya karena ada seseorang yang memergoki ulah mereka. Semua memang salah Denver yang tiba-tiba menyerangnya, jika bukan karenanya dia tidak akan malu untuk bertemu dengan orang itu. Denver mengusap lipstick Shevaya yang berantakan, dia membantu Shevaya berdiri dan meminta gadis itu untuk menata penampilannya. “Ada perlu apa?” tanya Denver yang kini duduk sembari membuka makanan yang Sheva bawa untuknya. “Wih, siapa cewek itu? Kenapa tiba-tiba—" “Jangan kebanyakan nanya, ada masalah apa?” tanya Denver yang kini bersiap makan siang. “Investor yang kamu incar, kayaknya akan mengadakan ulang tahun pernikahan. Kemarin yang datang itu anaknya dia yang di percaya oleh mereka untuk invasi bisnis yang lain.” Gandi memberikan informasi pada Denver. “Aku sudah tau, lagian aku juga dapat undangan.” Denver tersenyum tenang. “Sialan, aku kira kau tidak dapat.” Gandi ingin mencomot makanan yang ada di hadapan Denver, dengan sigap langsung dihalau. Denver membuat lelaki itu meringis terkena serangannya. “Pelit amat, anak orang kamu apain tadi? Di kantor siang-siang malah berbuat tidak senonoh. Aku adukan tante Rosmala tau rasa,” ujar Gandi. “Adukan saja, lagi pula Mama udah tau dia siapa.” Denver menyantap makanan itu dengan lahap. Shevaya yang sejak awal menimbang-nimbang akan keluar atau tidak kini akhirnya memutuskan untuk keluar dari sana. Shevaya tidak mungkin terus berada di toilet hanya karena dia malu menghadapi tamu tersebut. Shevaya tidak ingin membuat Denver semakin menunggu terlalu lama. “Kenapa lama sekali?” tanya Denver yang kini merapikan bekas makanannya, gadis itu bahkan berada di toilet lebih dari 20 menit. “Dia siapa? Aku sepertinya kenal.” Gandi melihat Shevaya dengan seksama. “Nggak usah sok kenal. Sana pergi, aku sangat sibuk hari ini.” “Mentang-mentang udah punya pacar, kini aku terlupakan.” Gandi pergi dari sana, Denver tahu bahwa lelaki itu hanya senang drama terlebih Denver tidak menceritakan apa pun mengenai Shevaya kepadanya. “Mas kenapa tiba-tiba cium Sheva?” tanya Sheva penasaran. “Emang salah cium pacar?” tanya Denver santai. Denver mengabaikan rasa penasaran Shevaya, dia bersiap menuju ke tempat pertemuan. Denver harus bertemu kolega bisnis yang sudah dijanjikan sejak dua minggu lalu, dia tidak ingin membuat mereka menunggu lama. “Ambilkan tas dan jasku, kita pergi meeting sekarang.” Sheva hanya merengut ketika Denver mengabaikan ucapannya dan malah memintanya untuk mengambil jas dan tas miliknya. Lelaki itu melihat jam tangan mahal yang melingkar di tanganya, tak lama kemudian Segara datang dan mempersilahkan lelaki itu untuk segera keluar karena meeting akan segera diadakan. Sheva yang mematung membuat Denver geram, gadis itu benar-benar bodoh karena tidak mengetahui tanda yang dia buat. “Kamu ikut,” ujar Dever menarik tangan Shevaya. Gadis itu hanya terdiam, dia hanya pasrah lelaki itu mau mengajaknya kemana. Shevaya tidak bisa membaca pikiran Denver, lelaki itu benar-benar membuatnya terus bertanya-tanya mengenai segala hal yang kini membuat Shevaya tidak mengerti. “Kenapa aku harus ikut?” bisik Shevaya ditelinga Denver, dia tidak ingin banyak orang mendengar ucapan mereka terlebih kini mereka sedang berjalan menuju lobi. “Ikuti saja perintahku,” ujar Denver yang mau tidak mau harus Shevaya ikuti. Shevaya merasa sedikit tenang karena setidaknya pakaiannya masih aman untuk di pakai bertemu klien, dia hanya takut jika di kira tidak tahu sopan santun terlebih Denver bukan sembarang orang. Shevaya tidak ingin dirinya membuat Denver merasa kecewa karena dia tidak pantas mendampinginya. “Segara semuanya sudah siap?” “Sudah tuan.” Mereka lalu masuk ke dalam mobil dan menuju ke lokasi, Shevaya tidak mengerti apa yang Segara dan Denver katakan. Istilah itu lumayan sulit baginya, dia masih mahasiswa semester 4 yang belum begitu paham masalah bisnis, sangat berbeda dengan kedua orang itu yang memang sudah menjadi kesehariannya. “Masih agak lama, tidur saja jika mengantuk.” Denver berbisik pada pacarnya. Wanita itu hanya mengangguk lalu memejamkan matanya, dia lelah karena seharian melakukan banyak kegiatan. Harinya terlalu berat ketika bertemu dengan orang yang menyebalkan, dia berharap tidak akan bertemu dengan David dan Liona kembali. Denver menatap Shevaya dalam diam tidak tahu apa yang ada di otaknya, tubuhnya merasakan hal yang berbeda ketika melihat Shevaya ada di depannya. Dia tidak bisa untuk menahan dirinya ketika bibir itu terus terbayang di kepala Denver. Sungguh baru kali ini dia merasa terus bergantung pada satu wanita, dia memang baru mengenal Shevaya, tetapi gadis itu sungguh menarik untuknya. *** Sesekali Denver melihat Shevaya yang sedang asik memakan es krim, pesona gadis itu membuat hati Denver yang hampir mati kini kembali lagi. Denver tidak ingin menjalani hubungan, tetapi semenjak kehadiran Shevaya yang menyebalkan kini hatinya mulai berubah, dia merasa jika Sheva berbeda dan dia tidak ingin orang lain mendapatkannya. “Baik, terima kasih atas kerjasamanya.” Denver berjabat tangan dan orang itu pamit untuk kembali. Denver kini berdiri dan duduk di hadapan Shevaya, dia mengambil tisu dan mengusap bekas es krim di sudut bibir wanita itu. Tingkah Shevaya membuat dirinya kalang kabut, segala hal yang dilakukan Shevaya kini mencuri perhatiannya. “Mas—” Sheva cemberut karena dia malu semua perhatian Denver di lihat oleh banyak orang. “Kenapa sayang?” tanya Denver. “Nggak boleh gitu,” ujar Sheva menolak. Denver tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari kantong jas miliknya, dia langsung memperlihatkannya pada Shevaya. Semua orang yang ada di sana bersorak melihat adegan romantis di depannya, jantung Shevaya berdebar sangat kencang dia tidak menyangka jika Denver akan melamarnya di depan umum. “Mas, ini maksudnya apa?” tanya Shevaya terperangah. “Mau kah kamu menjadi calon istriku?” tanya Denver dengan senyum manis di bibirnya. Semua orang bersorak dan meminta Shevaya untuk menerima pinangan Denver. Shevaya tidak tahu apa yang ada di kepala Denver, dia tidak bisa menolak dan hanya bisa mengikuti segala hal yang lelaki itu katakan. Shevaya mengangguk dan semuanya tersenyum, mereka bahkan merekam dan mengabadikan adegan romantic itu. Denver memakaikan cincin di jari manis Shevaya, dia berdiri lalu memeluk Shevaya yang masih mematung. “Kamu harus tersenyum Sheva, bukankah hal ini lebih baik untuk membalas dendam? Setidaknya Mala akan melihat adegan romantis kita,” bisik Denver di telinga Shevaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN