Undangan Pernikahan

1037 Kata
Air mata Gayatri mengalir deras di pipinya.  Siapa yang tidak menangis saat dia mendapat sebuah undangan pernikahan, mungkin terlihat biasa tapi apakah bisa di bilang biasa kalau nama yang tertulis di sana adalah nama pengantin pria yang sudah mengisi hatinya sejak mereka kuliah bersanding dengan nama wanita lain. Gayatri menutup mulutnya dengan kedua tangannya menahan isak tangisnya agar tidak terdengar oleh siapapun di luar ruangannya. "AYA!" Gayatri tersentak kaget karena Arzan secara tiba-tiba membuka pintu dan memanggil namanya dengan sangat kencang, terdengar panik lebih tepatnya. Arzan menutup pintu dan menguncinya dari dalam, jelas dia tidak ingin diganggu oleh siapapun saat ini.  Perlahan dia melangkah mendekati Gayatri yang sudah berlinangan air mata. "Sayang, a-aku bisa jelaskan," ucapnya terbata saat melihat Gayatri memegang sebuah undangan miliknya. Entah dari mana kekasihnya itu mendapatkan undangan pernikahannya dengan wanita pilihan orangtuanya. Padahal, Arzan sudah menutup rapat semuanya. Sebisa mungkin kekasihnya itu tidak tahu, niatnya perlahan memberitahu tapi semua gagal. Kini, Gayatri sudah tahu. "Mereka membuat perjodohan bisnis, Sayang. Bukan keinginan aku, sungguh!" Arzan mencoba menjelaskan pada Gayatri. "Kenapa kamu gak bilang, sejak kapan?" "Papa merencanakannya mendadak juga, enam bulan yang lalu." Gayatri terngaga mendengar jawaban dari pria yang kini duduk di sebelahnya dan menggenggam tangannya erat. "Enam bulan bukan waktu yang sebentar, Zan, kamu bohongi aku selama itu?" "Bu-bukan maksud aku membohongi kamu, Sayang. Tapi waktunya yang gak pernah tepat untuk menjelaskan semuanya sama kamu." Kepala Gayatri menggeleng cepat. Alasan klise yang di buat-buat oleh Arzan. "Aku mencintai kamu, Sayang. Bukan dia, aku terpaksa menikahinya karena papa." "Hubungan kita harus berakhir, Zan. Aku tidak mau berhubungan dengan suami orang." Sekarang kepala Arzan yang menggeleng cepat karena tidak setuju dengan ucapan Gayatri. "NGGAK! aku ngak mau kita putus. Aku mencintai kamu dari dulu, sekarang dan sampai kapanpun. Aku hanya ingin kamu yang menjadi istriku bukan wanita lain terlebih dia," tolak Arzan tegas dengan rahang mengeras. Gayatri terkekeh pilu, "Tapi yang ada di undangan ini nama kamu dan wanita lain, Zan. Kamu tidak bisa egois, kasihan dia." Sebagai seorang wanita Gayatri juga memposisikan dirinya di pihak calon istrinya Arzan, bagaimana kalau dia menikahi seorang pria tapi pria itu tidak mencintainya dan justru mencintai wanita lain. Pasti sakit, Gayatri tidak ingin menyakiti hati wanita manapun walaupun hatinya sendiri saat ini tengah sakit. "Dengar aku, Sayang. Aku akan menikahinya, tapi aku tidak akan menyentuhnya sedikitpun sampai dia menuntut cerai dariku dan kita menikah," ungkap Arzan dengan tegas. Kedua bola mata Gayatri sontak membola sempurna. Apa Arzan sedang tidak waras saat ini? Mabuk? Pernikahan dia anggap main-main. "Jangan mempermainkan pernikahan yang suci, Zan!" bentak Gayatri, menarik tangannya dari genggaman Arzan dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. "Mereka juga mempermainkan hidupku, Aya." Bukan hanya yang menangis tapi Arzan juga, air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya tumpah di pipinya. Arzan hancur. "Tapi mereka orangtua kamu, Zan. Kamu anak tunggal, harapan mereka satu-satunya. Maka dari itu kamu harus menuruti kemauan mereka." Bukan salah Gayatri kalau dia tidak terlahir dari keluarga kaya raya seperti keluarga Gunadhya dan Wiwangga. Kedua keluarga itu sudah terkenal namanya di kalangan pebisnis dalam bidang pendidikan. Jauh sekali jika di bandingkan dengan Gayatri yang hanya seorang anak yatim piatu yang besar di panti asuhan tanpa tahu orangtua yang melahirkannya. "Mereka tidak memikirkan perasaanku, apa aku harus memikirkan perasaan mereka? Selama ini aku hidup dalam kendali mereka, sampai pernikahan pun mereka yang mengatur tanpa terlebih dahulu tanya apa mau ku, semua untuk kepentingan mereka, bukan aku." Gayatri diam membisu mendengar ucapan Arzan, miris memang. Sebagai anak tunggal dari keluarga sultan dia harus mengikuti kemauan kedua orangtuanya walaupun itu di luar keinginannya. Gayatri menghela napas panjang. Menetralkan perasaannya dan mengusap air matanya. "Maaf, Zan. Tapi keputusanku sudah bulat. Kita putus dan tolong hargai keputusan aku. Buka hati kamu untuk istri kamu nanti dan jalani pernikahan kamu layaknya orang kebanyakan. Karena aku pun akan membuka hatiku untuk pria lain nanti." Gayatri mengambil ponsel, tas, beberapa buku dan kunci mobilnya. Dia langsung membuka pintu ruang kerjanya dan keluar dari sana tanpa menoleh pada Arzan yang masih terpaku di sofa tanpa bisa mencegah Gayatri. Tangan Arzan mengepal dan rahangnya mengeras.  "Aku tidak akan ijinkan kamu membuka hati untuk pria lain, Aya. Kamu hanya milik aku seorang," gumam Arzan dengan tatapan tajam ke arah pintu keluar. *** Beruntung saat Gayatri keluar ruangannya sebuah lift terbuka hingga dia bisa langsung masuk ke dalam dan menekan tombol lantai dasar. Gayatri mengusap jejak air mata diwajahnya agar tidak ada seorangpun yang melihatnya terlihat lemah dan menjadi pertanyaan panjang. Pintu lift khusus dosen sangat berguna saat ini untuk Gayatri karena gadis itu bisa langsung tiba di lantai dasar dengan cepat dan tanpa berhimpitan dengan mahasiswanya. Sejak Gayatri keluar dari lift dan berjalan di lobby kampusnya, semua orang menyapanya dengan ramah. Gayatri membalas tidak kalah ramahnya, walaupun hatinya saat ini sedang sedih tapi dia berusaha bibirnya tersenyum lebar. "Ouch!" pekik Gayatri saat dia bertabrakan dengan seorang gadis lainnya hingga buku dalam dekapannya jatuh. Deg! Jantung Gayatri terhenti untuk persekian detik rasanya saat dia melihat siapa orang yang bertabrakan dengannya. "Maaf, maaf, saya tidak sengaja," ucapnya sambil membantu Gayatri mengambil buku-bukunya yang berantakan. "Gak apa, Bu Naya. Saya juga salah tidak lihat ada Ibu di depan saya," balas Gayatri. Naya Wiwangga, gadis yang Gayatri tabrak saat ini adalah calon istri Arzan. Drama apa ini? Mengapa Gayatri di pertemukan dengan kedua calon pengantin hari ini, walaupun waktunya berbeda. Naya tersentak saat di antara tumpukan itu ada undangan pernikahan miliknya. Gayatri ingin mengambilnya tapi tidak jadi karena sudah keduluan Naya. "Kamu dapat juga undangan ini?" tanya Naya kemudian. Kepala Gayatri mengangguk ragu. "Berarti kamu juga kerja di sini? Kamu seorang dosen atau?" Sekali lagi Naya melemparkan pertanyaan. Karena tidak semua mendapat undangan itu. Keluarga Gunadhya dan Wiwangga tidak mengundang sembarangan orang. "Saya Asistent Dosen di sini, Bu, saya Asistent Dosen pak Simon yang baru," jawab Gayatri sopan karena dia tahu siapa Naya. Anak pemilik Universitas tempatnya mengajar sekaligus Dosen senior di kampus itu. Posisinya sama dengan Arzan. "Pak Simon sedang cuti dan keluar negri, beliau memberi undangan ini agar saya bisa mewakili beliau untuk hadir besok di pernikahan Anda," lanjut Gayatri menjelaskan pada Naya bagaimana orang sepertinya bisa mendapat undangan spesial itu. Kepala Naya mengangguk paham. "Oh, begitu rupanya. Baiklah, kamu harus datang berarti jangan sampai tidak, sayang undangannya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN