“Siapa perempuan itu!??”
“’Apa-apaan ini? Baru datang sudah langsung ditodong dengan pertanyaan seperti itu?”
“Halaaahh. Tidak usah banyak alasan. Cepat jawab saja pertanyaan aku, siapa perempuan yang bersama dengan kamu saat di Kafe siang tadi?”
Dengan santainya Raga menjawab, “Siapapun dia, dia bukanlah urusan kamu.”
“Bukan urusan aku bagaimana? Sudah jelas aku harus tahu karena kamu adalah suami aku!”
“Apa kamu sedang menunjukkan rasa cemburu kamu terhadapku?”
“Apa!!?? Aku cemburu?” Krisan mempertanyakan balik pertanyaan Raga padanya dengan sedikit gelak tawa. “Sudah tidak waras kalau aku sampai cemburu sama kamu. Melihat kamu saja sudah membuat aku merasa jijik. Kalau bisa kita bercerai sekarang, aku akan sangat amat bahagia luar biasa.” Ucapnya, yang dipenuhi dengan emosi yang membara.
Raga pun membangunkan tubuhnya yang sedang berbaring di atas sofa sambil membaca buku. Dia menutup sejenak bukunya yang sudah dia tandai dengan markah.
“Kalau memang kamu tidak cemburu, maka berhentilah bertanya tentang perempuan itu.”
Krisan merasa terjebak dengan rasa penasarannya sendiri. Dia pun langsung diam dan melirik prestise ke arah Raga yang tengah menatapnya penuh cemooh.
“Keluarlah dari kamar ini, aku sedang ingin sendirian di sini.” Titah Krisan. Dia mencoba mengalihkan rasa malunya dengan hal lain sambil berpura-pura menyibukkan diri dengan melihat ponselnya.
Tanpa menolak, Raga pun langsung menuruti perintah Krisan. Dia segera keluar dari kamar itu sambil membawa bukunya yang belum selesai dia baca.
Krisan jadi merasa kesal sendiri, karena ternyata Raga bukanlah pria yang mudah dia taklukan agar patuh padanya. Kepergian Raga pun dilepas dengan hembusan nafas kasar sembari mendudukkan tubuhnya di atas sofa.
Sementara itu, Raga pergi ke dapur untuk mencari makanan. Di sana dia bertemu dengan kepala dapur yang biasa memberikan arahan pada para koki baru di rumah itu, namanya mbok Ratih.
“Den Raga pasti lapar ya? Soalnya kalau orang pergi ke dapur biasanya karena perutnya kelaparan.”
“Benar, mbok. Mbok tahu saja.”
“Ya jelas tahu. Mbok kan sudah lama sekali bekerja menjadi pelayan di sini, sebelum non Krisan lahir. Waktu masih ada ibu.”
“Wah, sudah lama sekali ya, mbok?! Betah juga mbok kerja di sini.”
“Ya jelas betah. Tuan Alfonso kan baik sama mbok. Setiap tahun saja gaji mbok dinaikkan terus sama beliau.”
“Memangnya ibunya Krisan ke mana, mbok?”
“Selingkuh sama supir pribadi tuan Alfonso. Kasihan sekali tuan Alfonso itu harus dikhianati oleh supir kepercayaannya sendiri. Makanya, dia kapok dan tidak mau menikah lagi. Hanya saja... yaa... begitulah. Pasti den Raga paham sendirilah.” Ucap mbok Ratih sambil menepuk bahu Raga cukup keras.
Raga pun tersenyum canggung sambil berpikir tentang mertuanya itu seraya dia duduk di kursi yang ada di dapur, lalu mengisi perutnya dengan makanan khas jawa yang diberikan mbok Ratih untuknya.
“Ini nama makanannya terancam kan, mbok?”
“Betul sekali. Ternyata den Raga tahu. Kalau non Krisan mana tahu. Non Krisan sih tahunya burger, pizza, apalagi tuh, duh mbok lupa. Pokoknya dia tahunya makanan ala barat. Wong dia lama tinggal di Amerika, makanya kadang logatnya sudah kebarat-baratan. Kadang mbok suka pusing kalau sudah dengar dia bicara, soalnya mbok tidak mengerti. Hahahaa...”
Raga tertawa kecil mendengar mbok Ratih bicara dengan gaya melawak.
“Den Raga, terima kasih ya karena den Raga sudah mau menikahi non Krisan.” Ucap Mbok Ratih yang mulai bicara dari hati ke hati dengan pemuda itu.
“Loh? Kok mbok berterima kasih sih? Itu kan sudah sewajarnya, karena kami sama-sama saling membutuhkan. Saya butuh uang untuk biaya berobat ibu saya, dan tuan Alfonso butuh menjaga reputasinya demi menutup aib yang dilakukan oleh putrinya.”
“Kata siapa sewajarnya. Wong tuan Alfonso kesulitan mencari calon suami untuk putrinya. Karena mereka tahu seperti apa watak non Krisan itu. Biar dibayar mahal juga untuk menikahi non Krisan, malahan sampai diiming-imingi jabatan tinggi di perusahaannya, tapi mereka saja menolak untuk menikahi non Krisan. Kata mereka, lebih baik hidup miskin daripada harus menikahi perempuan berwajah malaikat tapi berhati iblis. Jahat sekali toh mulut para pria itu?! Untung saja den Raga mau menikahi non Krisan. Makanya mbok benar-benar berterima kasih, soalnya... mbok tidak tega sama non Krisan. Dia...”
“Mbok Ratih!” Krisan datang dan langsung menghentikan ucapan mbok Ratih yang sedang mencongkel sisi kelam keluarga Alfonso.
“Sudah selesai makannya, tuan muda Raga?” Krisan berjalan menghampiri Raga yang pura-pura tidak melihat kehadiran Krisan di dekatnya.
Raga tidak menjawab. Dia hanya bangkit dari kursi usai menghabiskan makanannya tanpa sisa, lalu mencuci piring kotornya dan pergi meninggalkan dapur setelah mengucapkan terima kasih pada mbok Ratih.
Sikap acuh yang Raga tunjukkan pada Krisan membuat Krisan kembali mendengus kesal. Padahal perasaannya sudah pulih usai Raga meledeknya saat di kamar tadi.
“Mbok sudah bicara apa saja sama Raga?”
“Mbok hanya mengucapkan terima kasih saja sama den Raga karena sudah menikahi non Krisan.”
“Untuk apa mbok pakai berterima kasih segala sama Raga? Bikin malu saya saja!”
“Den Raga orang yang baik loh, non Krisan.”
“Tahu apa mbok soal Raga? Saya yang lebih tahu tentangnya. Asal mbok tahu saja ya, Raga itu sudah buat saya jengkel setengah mati karena sikap sok pentingnya dia!”
“Maafin mbok ya, non Krisan. Mbok tidak akan mengulanginya lagi.”
“Jaga mulut mbok. Jangan mentang-mentang mbok sudah lama bekerja di keluarga ini terus mbok jadi seenaknya saja membuka isi keburukan keluarga ini!” Krisan pun pergi setelah memberikan peringatan pada kepala dapurnya yang sudah renta itu.
Mbok Ratih langsung memukuli mulutnya berkali-kali karena sering kelepasan bicara pada orang baru di rumah itu.
**
Malam harinya, Alfonso meminta Raga untuk datang ke ruang kerjanya sendirian. Dia pun pergi ke ruangan itu dengan menggunakan lift, ruangan yang hanya berbeda satu lantai dari lantai kamarnya.
“Pakailah uang ini untuk menyewa sebuah apartemen yang terbaik dan ternyaman untuk kalian tempati nanti.” Alfonso memberikan selembar cek dengan sejumlah uang yang berjumlah fantastis.
Melihat cek itu membuat Raga justru merasa kecewa. “Maaf, tuan. Saya tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan anda dengan menolak uang ini, tapi saya masih punya cukup tabungan untuk menyewa sebuah apartemen yang sekiranya akan membuat Krisan merasa nyaman untuk kami tinggali nanti.”
“Sombong sekali kamu, Raga!” Makinya. “Memangnya berapa jumlah uang ditabungan kamu sekarang? Apa cukup untuk menyewa apartemen di kawasan elit dengan sejumlah fasilitas yang terbaik?”
“Mungkin apartemen yang akan saya sewa tidak akan sebaik yang anda sebutkan barusan, tapi saya akan memberikan apartemen dengan lingkungan yang baik untuk Krisan bisa beraktifitas nantinya.”
“Alasan kamu menolak uang ini terlalu klise. Ingat ya Raga, Krisan itu tidak pernah hidup susah! Saya selalu memberikan segalanya yang terbaik untuknya. Jangan sampai dia keluar dari rumah ini dalam keadaan hidup yang menderita. Jika sampai itu terjadi, maka saya tidak akan segan untuk membuat perhitungan dengan kamu!”
“Tuan tidak perlu mengkhawatirkan soal hal itu. Tuan bisa melihatnya nanti setelah saya dan Krisan pindah dari rumah ini.”
“Baiklah. Saya akan memegang ucapan kamu. Jangan sampai kamu mengecewakan saya!”
“Baik, tuan.”
“Satu lagi. Saya ingin kamu mulai bekerja menjadi asisten saya mulai besok. Kamu akan mendampingi saya dalam rapat pertemuan dengan klien baru Virgo Group. Saya harap, kamu bisa belajar dengan cepat untuk memahami semua tugas kamu sebagai asisten pribadi saya.”
“Baik, tuan. Saya akan mempersiapkan semuanya malam ini juga. Saya pastikan, kalau saya tidak mengecewakan anda.”
“Bagus. Sekarang, kamu boleh pergi. Ingat, jangan sampai Krisan mengetahui tentang obrolan kita ini.”
“Baik, tuan.”
***