Mendengar obrolan para pengawal yang begitu bising, Felix terbangun dari tidurnya. Mengusap wajah dan leher bagian belakangnya. "Ada apa?" tanyanya masih sangat mengantuk. Dia begitu lelah, sehabis mengantarkan Nessi tadi langsungmengurus banyak pekerjaan di kediaman Kenan. Sudah dua hari Felix tidak tidur, matanya sangat berat.
"Nona Ratih akan segera melahirkan, Felix. Tadi Tuan Damian ke sini mencari kamu, cuman urung, tidak ingin mengganggu tidur kamu. Saya sudah katakan jika kamu istirahat setelah dua hari tidak tidur dan kelelahan mengurus kerjaan di kediaman Tuan Kenan."
Mata Felix membelalak, dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk. "Nona Ratih melahirkan? Bagaimana bisa, bukankah masih beberapa hari lagi?"
"Saya juga kaget, tapi kami hanya disuruh diam di sini untuk tetap menjaga keamanan. Istirahatlah lagi, Tuan Damian tidak mempermasalahkan kalau kamu ingin beristirahat."
Felix segera beranjak dari tempat tidur, melangkah lebar menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. "Kamu jaga keamanan sekitar, saya akan mengantarkan Tuan Damian ke rumah sakit." Menepuk lengan pengawal yang lebih muda darinya itu, dia bernama Bagas--baru bekerja sekitar dua setengah tahun.
Dengan terburu-buru, Felix mendatangi Damian yang sedang menuntun Ratih melangkah. "Selamat malam, Tuan, maafkan saya ... saya ketiduran." Membungkukkan sedikit badannya. Kantuk sudah hilang, dia ikutan cemas melihat Ratih. Wanita itu biasa saja, malah masih sempat mengulas senyum dan menyapa Felix.
Damian menatap Felix beberapa saat, melihat jelas jika pria itu baru saja membasuh wajahnya untuk menghilangkan rasa kantuk. Tidak bisa dipungkiri, wajah lelah itu terlihat jelas sekali. "Kamu istirahatlah, Felix. Biar saya yang menanganinya, beberapa pengawal juga ada yang ikut ke rumah sakit, pasti akan tetap aman."
Felix menggeleng, dia sudah berjanji untuk menemani Damian saat Ratih melahirkan. "Tidak, Tuan, ayo ... saya akan mengantar kalian menuju rumah sakit." Melangkah lebih dulu, mengambil kunci mobil pada pengawal lain, kemudian siap melajukan mobilnya. Bukan hanya Damian yang terlihat cemas, Felix pun demikian.
Sepanjang perjalanan Felix begitu gugup, dia sangat berhati-hati mengemudikan mobil agar tidak terjadi sesuatu dan selamat sampai ke rumah sakit. Sesekali Felix melihat ke arah spion tengah, ikutan merasakan sakit melilit pada perutnya. Astaga, apakah sesakit itu menuju persalinan?
Sesampainya di rumah sakit, Felix melangkah lebar mendatangi Damian yang sudah masuk duluan. Tadi Felix memarkirkan mobil terlebih dahulu. Saat memasuki lift, ponsel berdering. Felix mendesah, lalu melihat siapa yang menghubungi di saat tegang seperti ini.
Nama Nessi tertera sangat jelas di layar benda pipihnya. Felix memijat pelipis, mau apalagi gadis bar-bar satu ini meneleponnya dini hari?
"Halo, ada apa?" Felix melangkah keluar lift, mencari ruangan Ratih.
Nessi menguap, kemudian tersenyum. "Felix, ayo cari makan keluar, aku lapar. Di sini tidak ada makanan, aku lagi malas memasak." Dengan santainya dia berucap demikian. Nessi tiba-tiba terbangun, lalu ingin memakan sate kambing yang dimakan menggunakan kecap dicampur bawang dan tomat. Sebenarnya bikin sendiri jauh lebih enak dan puas, tapi stok daging sudah habis di lemari pendingin.
Felix mendesah. "Tidak bisa. Saya sedang sibuk."
"Sibuk ngapain? Kurang kerjaan banget kamu sibuk di jam segini." Nessi mencebikkan bibir, kesal karena Felix menolaknya mentah-mentah. Nada bicaranya sangat tidak bersahabat. "Ayo jemput aku, kita cari makan. Beneran, Felix, aku sangat sangat lapar. Aku pengen banget---"
"Nona Ratih segera melahirkan. Sudah dulu." Lantas telepon di matikan, Nessi refleks memekik kaget. Dia masih berusaha menghubungi Felix lagi hingga beberapa sampai panggilannya di angkat. "Felix, aku juga mau ke rumah sakit. Alamatnya di mana?"
"Ck, anak nakal ini! Tidak perlu, datang besok siang saja setelah pulang kuliah. Tidur!" Semua orang cemas menunggu pemeriksaan dokter, Nessi malah banyak tanya.
"Tunggu dulu, jangan dimatikan teleponnya. Kamu kenapa marah-marah sih? Aku cuman ngajak makan dan berniat ke rumah sakit. Apa yang salah?"
Felix mendesah, memijat pelipis pusing. "Jangan menyulut emosi saya, cepat tidur!" Lalu kembali memutuskan sambungan teleponnya. Agar Nessi tidak mengganggu lagi, Felix memblokir nomor gadis itu.
****
Nessi cemberut, dia mendesah jengkel ketika ingat perlakuan Felix tadi malam, apalagi sadar jika nomornya telah diblokir. Hingga masuk kelas, dia memikirkan Felix sampai tidak fokus mengikuti pelajaran hari ini. Pria itu begitu menyebalkan, ingin Nessi pukul kepalanya sampai mengaduh minta ampun.
Selesai mengikuti kelas, Nessi kembali mencoba menghubungi Felix, ternyata masuk. Sial, pria itu bener-bener menguji kesabarannya. "Hei, hei, kamu memblokir nomorku tadi malam. Mengesalkan, ingin ku tonjok!" dengkus Nessi, bibirnya mencebik jengkel. Saat ini Nessi berada di kantin, menikmati minuman dinginnya untuk menyegarkan pikiran.
Felix hanya diam, tidak menyahut apa-apa. "Itu saja yang ingin kamu katakan? Saya tengah sibuk, saya matik--"
"Jangan! Aku akan ke rumah sakit, apa Mbak Ratih sudah melahirkan?"
"Sudah."
"Asik! Di mana rumah sakitnya, aku akan ke sana bersama sahabatku." Felix langsung memberitahukan alamat rumah sakit tempat Ratih melahirkan, tanpa basa-basi apa pun. Dia begitu lelah, tapi sangat senang ketika mendengar suara tangis bayi. Begitu menakjubkan, dia melihat bagaimana Damian menangis haru atas lahirnya jagoan kecil yang selama ini sudah ditunggu-tunggu. Kebahagiaan merangkul semua orang, tawa menghiasi setiap wajah mereka.
"Felix, kamu akan pulang jam berapa?" tanya Nessi lagi sebelum memutuskan sambungan telepon.
"Kenapa?"
"Aku tadi menghubungi Mami, kamu sih ngeblokir nomor aku tadi malam, resek!" Memutar bola matanya malas. "Siap-siap dimarahi Mami ya, dadah!" Sambungan telepon diputuskan, Felix mendesis kesal sekali.
"Apa-apaan anak ini!" Lalu mengantongi kembali ponselnya, memutar bola mata jengah. "Sebenarnya yang anak Mami siapa? Saya sampai heran."
Asik tertawa geli mendengar Felix menggerutu, seseorang datang membuat kaget. Dia menepuk bahu Nessi, membuatnya terbatuk-batuk. "Astaga, kalem-kalem!" Tangannya terangkat ingin memukul, namun urung. Pria ini senang menjahilinya, selalu ada cara konyol untuk membuat keramaian. "Nio, traktir beli sosis bakar dong." Mengulum senyum, menggembungkan pipinya malu.
Nio memutar bola mata malas, tapi tetap memesankan sesuai pesanan Nessi biasanya. "Uang kamu banyak, tapi selalu minta traktir. Heran aku!"
Nessi menopang dagu, mengedipkan matanya beberapa kali. "Nio kam masih bisa dimanfaatkan, kenapa enggak?" Lalu terbahak, memeletkan lidah jahil. Tidak hanya bersama Felix, karakter Nessi memang seperti ini pada orang-orang terdekat.
Nio menyentil ujung hidung Nessi. "Anak satu ini benar-benar minta dicubit. Nakal sekali, selalu berulah."
"Aku kemarin kabur tahu dari rumah, kamu sadar nggak pas kita video call kemarin dinding kamar aku beda?" Menaik turunkan alis. Nio terdiam sebentar, lalu mengangkat bahu. Pria itu tidak terlalu memerhatikan secara berlebihan, Nessi juga tidak memberitahunya secara langsung. "Aku kabur sama cowok." Tersenyum bangga, apalagi jika Nessi mengenalkan pria itu. Jujur saja, Felix adalah pasangan yang cocok untuk dipamerkan ke banyak orang. Selain tampan, pria itu begitu gagah dengan tubuh atletisnya. Tinggi dan terlihat berwibawa. Kelihatannya memang sempurna, tapi sayang begitu menyebalkan.
Karena kesal, Nio mencubit lengan Nessi. Gadis itu cemberut masam, mengusap lengannya yang pedas. "Sakit, Nio!" Ingin membalas, tapi urung ketika sosis bakarnya tiba. "Wah, wangi banget aromanya." Tersenyum lebar, bertepuk tangan siap menyantapnya. "Makasih ya, besok boleh traktir lagi?"
"Tidak, besok waktunya kamu yang traktir aku."
Nessi tertawa. "Baiklah, tapi kamu antar aku hari ini ke rumah sakit ya? Jangan tanya siapa yang sakit, tidak ada. Kamu tahu aku bekerja di kafe kan, nah yang punyanya lagi lahiran. Aku deket sama dia, jadi mau jenguk bayinya."
"Mobil kamu ke mana?" Tumben sekali Nessi tidak menggunakan mobil sendiri, biasanya Nessi paling anti dijemput soalnya tidak bisa jalan-jalan keliling kota sendirian setelah pulang dari kampus. "Jangan bilang kamu jual?" Nio menyipitkan mata, jangan sampai Nessi nekat seperti dulu.
"Enggaklah. Bisa ngamuk Papa kalau aku jual mobil lagi, apalagi dengan harga super miring kayak kemarin. Kali ini bisa dibekukan rekening aku, ngeri." Nio tertawa, tapi Nessi tidak menggunakan uangnya untuk keperluan pribadi. Dia menyerahkan hasil penjualan mobil kepada orang-orang yang sedang melakukan pembangunan dan perbaikan sekolah untuk daerah terpelosok yang sangat memerlukannya. "Aku kemarin ikut pria itu, dia yang nganter aku sampai ke rumah."
Nio menaikkan sebelah alis. "Sejak kapan kamu senang nebeng ke orang lain?" tanyanya geleng-geleng kepala. Ini seperti bukan Nessi, aneh.
"Sejak aku ketemu dia, candu banget pengen dianter dan dijemput dia mulu. Apalagi keluarganya baik, aku dibawa ke sana, kabur deh dari rumah." Selesai memakan lahap sosis bakarnya, Nessi menyeruput cokelat dinginnya sampai habis. "Ayo, Nio, antarkan aku ke rumah sakit."
Nio mengangguk, membayar terlebih dahulu pesanannya tadi sebelum beranjak. Nio adalah pria pelupa, dia sering kelupaan bayar makannya sendiri. Awalnya hal ini menjadi masalah, tapi sekarang para ibu kantin sudah memahami sikapnya dengan baik.
"Nio, menurut kamu aku jenguk babynya bawain apa ya? Meski suaminya banyak duit, nggak mungkin aku datang dengan tangan kosong kan?"
"Gendongan atau pakaian bayi aja. Mau mampir ke store perlengkapan bayi dulu, Ness?"
"Boleh." Bertepuk tangan bahagia. Kalau sudah urusan anak kecil, Nessi senang sekali. Tidak, bukan berarti dia pengin punya anak dalam waktu dekat. Hanya suka, tapi jika dirinya yang memiliki anak sepertinya nanti saja, belum siap terbebani dengan segala macam persoalan bayi.
****
"Mas, aku haus." Ratih memanggil Damian, meminta diambilkan air mineral. Gelas di atas nakasnya sudah kosong, sejak tadi Ratih kehausan. "Baby Zionya bangun?" Damian mengangguk, kemudian membawa anak laki-lakinya kepada Ratih untuk disusuii lagi.
Damian mengecup puncak kepala istrinya, sangat sayang dan begitu mencintainya. "Kamu dan baby Zio begitu berharga sekali, Sayang." Lagi, mengecup pipi Ratih yang sedang mengusap pelan pipi baby Zio yang lembut.
Ratih menunjuk ke arah Felix yang sedang tidur di bagian kanan ruangannya. Tertutup tirai, posisinya juga ada di belakang Ratih. "Kesian sekali Felix langsung ketiduran pas aku suruh baring. Apa dia sakit, Mas?"
Damian menggeleng. "Katanya hanya kurang tidur. Entah apa yang dia lakukan di kediaman orangtuanya hingga tidak tidur." Ratih tertawa pelan.
"Apa dia sedang menjalin hubungan dengan wanita? Kata Mami tadi Felix menerima telepon dari seorang wanita."
"Benarkah? Tapi Felix tidak pernah bercerita apa pun, dia begitu tertutup kalau urusan yang satu itu."
Ratih menaikkan bahu. "Jadi penasaran siapa wanita yang mampu meluluhkan hati Felix. Bukankah dia luar bisa?"
Tanpa dosa Damian menggeleng, lalu berbisik sangat jelas di telinga Ratih, "Kamu jauh lebih luar biasa dari siapa pun. Melihat seberapa sabar kamu menghadapi aku, aku selalu bangga menjadi pria yang kamu perjuangkan." Mengecup pipi Ratih gemas, ingin sekalian menggigitnya. Ketika Ratih bilang dia memiliki dua bayi, maka Damian juga mengatakan begitu. Dia sedang menikmati ciptaan Tuhan yang selalu membuat pandangannya indah setiap hari, apalagi sekarang sudah ada anak di tengah-tengah mereka. Lengkap sekali, Damian tidak bisa berhenti bersyukur.
Usai menyusuii baby Zio, Damian mengajak anaknya jalan-jalan di dalam ruangan itu. Menuju jendela, bolak-balik ke sana sambil sesekali mengecup pipi Zionathan.
"Mbak Ratih ...!" Suara Nessi mengiri setiap sudut ruangan, membuat Felix yang tadinya tidur sangat nyenyak dan nyaman terbangun dalam seketika. Pria itu membuka tirainya, kemudian menyipitkan mata melihat ke arah Nessi. "Hai, Felix!" Melambaikan tangan, tersenyum sangat lebar.
Ratih menaikkan sebelah alis melihat Nessi menyapa Felix. Dan satu lagi, kapan Felix bangun?
"Kalian mengenal cukup baik?" tanya Ratih bingung, mencoba menerka-nerka keadaan di antara mereka.
Nessi mengangguk mantap. "Kemarin aku diajak ke kediaman orangtua Felix, kami juga jalan-jalan ke pantai."
Felix, Damian, Ratih kompakan menganga dan melebarkan mata. Nio yang berada di tengah-tengah mereka bingung sendiri. "Aish, anak nakal satu ini!" Felix mengusap wajahnya lesu, kembali menutup tirai malas. Baru saja dia ingin memberitahu untuk diam dan merahasiakan semuanya, mulut Nessi lancar seperti jalan tol.
"Mbak Ratih, ini ada hadiah kecil untuk baby ...?"
"Baby Zionathan Cello Faresta. Panggil saja Baby Zio."
Mata Nessi berbinar terang. "Wah, nama yang indah. Ini ada hadiah kecil untuk Baby Zio, dan ini untuk Mbak Ratih." Menaruh bawaannya ke atas meja, di sana juga banyak bawaan dari orang-orang yang menjenguk Ratih. "Mbak Ratih, kenalkan ini sahabat aku namanya Nio." Mengusap lengan Nio, bangga sekali memperkenalkan sahabatnya yang tampan dan juga pintar satu ini.
Nio mengangguk pelan. "Nio, Mbak."
Ratih mengangguk, kemudian mengambil Baby Zio pada Damian agar Nessi bisa melihatnya. "Ya Tuhan, ganteng sekali. Mirip Papanya ya, Mbak?" Nessi mengulum senyum, lalu terkekeh geli. Sejak datang tadi Nessi tidak terlalu berani membuat tatap dengan Damian, dia masih saja takut meski kejadian waktu itu sudah lama berlalu.
Ratih mengangguk. "Ini orangnya yang sering buat suasana hati aku nggak karuan." Nessi mengusap lengan Baby Zio yang sangat lembut, kulit bayi memang tidak ada tandingannya. Kalau kata Mbok Siwa, bayi itu belum berdosa, jadi kulitnya lembut sekali. "Nessi, ajak Nio ambil minuman gih di kulkas, camilan juga ada."
Nessi menatap Nio, tersenyum jahil. "Nggak usah malu-malu, Nio, sini aku bantu ambilkan minum ya." Kemudian beranjak menuju kulkas, mengambil dua botol minuman bersoda. Damian yang sedari tadi mengamati tingkah Nessi hanya tersenyum singkat dan geleng-geleng kepala. "Nio, kamu mau camilan juga? Ada kue cokelat loh, enak nih kayaknya."
Nio hanya tersenyum sungkan pada Ratih, Nessi memang tidak tahu malu. "Maaf ya, Mbak, sahabat aku emang rada nggak tahu malu."
Ratih tertawa, dia sangat paham. "Tidak masalah, dia begitu ceria, aku senang dengan sikapnya yang seperti ini."
Damian menyenggol bahu Felix, menunjuk Nessi menggunakan tatapan matanya.
Felix langsung menggeleng, kembali menyandarkan punggung. "Dia nakal sekali, saya pusing." Menaikkan bahu, lalu menutup mata.
Damian tertawa pelan. "Kamu menyukainya, Felix?"
****
Sesuai voting di sss, Damian akan ada satu Extra Part lagi ya. Akan update besok!