Perempuan Lain

1132 Kata
Hari itu, sekitar 27 tahun yang lalu. Hujan turun sangat deras di sebuah kawasan perkampungan yang jauh dari ibu kota. Seorang perempuan muda berlari kecil sambil menggendong seorang bayi dalam lilitan selimut cukup tebal untuk menghangatkan tubuh bayi itu. Perempuan muda itu mendatangi salah satu rumah warga yang ada di kampung tersebut dan mengetuk pintu rumah. Tok... tok... tok... Setelah beberapa kali mengetuk pintu rumah yang hanya terbuat dari bilik bambu saja, akhirnya penghuni rumah itu membukakan pintu rumahnya. Begitu penghuni itu keluar, perempuan muda itu langsung pergi dengan meninggalkan bayinya. “Astaghfirullahaladzim.” Ucap wanita itu saat melihat ada seorang bayi di depan rumahnya. “Pak, cepat ke sini! Ada bayi di sini!” Teriak wanita itu. Suaminya pun segera keluar untuk menghampiri istrinya. “Astaghfirullah, Bu. Bayi siapa ini?” “Ibu juga tidak tahu, pak.” “Sepertinya ada yang sengaja meninggalkan bayi ini di sini. Sebentar, biar bapak cari dulu orangnya, siapa tahu orangnya masih ada di dekat sini.” Pria itu mencoba mencari orang itu di tengah guyuran hujan yang langsung membasahi seluruh tubuhnya. Meski sempat melihat sekilas sosok perempuan muda yang dia curgai sebagai ibu dari bayi itu, tapi akhirnya pria itu membiarkan perempuan muda itu pergi. “Bagaimana, pak? Apa bapak melihat orang yang sengaja meninggalkan bayi ini di depan rumah kita?” “Tidak, bu.” “Lalu, bagaimana, pak?” “Nanti kita laporkan saja pada polisi.” “Tapi, ibu mau merawat bayi ini.” Setelah hari itu, Raga pun menjadi bagian dari keluarga bapak Anwar dan ibu Minah. Meskipun mereka hidup dalam kekurangan ekonomi, tapi tidak sedikit pun Raga kekurangan kasih sayang dari kedua orang tua angkatnya. Bahkan, sebuah bantuan selalu rutin dikirim oleh seseorang tanpa nama untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil itu. ** Pagi ini, tuan Alfonso mengajak Raga untuk sarapan bersama dengannya. Pria itu pun datang ke ruang makan dengan sikap canggung, sikap yang sangat jauh berbeda saat dia bersama Krisan. “Duduklah, Raga!” Titah Alfonso, pada menantunya yang tidak dia anggap sebagai menantu. Raga duduk di samping Krisan yang sudah datang lebih dulu. Perempuan itu sedang menikmati sarapan ala barat tanpa mau menolehkan tatapan matanya ke arah Raga. “Mulai hari ini kamu akan berhenti menjadi office boy di kantor saya. Kamu saya angkat sebagai asisten pribadi saya untuk sementara waktu, selama kamu menjadi suami Krisan.” “Apa papa tidak salah mengambil keputusan? Jabatan itu terlalu tinggi untuknya. Aku khawatir, papa akan menyesal nantinya karena telah mengangkatnya menjadi asisten pribadi papa.” “Kamu tidak usah ikut campur, Krisan. Tugasmu cukup lahirkan anak itu lalu kamu berikan anak itu ke orang lain. Papa tidak akan mau mengakui anak yang ada di dalam kandungan kamu itu sebagai cucu papa! Mulai sekarang, kamu sudah harus mulai mencari orang tua untuk mengangkat anak itu.” Krisan langsung menutup rapat mulutnya begitu menerima balasan yang tidak sesuai dengan harapannya dari papanya. “Tuan, ada yang ingin saya sampaikan pada anda.” “Ya, silahkan.” “Saya ingin membawa Krisan keluar dari rumah ini.” “Apa maksud kamu?” “Untuk beberapa waktu ke depan, Krisan adalah istri saya dan selama itu pula, saya ingin Krisan tinggal bersama saya.” “Memangnya punya kemampuan apa kamu sampai berani mengajak putri saya untuk tinggal bersama denganmu? Rumah saja belum mampu kamu beli.” Ucapnya, yang langsung merendahkan finansial Raga. “Meskipun saya belum mampu membeli rumah, tapi saya akan menyewa rumah yang nyaman untuk kami tinggali berdua sampai masa kontrak pernikahan kami selesai.” “Ciih. Menyewa rumah.” Decit Krisan, yang langsung menanggapi niat baik Raga dengan merendahkan. “Hei, bung! Jangan bermimpi kamu bisa mengajak saya keluar dari rumah ini. Sadar diri dong berapa gaji bulanan kamu sebagai OB di kantor papa, bahkan masih kurang untuk biaya hedon saya. Palingan juga batas maksimal kamu bisa menyewa rumah hanya setengah dari ukuran kamar mandi di kamar saya. Hahahaaa...” “Silahkan!” Alfonso langsung mengizinkan tanpa ragu keinginan Raga itu, usai putrinya selesai menghina Raga. Izin itu pun langsung membuat Krisan bergeming. Dia memutar cepat bola matanya naik ke atas ke arah papanya yang sedang menyeruput kopi pahit sebagai sarapan rutinnya. “Pa? Apa papa sadar dengan ucapan papa barusan?” “Kenapa? Apa yang salah dengan rencana Raga?” Alfonso menanggapi pertanyaan putrinya dengan santai. “Jelas salah, pa! Sudah jelas kalau Raga akan bawa aku keluar dari rumah ini. Mustahil aku bisa hidup dengan fasilitas yang jauh dari yang aku dapatkan selama ini. Apalagi, kandunganku sudah memasuki minggu ke 32. Aku butuh kenyamanan sampai proses melahirkan nanti.” “Bukan keinginan papa kalau kamu sampai hamil tanpa pria yang mau bertanggung jawab atas kehamilan kamu itu. Semua itu atas keinginan kamu sendiri. Sedangkan, pernikahan kamu dengan Raga adalah keinginan papa demi menutup aib yang telah kamu lakukan. Jadi, kalau Raga ingin membawa kamu keluar dari rumah ini, papa tidak akan keberatan untuk mengizinkannya.” Senyuman kemenangan langsung terlukis di wajah Raga. Betapa puas dirinya bisa membuat Krisan stuck dengan rencananya yang berhasil dia lakukan. Sambil melirik tajam ke arah Raga, Krisan langsung berdecit kasar. “Sial!!” ** “Gimana pernikahan kamu sama si tampan Raga? Seru tidak malam pertama kalian?” Tanya Anez, saat mereka sedang nongkong di Kafe langganan mereka. “Idiih. Boro-boro seru. Ternyata tuh cowok b******k banget!” “b******k gimana?” “Ah, maleslah ceritain dia. Mendingan ceritain tentang Aska. Doi ada di mana sekarang?” “Astaga, Krisan. Kenapa sih kamu masih saja stalking sama laki-laki yang sudah jelas tinggalin kamu dalam keadaan mengandung anaknya?! Masa kamu masih belum jera juga minta pertanggangg jawaban dari Aska?!” “Aduh, gimana ya, Nez. Aku masih belum bisa move on dari Aska, apalagi bayi yang aku kandung ini darah daging Aska. Yaa... meskipun Aska tidak mau mengakuinya sih. Tapi...” “Kena pelet kamu, Kris!!” Tukas Anez, memotong cepat ucapan Krisan yang belum tuntas. “Sudah jelas-jelas kalau Raga jauuuuh lebih tampan daripada Aska, eh kamu malah cari yang tidak pasti. Lebih baik, kamu coba deketin tuh Raga, siapa tahu pernikahan kalian tidak hanya sebatas perjanjian saja, melainkan berubah menjadi pernikahan yang sakinah, mawadah, dan warahmah.” “Doa macam apa itu? Melihatnya saja sudah membuat aku merasa jijik!” “Yakin?” Ledek Anez. “Maksud?” Krisan menaikkan satu alisnya. Lalu, dia memutar matanya mengikuti petunjuk arah mata Anez tertuju saat ini. “Ngapain dia di sini? Ikuti aku?” Dua bola mata Krisan langsung mendelik begitu dia melihat Raga ada di Kafe yang sama dengannya. “Jangan kegeeran duluan, Kris. Raga sama perempuan lain kok.” Beritahunya. Seketika, hati Krisan langsung tersibak kecewa saat melihat Raga bersama dengan perempuan lain yang berpenampilan jauh lebih baik darinya. "Siapa perempuan itu?” Batin Krisan, yang langsung bertanya dengan rasa penasaran. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN