Bagian VIII: Kenyataan Pahit

1926 Kata
Aku menghembuskan nafasku pada jendela yang terdapat di hadapanku, membuat sebuah embun kecil dari nafas yang kuhembusan. Hujan kembali turun, namun kurasa kali ini suhu udara ikut menurun dengan drastis, bahkan aku tak berani menyalakan Air conditioner di kamarku. Ini sudah cukup membuat tubuhku kedinginan. Aku hanya memandang hamparan jalan di bawah sana. Tak ada seorang pun yang berada di luar saat ini. maksudku, mengingat cuaca yang dingin, tak akan ada yang sudi berada di luar rumah. Semua orang akan memilih duduk di depan perapian dengan secangkir cokelat hangat di tangan mereka. Blossom road, Street J.21. Aku masih memikirkan tawaran yang diberikan jason beberapa hari lalu. Dan kini hati dan fikiranku mulai berada pada sisi yang berlawanan. Logikaku mengatakan bahwa aku tak perlu datang karena memang aku tak bisa mempercryakan jason begitu saja, namun hatiku merasa aku harus mencoba mencari tahu kebenarannya. aku sudah cukup muak menyusun sebuah kepingan teka teki yang harus kususun sendiri. Drrt .... Aku memandang sebuah pesan yang tertampil di layar ponselku, Aku memang tak menyimpan nomornya namun aku tahu itu dirinya. Jason. Dan jangan coba bertanya dari mana ia mendapatkan nomor ponselku, karena aku sendiri bahkan tak mengerti dimana ia mendapatkannya. Aku menggeser layar ponselku, membaca pesan yang lelaki itu kirimkan. Aku menunggumu. -Jason Javier. Aku menarik nafas panjang. Mungkin ini memang saatnya aku mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak bisa terus menerus berdiam dan menunggu jason memberikan kepingan teka tekinya. Aku harus mengumpulkannya sendiri tanpa perlu menunggu. Aku datang. -Savannah. Aku beranjak meraih mantel cokelat yang kusampirkan di sampiran lemari, kufikir keputusanku sudah bulat, aku akan pergi menemui lelaki itu sekalipun aku tahu aku tak bisa memberikan kepercayaan besar padanya. Namun apa yang dapat kulakukan sekarang? aku tak memiliki pilihan, menunggu mom menceritakan kebenarannya kepadaku sama seperti menunggu matahari muncul di tengah badai salju. Tanganku bergerak meraih tas kecil yang akan kubawa sekarang, memakai sepatu juga penutup kepala untuk melindungi tubuhku dari udara dingin di luar sana. aku tak mau membuat tubuhku menggigil di tengah hujan salju. Aku mengunci pintu utama rumahku lalu memasukkan kuncinya ke dalam mantel cokelatku. Tak masalah, mom membawa kunci untuk dirinya jikalau memang ia akan pulang sebelum diriku. Aku berjalan di sisi jalan lalu berhenti di penghujung simpangan, kuharap taxi akan lewat sebentar lagi. aku tak mungkin jalan sampai rumah lelaki itu. "Taxi!" Aku melambaikan tanganku saat sebuah taxi kuning terlihat melaju dari ujung jalan. Taxi itu memelankan lajunya, kemudian berhenti tepat di hadapanku yang kini mulai duduk dengan nyaman di jok belakang. "Blossom road, Street J.21," ucapku. Supir taxi ini mengangguk, lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan yang terbilang normal. Setidaknya ia tak terlalu cepat, aku tak mau mengambil resiko bila sesuatu terjadi mengingat kondisi jalan saat ini terbilang licin. "Kira kira kita akan memakan waktu berapa lama?" Aku menatapnya dari kaca di dashboard atas, lelaki paruh baya itu melirikku sesaat, sebelum kembali menjatuhkan pandangannya pada hamparan jalan panjang di hadapan kami . "15 menit Mrs, bila tanpa hambatan" Kepalaku mengangguk, lalu kembali menyandarkan tubuhku dengan nyaman. Kurasa jarak antara rumahku dan Jasom tak terlalu jauh, namun tetap akan membuatku lelah setengah mati bila aku berjalan kaki sampai sana. Aku menatap ponselku, memandang sebuah pesan yang masuk beberapa menit lalu, sedari tadi aku tak mengecek ponselku, dan kini telah terdapat satu buah pesan di layar ponselku. Mom akan pulang terlambat, kau bisa memesan sesuatu untuk makan malam. -Mom. Aku tersenyum tipis, setidaknya mom tak akan curiga dan tahu bila aku pulang terlambat hari ini. Aku mengerti. Tak perlu khawatir. -Savannah. Aku menekan tombol kirim lalu menyimpan ponselku ke dalam kantung mantel penghangat yang kukenakan. Tentu aku tak akan mengatakan pada Mom bahwa aku akan pergi kerumah Jason, aku masih mengingat dengan jelas bahwa ia tak suka apapun yang berhubungan dengan lelaki itu. "Sudah sampai Nona" Pandanganku teralih, memandang sebuah bangunan besar bercat putih yang terdapat disisi kiriku, aku mengeluarkan beberapa lembar dollar dari tasku, memberikannya pada supir taxi itu sebelum melangkah keluar dari mobil. Rumah lelaki sialan itu benar-benar besar. Bahkan halaman depannya dua kali lebih besar dari rumahku. Aku tahu ia memang kaya, tapi sungguh, rumahnya benar-benar mewah. Pantas saja keluarga Javier menjadi sorotan dunia. "Savannah Carson? Mr.Javier menunggumu di ruangannya, biar kuantar" Aku memandang seorang wanita paruh baya yang berucap sopan padaku, wanita ini mengenakan seragam pelayan. Aku mengikuti langkah kakinya, masuk kedalam rumah Jason dalam diam. Rumah ini tampak sepi, hanya ada beberapa wanita berpakaian pelayan yang terlihat berlalu lalang. Aku yakin, keluarga Javier jarang berada di rumah. "Sebelah sini nona" Wanita ini membawaku memasuki sebuah ruangan di lantai dua, meninggalkanku yang masih diam memandang ke sekeliling ruangan ini. ruangan ini cukup besar, dengan aroma kayu manis serta penghangat ruangan yang menambah kenyamanan di tempat ini. "Aku menunggumu tujuh belas menit" Pandanganku teralih, memandang pada seorang lelaki yang tengah berdiri menghadap balkon, Aroma tubuh lelaki itu sangat kuat, sama seperti biasanya. Ia membelakangiku, namun aku tak perlu membuatnya berbalik hanya untuk membuatku mengetahui siapa dirinya. Lelaki itu mengenakan sebuah kemeja hitam polos, dengan celana yang berwarna senada dengan apa yang ia kenakan di bagian atasnya, Pandangannya masih terpaku pada beberapa pohon pinus di bawah sana, namun ia lekas berbalik, membuatku kembali menatap netra kelamnya yang terkadang membuatku tak nyaman. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, namun setiap ia mentapku tepat pada kedua bola mataku, aku merasa tak nyaman, aku merasa ada sesuatu yang membuat jantungku lekas berdegup dan sesuatu yang seakan bergejolak didalam diriku. "Kau membuatku menunggu lama. " Aku memutar bola mataku secara diam-diam, Ayolah, hanya tujuh belas menit, dan ia mempermasalahkan hal itu? i***t. "Setidaknya aku sudah sampai. Jadi bagaimana, bisa kau mulai menjelaskan sekarang tentang semuanya?" "Kau terlalu terburu buru Savannah." Ia berucap santai dengan duduk pada sebuah sofa single besar dengan salah satu kaki yang ia silangkan. Aku merutuk dalam hati, lalu mengambil tempat di sofa yang bersebrangan dengannya. Salah satu hal yang tak kusuka dari Jason, ia sering membuatku gemas karena terlalu mengulur waktu. Itu baru salah satu, dalam artian masih ada beberapa hal yang tak kusuka darinya. "Apa aku sudah mengizinkanmu duduk?" Aku menatapnya dengan mata yang menyipit, seriously? aku harus meminta izin terlebih dahulu hanya untuk duduk di sofa miliknya? "Aku tak peduli, Kau melakukan hal itu juga dirumahku." "Perbedaannya, kau duduk di sofa seharga 1 juta us dollar yang hanya dibuat untuk keluargaku di dunia ini" Aku memutar bola mataku, itu tak penting, dan aku sama sekali tak ingin berdebat mengenai hal tersebut. "Aku datang bukan untuk membuang waktuku" Lelaki ini mengangkat kedua alisnya sesaat, sebelum beranjak bangkit dari sofa yang ia tempati. "Aku akan memulainya." Ia menyilangkan salah satu kakinya, menyandarkan tubuhnya pada sofa single yang ia dudukki. Matanya memandangku dalam, dengan dagu yang sedikit terangkat. Keangkuhan. Satu sifat yang terkadang- maksudku hampir selalu muncul pada dirinya. "Apa kau percaya, tentang hal hal mistis dan sejenisnya?" Aku menautkan alisku erat saat mendengar perkataannya. Mengapa ia menanyakan hal seperti ini? "What?" Aku berucap dengan mempertajam pendengaranku. Kuharap aku tak salah dengar. "Kubilang, apa kau percaya dengan hal hal berbau mistis-" Ia memiringkan sedikit kepalanya, "Lebih tepatnya, hal yang sulit kau terima, namun ada." Aku menatap Jason yang berjalan pada sebuah brangkas kecil, menekan beberapa angka lalu memutar penutup dari brangkas tersebut. Aku tahu apa yang ia maksud dengan kata 'mistis' dan segala macam bedebahnya. Aku tak sebodoh itu walau aku memang tidak pintar. Namun apa maksudnya mengatakan hal seperti ini. "Maksudmu?" "Satanisme. kau pernah mendengarnya?" Ia kembali dengan sebuah kotak berukuran sedang, kotak tersebut terbuat dari kayu dengan warna yang gelap. Jason meletakkannya di atas meja, duduk dengan menyandarkan tubuhnya dengan nyaman di atas sofa. Satanisme. Aku tak pernah mengetahui tentang hal hal seperti itu. yang kutahu dari namanya, satanisme adalah aliran penyembah satan. mereka tidak mempercayai tuhan. Maksudku ayolah, masih adakah orang yang berkutat dengan hal hal seperti itu saat ini? "Apa yang kau coba katakan Jason?" Lelaki ini menjilat bagian bawah bibirnya, dari sorot matanya aku tahu ada yang ia fikirkan. mungkin lelaki itu tengah berfikir bagaimana menyampaikan hal ini pada diriku. "Aku penganut satanisme. diriku, seluruh keluargaku, hal ini sudah berlangsung empat generasi dalam keluarga Javier" Aku menatapnya dengan alis yang semakin berkerut. apa apaan yang ia katakan? Konyol. Lelucon macam apa ini. "Jika ini lelucon ini sungguh tidak lucu" "Apa aku terlihat bercanda?" Selanya yang lantas membuatku terdiam, aku meneliti wajahnya, berharap ada sedikit sorot candaan yang terlihat disana. Tapi tidak. Ia serius. "Kau pikir kekayaan, kekuasaan yang dimiliki keluargaku didapatkan secara cuma cuma?" "Ini gila .... " gumamku dengan menatapnya dengan sorot tidak percaya. Kufikir, hal seperti ini tidak benar adanya. Apalagi keluarga Javier merupakan keluarga tersohor yang sangat berkuasa. "Tapi, mengapa kau memberi tahu hal ini pada diriku? Apa ini ada sangkut pautnya dengan hal hal yang ingin kuketahui?" Ia membuka kotak hitam yang sebelumnya diletakkan di atas meja, mengeluarkan beberapa buah foto dan menyodorkan satu buah foto padaku. "Here" Aku meraih foto yang ia sodorkan padaku, menatap beberapa orang lelaki yang tengah menatap datar pada camera, dari gambarnya, ini terlihat seperti foto lama. "Lelaki di sudut kanan, itu Harry Carson ayahmu, dan sebelah kirinya Ayahku, Jonathan Javier" Aku menatapnya dengan mata membulat, ayahku? Aku tak pernah melihat ayahku selama ini, namun mom mengatakan ayah meninggal dalam kecalakaan mobil saat umurku baru berusia dua tahun. Tapi apa mungkin itu benar? Apa ini sebabnya Jason mengenalku? Karena ayahnya adalah teman dari ayahku? Tapi tak mungkin mom tidak mengetahuinya, mom bahkan tak mengenal keluarga Javier. "Omong kosong," ujarku dengan meletakkan kembali foto tersebut. Apa yang ia katakan tak masuk akal. Aku tak dapat menerima hal itu begitu saja. "Nama ayahmu Harry Carson bukan?" Ia benar. Nama ayahku Harry Carson. "Ibuku mengatakan iya meninggal dalam kecelakaan mobil" "Ia memang meninggal, namun bukan dalam sebuah kecelakaan mobil" Aku menatapnya lekat-lekat, meneliti netra hitamnya berharap ia hanya mengatakan sebuah bualan. namun tak ada, lelaki itu nampak serius kali ini. "Aku—aku tak bisa mempercayai perk-" Ia menunjukkan sebuah foto kembali, kali itu aku melihat lelaki yang ia sebut sebagai ayahku tengah berdiri di depan sebuah mimbar. "Itu saat ayahmu, bersumpah untuk menjadi seorang satanism" Aku hanya menatap foto tersebut dalam diam. Aku seakan kehilangan kata-kata. Aku tak dapat menerima semua ini begitu saja, apakah ini juga alasan mom tak suka bila aku mengungkit tentang ayah? Tapi tunggu. Aku tetap tak bisa mempercayainya, aku tak pernah tahu seperti apa rupa ayahku, dan aku tak bisa meyakini hal ini begitu saja, apa lagi aku mendengarnya dari jason. Bukan dari orang terdekatku sendiri. "Kurasa aku akan pulang." Aku meraih tasku, hampir beranjak dari tempatku dudukku saat tanganku kembali ditarik. "Kau belum mendengar seluruhnya Savannah" Ia menatapku dengan tajam, aku tak bisa mendengar sepatah katapun lagi. Rasanya semua yang ia sampaikan sulit untuk kuterima. Pertemanan ayahku dengan keluarganya, juga kenyataan bahwa dirinya seorang satanisme. Hell, aku tak bisa menerimanya. Beberapa kenyata—maksudku beberapa perkataan yang ia sampaikan belum dapat kupastikan. Dan sangat sulit kuterima dengan akal sehat. "Aku akan pulang," ucapku dengan beranjak dari sofa yang kutempati sebelumnya. "Kau tak mempercayai perkataanku?" sergahnya dengan mata yang menyipit, ia beranjak bangkit dari duduknya, menyamakan posisinya dengan diriku sekarang, aku menatap sudut bibirnya yang membentuk garis tipis. "Hentikan. Aku benar benar akan pulang." Aku menggelengkan kepalaku lalu berjalan menuju pintu. Aku tak mau mendengar lagi. Sudah cukup. "Bila kau masih tidak percaya, mengapa tidak kita bertemu Julia Carson untuk menjelaskan semuanya?" Aku menghentikan langkahku. Berbalik dengan memandang Jason yang masih menatapku dengan lekat. "Dia ada di toko kuenya kan?" . . . . . . 》》》》 To Be Continue 《《《《
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN