Sekitar jam sepuluh malam, Nessi kembali menghubungi Felix. Dia tersenyum sambil mencari kontrak pria itu, berpikir jika menghubungi Felix adalah satu-satunya hal yang begitu mengasikkan. Panggilan pertama di tolak, Nessi mendesah kecewa dengan tubuh sedikit oleng dari kursi bar dapurnya. Sekali lagi dia mencoba menghubungi sampai panggilannya berhasil tersambung.
"Halo, anak nakal. Apa lagi menelepon saya malam-malam begini, huh? Tidak jika ingin bersenang-senang, saya lelah habis bekerja seharian ini."
Terdengar tawa cekikikan dari Nessi, dia kembali menegak minumannya. "Felix, k-kamu tahu ... kamu tahu, aku lagi bersenang-senang di sini. Malam ini a-aku meminum banyak sekali sampai rasanya rumah ini ikutan bergoyang bersamaku." Kembali tertawa, dia menuangkan lagi alkohol itu ke dalam gelas kaca berukuran kecil. "Mau bersenang-senang bersamaku, Felix? Datanglah ... aku sendirian di sini, hidupku begitu menyedihkan!" Mengusap kepalanya frustasi, wajah sudah ikut acak-acakan.
Felix membulatkan mata. Dia tidak mendengar adanya keramaian seperti di club malam. "Di mana kamu sekarang?"
"Di rumah ... aku di rumah kok. Di rumah yang kemarin, memangnya aku mau ke mana lagi?" Menumpukan kening pada meja bar, menutup matanya lelah. Dia sudah terlalu banyak minum sejak satu jam yang lalu, hampir merenggut habis akal sehatnya. "Felix, ke sini ya. A-aku sendirian, aku tidak ada teman. Kesinilah!"
Tidak ada jawaban, sambungan telepon langsung dimatikan. Nessi menatap layar itu dengan mata yang semakin sipit akibat silau, mengernyit dalam. "Felix kurang ajar! Kenapa dimatikan, aku belum selesai bicara!" Kembali berniat menelepon, tapi sama sekali tidak diangkat. Nessi mendesah, melempar ponselnya sembarangan sampai benda canggih itu terjatuh ke lantai secara mengenaskan. Mungkin saja layarnya sudah pecah, Nessi tidak peduli. Dia menjatuhkan kepala di meja bar, lalu terisak amat menyedihkan.
Tadi dia baru saja mendatangi butik Mamanya, mereka kembali bertengkar hanya karena pekerjaan yang harus Nessi pilih ketika usianya sudah matang nanti. Nessi ingin menjadi chef, sementara Mama dan Papanya menyuruh menjadi CEO di berusaha George. Paling tidak jika menolak menjadi seorang CEO, Nessi di suruh mengikuti jejak Melati George di bidang tata busana. Bagi Melati usaha butiknya sudah sangat sukses dan berkembang pesat, sangat gampang mencari pelanggann setia dan bekerja sama dengan pihak mana pun. Masa depan Nessi akan cerah dengan bergelimang harta--kata mereka kesuksesan Nessi sudah di depan mata, sayang sekali anak itu sama sekali tidak memiliki keinginan dan keahlian di bidang tersebut.
Sekitar sepuluh menit Nessi menangis sendu, bel rumahnya berbunyi. Gadis itu mengerutkan kening, menegakkan tubuhnya sambil berusaha berpikir. "Siapa yang datang? Mama lagi?" Dia memelas, mengerucutkan bibir sangat jengah dengan pertengkaran ini. Nessi turun dari kursi bar, tulang kakinya terasa lemas sampai hampir saja mau ambruk. Dengan langkahan gontai, Nessi akhirnya sampai juga ke pintu utama. Dia menahan bobot tubuh dengan berpegangan pada gagang pintu, menghela napas panjang-panjang sambil mengumpulkan kesadaran meski hasilnya nihil.
Pintu terbuka, Nessi melihat siapa tamunya. "Wah ... Felix!" decaknya senang, langsung berhambur ke pelukan pria itu. "Akhirnya kamu datang, aku senang banget." Lengan masih melingkar di leher Felix, menjadikan bahu pria itu sebagai sandaran empuk.
Felix melangkah masuk, menutup pintu dengan kakinya. Bahaya sekali jika ada orang jahat yang berniat mampir dan berakhir mencelakai gadis ini. Keadaan Nessi sudah 75% mabuk, berjalan saja tidak terlalu sanggup lagi. "Ngapain mabuk-mabukan, huh?!" kesal Felix mencoba melepaskan pelukan gadis itu. Menyuruh Nessi berdiri dengan besar sambil menatap dirinya. "Kenapa minum sebanyak ini?"
Nessi tidak berniat menjawab, kembali memeluk Felix. "Bawa aku ke dapur, minumanku masih banyak!" gumamnya dengan helaan napas yang sudah terasa panas. Kedua mata Nessi sembab, Felix sudah dapat menduga jika ini bekas menangis.
"Anak nakal ini!" Geleng-geleng kepala, tapi tetap berusaha membawa Nessi menuju dapur sesuai keinginannya. "Tuhan, berantakan sekali." Melihat pantry yang kotor dan penuh cucian piring, botol bekas minuman ada di mana-mana. Apa Nessi setidakwaras ini setiap malam?
Felix melingkarkan lengannya pada pinggang Nessi, mendudukkan gadis itu ke atas kursi dan memegangi pinggangnya untuk diajak berbicara. "Kenapa kamu segila ini, huh?" tanya Felix menatap Nessi yang tengah tersenyum-senyum melihatnya.
Nessi kembali melingkarkan lengan pada leher Felix. "Aku lagi banyak pikiran. Hidupku emang semenyedihkan ini sejak dulu." Menaikkan bahu, tersenyum lagi dengan mata penuh sedih. "Kamu tahu, aku ingin kabur dari kedua orang tuaku. Bawa aku pergi sejauh mungkin, kamu bersedia?"
Felix menggeleng. "Tentu saja tidak!" Mendorong kening Nessi gemas sekaligus kesal. "Baru kali ini saya melihat ada gadis meminta diculik. Sudah tidak waras, kamu harusnya cepat tidur, jangan minum lagi!"
Bahu Nessi terangkat pelan, menepuk-nepuk pipi Felix masih menatapnya dengan mata sayu dan penuh beban pikiran. "Aku menyedihkan di sini. Aku sakit hati--" Belum sempat Nessi melanjutkan ucapannya, terdengar mobil Melati terparkir di luar, Felix langsung membulatkan mata. "F-Felix bersembunyilah di kamarku di lantai atas. Masuk ke dalam lemari pakaian, M-mama akan marah kalau lihat kamu ada di sini."
Felix mengacak rambutnya, segera berlari dengan gesit sebelum Melati mengetahui keberadaannya. Di lantai atas terdapat dua kamar, Felix mengambil ruangan sebelah kiri yang langsung disambut oleh kamar yang wanginya menguar hebat sangat wangi, membuat tenang dan betah. "Tuhan, anak nakal ini benar-benar!" Mengusap wajahnya kasar ketika menemukan sepasang bra dan celana dalam Nessi di atas tempat tidur. Felix langsung menutupinya dengan selimut, lalu duduk di salah satu sofa. Dia akan bergerak ke lemari jika Melati mengecek hingga ke kamar.
Terdengar keributan dari arah lantai bawah, Felix hanya berusaha mendengarkan dengan keadaan pintu sedikit terbuka agar gelombang suaranya sampai ke dalam.
"Kamu mabuk, Nessi?!" Melati mencengkram rahang anaknya, mendongakkan anak itu agar menatap ke arahnya. "Apa begini yang kamu lakukan jika sedang berada di Jakarta?!" Menanyakan dengan penuh amarah. "Di luar, mobil siapa?" cecarnya tidak henti-henti.
Nessi hanya berusaha tetap duduk tegap, melepaskan cengkaram itu. "Mama yang buat aku begini. Pelarian terbaik buat ngilangin masalah ... mereka yang selalu temani aku untuk melayang bersama ke udara." Menaikkan bahu, terkekeh pelan.
Melati kembali mencekal lengan atas Nessi, menyentak kasar dengan mata melotot penuh amarah. Tidak menyangka anak gadis ya seteler ini. "Bangga kamu seperti ini, huh? Bersama siapa kamu minum, di mana temanmu?"
"Mama tidak lihat aku sendirian? Itu mobil temanku yang kupinjam, ini kuncinya." Memperlihatkan kunci mobil Felix yang kebetulan tertinggal di atas meja bar. Menghela napas dengan keadaan setengah lemas. "Mama pulang saja gih, aku tetap nggak mau menjadi seorang desainer atau seorang ceo di perusahaan George. Aku sama sekali tidak takut ditendang dari rumah, aku memang sejak dulu selalu sendiri."
Melati mengangkat tangan ingin melayangkan pukulan, namun urung saat Nessi berusaha melindungi wajahnya. "Kamu kenapa tidak mengerti jika sedang disayangi, huh? Membangkang saja terus, ikut-ikutan teman pengen jadi juru masak. Mama dan Papa pengen kamu menjadi seseorang yang hebat dan berada dengan segala nominal uang, tapi lihat kelakuan kamu ... sama sekali tidak beretika. Mabuk-mabukan tidak jelas, jangan-jangan kamu juga melakukan hal buruk lain?"
Nessi menggeleng, tertawa dengan mata berair. "Sebegitu kotor pikiran Mama tentang aku sampai menuduh sembarangan begini? Aku hanya minum, tidak melakukan apa pun."
"Percuma pinter kalau jalan pilihan kamu segilaa ini. Mau jadi pengangguran kamu nantinya? Buang-buang uang Mama dan Papa sekolah untuk menjadi seorang chef. Kamu pikir itu pilihan yang benar?!"
"Aku menyukainya, Mama, keunggulan diri aku di bidang memasak. Kenapa Mama sama sekali tidak mengerti juga?"
Melati mengangkat tangannya tidak mau mendengarkan. "Tidak akan ada modal untuk membuat rumah makan, kecuali membangun butik seperti Mama. Tidak ada buang-buang uang untuk hal yang tidak penting!"
"Aku bisa jual mobil lagi!"
"Nessi! Jangan jadi anak kurang ajar kamu ya, semua mobil adalah harta Mama dan Papa. Jika kamu ingin berkuasa, menikah sana. Mama sudah tidak habis pikir dengan kamu, terserah sekarang mau bagaimana. Di arahkan untuk sukses, malah ngeyel memilih yang tidak karuan. Mama akan sangat senang jika ada pria menikahi kamu, bawa saja kamu bersama dia agar lebih terdidik."
"Oh ... sekarang Mama mengakui jika tidak berhasil menjadi Mama yang baik buat aku?" Nessi mengulas senyum, air matanya sudah beberapa kali mengalir. Hatinya nyeri, tapi masih berusaha kuat. "Aku nakal begini karena Mama dan Papa tidak pernah memerhatikan aku. Tanya saja Mbok Siwa, apa aku pernah melawan dia? Tidak. Sebab hanya dia yang begitu memahami keinginan aku daripada Mama dan Papa."
Satu tamparan mendarat mulus mengenai pipi Nessi, Melati juga menitikkan air mata begitu geram. "Jangan pulang sebelum kamu sadar akan kesalahan kamu sudah menjadi anak durhaka begini. Kamu menyakiti Mama dengan sikap seegois ini, Nessi George!" Lantas beranjak untuk meninggalkan anak gadisnya tersebut. Dia menghempas pintu hingga berbunyi nyaring, lalu menyalakan mobil dan melesat pergi meninggalkan kediaman Nessi dengan sisa tangis menyedihkan.
Felix langsung menuju pintu utama, menguncinya sebelum kembali ke dapur menghampiri Nessi. "Hei, hei ... kenapa menangis begini, huh? Kamu kuat, kamu bisa mencapai impian kamu." Menangkup pipi Nessi, melihat jika wajah gadis itu sudah memerah padam. "Tuhan, sudut bibir kamu berdarah. Bagaimana bisa?"
Nessi menggeleng, dia menatap Felix beberapa saat sebelum akhirnya mendekatkan wajah mereka. Nessi yang memulai duluan, Felix sempat terkejut dan mematung seperkian detik. Tapi karena dia tahu Nessi sedang frustasi, Felix ikuti saja permainan bibirnya. Gadis itu sama sekali tidak pandai, beberapa kali dia malah menggigit bibir Felix untuk meluapkan amarahnya.
Tubuh keduanya saling berdempetan, Felix menahan tengkuk Nessi untuk memperdalam lumatannya. Dia akan mengajari Nessi bagaimana bergulat bibir dengan benar dan lihai. Dan sial, gadis itu belajar dengan cepat dan sangat baik. Sambil menangis Nessi menyemibangi gerakan bibir Felix sampai napas keduanya sudah benar-benar di ujung tanduk.
Felix melepaskan pangutannya, menatap Nessi yang terdengar sedang mengatur napas dengan bibir bergetar--menahan tangis lebih keras. "Aku benci, aku nggak bisa, Felix. Apa aku bisa sukses sementara orangtuaku---" Tidak memberikan kesempatan untuk berkata yang tidak benar, Felix kembali melumat bibir Nessi. Tubuh dengan penuh otot itu mengangkat Nessi, membawanya ke lantai atas masih dengan saling menguasai bibir.
Cukup lama ciuman kedua ini, Felix kembali melepaskan pangutannya. Dia menarik selimut, menyuruh Nessi segera tidur. "Tidak, jangan pulang. Menginaplah di sini, aku ingin kamu tetap di sini menemaniku!"
"Bagaimana jika ada yang tahu saya menginap? Saya takut mempermalukan kamu."
Nessi menggeleng, dia mengulurkan tangan pada pria itu untuk berbaring di sampingnya. "Aku mengantuk, tidurlah bersamaku."
Felix memijat pangkal hidungnya, lalu mengiyakan begitu saja permintaan Nessi. Harusnya Felix menolak, dia tahu ini adalah pilihan yang salah. Tapi Felix tidak bisa melakukannya, tatapan gadis itu penuh iba. "Tidurlah, saya akan di sini bersama kamu."
Nessi mengangguk, dia menjadikan lengan Felix sebagai bantalan empuk. Nessi memeluk pria itu, membuat dadaa Felix berdebar dua kali lebih kencang. Gilaa, rasanya aneh sekali.
"Bawa aku pergi sejauh mungkin, Felix, bawa aku ke ujung dunia hingga tidak ada siapa pun di sana selain kita berdua."
Felix hanya diam sambil mengusap dan menepuk-nepuk kecil bahu Nessi. Bagaimana dia bisa menculik Nessi, bisa mati Felix ditangan Viesa. Maminya pasti akan murka sebab ini jalan yang salah.
Sekali lagi, Nessi membuatnya sungguh pusing. Tuhan ... apa yang sedang Engkau rencanakan?
****
Komen yang banyak! hahahaha ....