Bagi Maya hari Minggu adalah hari yang sangat menyenangkan. Maya bisa tidur seharian dan berbelanja. Maya menyumprut lemon tea yang ia pesan, food court sudah ramai dikunjungi oleh pengunjung. Maya melirik jam yang melingkar di tangannya. Ia masih menunggu kedatangan Wira.
Wira kekasihnya yang ia pacari sebulan yang lalu. Wira laki-laki tampan dan ia sekarang tahu, laki-laki itu bekerja di salah satu produser Tv swasta, dan ia mempunyai beberapa kedai kopi yang sudah berkembang di Jakarta. Wira mapan dari segi materi dan dewasa. Tapi entahlah saat ini ia terlihat biasa saja. Tidak ada getaran dihatinya, walau laki-laki itu sudah berkali kali menciumnya.
Notifikasi masuk, Maya tersenyum.
"Saya terjebak macet parah, kamu bisa berkeliling mall, sambil menunggu kedatangan saya".
Maya lalu mengetik pesan itu lagi,
"Tidak apa-apa, saya masih menunggu kamu disini".
"Saya merindukanmu, love u syg :*".
"Love u to".
"Jangan melirik laki-laki lain, selain saya".
"Saya bukan wanita seperti itu, kamu percaya saya?".
"Iya saya percaya".
"Sepertinya sudah bisa jalan, nanti kita sambung lagi".
"Oke".
Maya tersenyum, menyudahi pesan-pesan singkat itu. Maya membuka i********: miliknya, tidak ada yang spesial dari akun miliknya itu. Maya mengalihkan tatapnya, ia menyadari balita berparas cantik berjalan mendekatinya. Maya memprediksi umurnya sekitar empat tahun. Rambutnya keriting, pipinya tembem dan bibir mungilnya sungguh menggemaskan.
Maya tersenyum, ia menyambut kedatangan anak itu. Maya melirik kesana kemari, mencari keberadaan orang tua balita yang mendekatinya.
"Hay, cantik" Memegang jemari mungil itu.
"Maukah menjadi mami Lala?" Ucapnya dengan suara lucunya sungguh sangat menggemaskan.
Maya tertawa, ia mengelus rambut anak bernama Lala itu. "Kamu lucu sekali sih, tentu saja saya mau. Siapa yang tidak mau menjadi mami kamu. Kamu begitu cantik dan menggemaskan" ucap Maya, ia mencium pipi lembut anak itu.
Maya lalu menggendong tubuh Lala, dan didudukinya disalah satu kursi di sampingnya. Jujur ia suka sekali dengan anak kecil dan ia tidak pernah bosan jika disuruh menjaganya.
"Hore, Lala punya mami".
Maya tertawa, melihat tingkah Lala. Dengan kedatangan anak yang tidak dikenalnya ini. Sambil menunggu Wira, ia putuskan untuk bermain-main dengannya agar tidak terlalu bosan.
"Lala sama siapa kesini" tanya Maya.
"Lala sama papi".
"papi lala dimana?".
Maya mulai penasaran, ia tidak suka ketika orang tua lalai menjaga anaknya, jika bertemu orang jahat, memanfaatkan sesuatu kepadanya. Maya tidak bisa membayangkan seperti apa. Sungguh kasihan sekali.
"Kata papi, Lala boleh pilih mami yang mana saja dan Lala sudah ketemu mami Lala disini".
Maya tertawa atas penuturan anak itu, menganggap dirinya mami baru ditemuinya. Maya memaklumi, lala memang masih kecil dan tidak tahu apa-apa.
"Dimana papi Lala, ayo mami antar kesana" Maya mengikuti alur yang dibuat anak itu.
"Papi ada tadi, lagi pesen makan buat Lala".
"Pesen makan dimana?".
"Situuu" ucapnya menunjuk salah satu counter ice cream.
Maya memperhatikan counter yang di tunjuk Lala. Tapi percuma para pengunjung ramai mengantri disana.
"Coba panggil papi Lala".
"Bental lagi papi kesini, disitu tu" tunjuknya lagi.
Maya tersenyum, mengalihkan tatapannya, ia merogoh tas miliknya. Teringat ia masih memilik coklat yang dibelinya kemarin.
"Lala mau coklat?".
"Mau, Lala suka coklat".
Maya memberikan coklat itu kepada Lala, "Lala sekolah dimana?".
"Lala cekolah di Binus".
Mendengar nama Binus sudah terbayang mahalnya seperti apa biaya pendidikan itu. Biaya masuk di taman kanak-kanak itu sudah seperti masuk sekolah kedokteran.
"Mami, makasih coklatnya".
"Iya Lala".
"Mami, mau kan jadi mami Lala benelan".
Maya, mencoba berpikir, dan ia tersenyum. "Memangnya Lala tidak punya mami?".
"Tidak, kata papi, mami Lala disulga, tapi kata papi Lala boleh pilih mami sendili buat papi".
"Owh begitu". Maya mengangguk.
"Itu papi" tunjuk Lala.
Otomatis Maya menoleh, Maya menatap laki-laki bertubuh tinggi tegap, rahang kokoh yang sudah di tutupi bulu-bulu halus. Laki-laki itu membawa trey berisi ice cream. Laki-laki itu juga menatapnya bingung.
"Hole papi datang, papi Lala sudah ketemu mami balu" ucap Lala dengan penuh ceria.
Laki-laki itu mengerutkan dahi, beralih menatapnya. Dan ia tersenyum lalu duduk salah satu kursi kosong dihadapannya. Laki-laki itu memberikan ice crem kepada Lala dan dirinya. Ice cream? ia tidak pernah memesan ice cream itu. Laki-laki itu tersenyum menatapnya. Hatinya berdesir, sulit di jabarkan. Itu hanya sebuah senyum, kenapa hatinya berdesir seperti ini.
"Maaf, anak saya meropatkan kamu" ucapnya.
"Ah, tidak apa-apa saya, sama sekali tidak merepotkan, Lala anaknya pintar".
Lala berdiri diatas kursi, sambil menyendok ice cream miliknya. "Papi, Lala sudah punya mami balu, ini mami balu Lala. Tadi Lala sudah tanya maminya mau, jadi mami Lala. Cantikkan pi, mami balu Lala".
Maya terperangah atas penuturan Lala. Penuturan itu sama sekali membuatnya tidak berkutik, sama sekali bukan sedang bercanda. Ia tahu mana yang sedang bercanda dan tidak.
Laki-laki itu tersenyum menatapnya, "iya mami barunya cantik".
"Jadi sekalang, Lala sudah ada papi dan mami. Lala enggak diejek lagi sama teman-teman di sekolah. Mami nanti antalin Lala kesekolah ya".
Maya semakin tidak mengerti, ia terlalu bingung untuk menjelaskan kepada anak itu. Bahwa apa yang di ucapkannya tadi hanyalah bercanda agar membuatnya senang.
"Rara jangan begitu, Rara sudah bilang maminya mau ngantarin Rara sekolah?".
"Sudah pi, tadi maminya mau menjadi mami Lala. Iya kan mami".
Maya terdiam menyaksikan percakapan orang tua dan anak itu, membicarakannya. Ternyata nama anak itu bernama Rara, penyebutan R memang sangat sulit diucapkan anak-anak balita, jadilah ia menyebut dirinya Lala bukan Rara. Laki-laki itu tersenyum lagi, ia mengulurkan tangan menyalaminya.
"Saya Bara, senang berkenalan denganmu".
Maya menyambut uluran tangan itu, "saya Maya".
"Terima kasih sudah mau menjadi mami buat Rara".
"Saya....".
***