1. Pertemuan Mia & Wira

1493 Kata
"Ha? Apa itu?" Mia menghentikan langkahnya ketika mendengar benda pecah dari dalam rumah kosong yang hendak ia masuki. Mia mengendap-endap hingga mencapai pintu lalu mengintip ke dalam. Tadinya, Mia berniat untuk mengambil kaos yang ia beli dari temannya. Karena ibu tirinya cukup perhitungan, ia harus sembunyi-sembunyi ketika membeli sesuatu. Jadi, ia meminta temannya untuk meletakkan kaos itu di rumah kosong ini. Mia membelalak ketika masuk ke rumah dan melihat seorang pria sedang memegang pecahan kaca. "Om mau ngapain?" Pria itu terkaget dengan kemunculan Mia yang tak diundang. "Kamu siapa? Kenapa masuk ke sini?" "Seharusnya saya yang tanya sama Om! Ngapain Om di sini? Mau bunuh diri pake beling itu?" Kedua mata Mia melihat darah segar yang mengucur dari lengan si pria. Pria itu menelan ludah. Ia sama sekali tidak berniat untuk bunuh diri seperti yang dikira gadis muda di depannya. "Ini rumah orang tua saya!" seru pria itu mengagetkan Mia. "Kamu pasti nggak tahu siapa saya karena kamu masih muda. Saya dulu tinggal di sini. Nama saya Wira. Warga di sini juga mengenal saya." Mia menatap Wira sangsi. Ia belum pernah mendengar nama Wira. Namun, melihat darah segar mengalir dari lengan Wira membuat Mia merasa khawatir. "Itu tangannya luka, Om," ujar Mia seraya menunjuk tangan Wira. Wira melepaskan pecahan botol dari tangannya dan merintih pelan karena darah semakin deras mengalir. "Nggak papa, cuma luka kecil." Wira meraih sesuatu dari atas meja dapur lalu menggunakannya sebagai pembalut luka panjang di lengan kirinya. Kedua mata Mia melebar. Ia mengenali benda itu. Paper bag dengan merek Qaosku dan kain yang melingkar di lengan pria bernama Wira. Itu miliknya! Itu kaosnya yang hendak ia ambil. Mia segera menyeberangi meja dapur hingga ia begitu dekat dengan Wira. "Ini kenapa dibuka, Om?" Mia memeriksa paper bag-nya yang telah kosong. "Itu ... saya nggak tahu," kata Wira. "Itu baju aku, Om! Kenapa Om buka-buka baju aku?" Mia melotot tak terima. "Maaf, saya kira bukan punya siapa-siapa soalnya ada di atas meja dapur saya." Mia mendengkus tak terima, apalagi kini kaos barunya sudah berubah menjadi kain berlumuran darah. "Tanggung jawab dong, Om! Saya mau baju saya dibalikin," pinta Mia. "Tapi ini bukan salah saya. Kenapa baju kamu bisa di sini. Saya juga nggak tahu kalau ini baju kamu," ujar Wira tak ingin disalahkan." "Om udah buka baju saya. Pokoknya saya mau Om tanggung jawab!" teriak Mia. Wira membuang napas panjang. Ia mengabaikan rasa perihnya demi meladeni anak ingusan di depannya. "Kamu tenang aja, saya pasti bisa ganti baju kamu ini. Sekarang kamu lebih baik pergi." "Nggak bisa gitu dong. Saya mau Om balikin baju itu dan saya minta ganti rugi," kata Mia. "Bilang aja kamu tinggal di mana, nanti saya datang ke rumah kamu dan saya bakal tanggung jawab," kata Wira mencoba bernegosiasi. Wira tiba-tiba meringis hingga Mia menatap Luka Wira panik. "Om nggak papa?" tanya Mia. "Saya baik-baik saja," jawab Wira seraya mendorong bahu Mia agar gadis itu tak mendekat. Namun, alih-alih menjauh, Mia justru terpeleset. Wira pun berniat menahan tubuh Mia yang hampir menghempas lantai. "Aah!" Mia menjerit keras saat ia merasakan kemajanya tertarik oleh tangan Wira. Dan tiba-tiba saja, ia sudah ambruk ditindih oleh Wira. Mereka tidak sadar, bahwa obrolan mereka sudah didengar oleh seorang warga yang tengah membersihkan jalanan dekat rumah kosong itu. Basirun sejak tadi menajamkan telinganya untuk tahu apa yang dibicarakan oleh Mia dengan Wira di dalam rumah kosong. Seorang wanita meminta pertanggungjawaban pada seorang pria karena bajunya telah dibuka! Itulah yang ada di benak Basirun. Terlebih saat ia mendengar teriakan Mia. Kedua matanya spontan membola. Tak ingin ada hal buruk terjadi di kompleks tersebut, ia memilih untuk memeriksa. Kedua mata Basirun membelalak ketika melihat adegan Wira yang sedang menindih tubuh Mia dengan kondisi pakaian Mia yang setengah terbuka. "Apa yang kalian berdua lakukan di rumah kosong ini? Kalian berbuat m***m?" tanya Basirun sambil berkacak pinggang. "Apa?" Mia terkaget. Mia menggeleng keras seraya mendorong d**a Wira. Wira lebih dulu berdiri. Sementara Mia yang terduduk sangat tegang. Berbuat m***m? Tidak mungkin! Mia menunduk lalu cepat-cepat menarik pakaiannya. Namun, karena ulah Wira, beberapa anak kancing kemeja itu sudah lepas entah ke mana. Mau tak mau, Mia hanya bisa meremas bagian depan kemejanya. "Ini salah paham," jelas Wira. "Salah paham? Jelas-jelas Neng Mia kayak gitu. Pak Wira udah buka baju dan menodai Neng Mia, ya?" tanya Basirun tak percaya. "Saya harus panggil warga dan Pak RT." Mia dan Wira tak punya pilihan lain karena dalam beberapa menit, rumah kosong itu sudah diisi oleh warga yang dipanggil Basirun. Mia yang sangat malu hanya bisa tertunduk dengan wajah basah karena menangis. "Mia!" Mia terkesiap saat ibu tirinya menyeruak dari balik kerumunan. Tak lama, ia pun mengaduh karena telinganya dijewer kuat-kuat oleh Suci, ibu tirinya. "Bukannya kamu izin ke warung buat jajan, kenapa malah masuk ke rumah kosong dan bikin gaduh warga?" tanya Suci penuh amarah. Ia menatap Mia dari atas hingga bawah dan terkaget karena kemeja Mia yang terbuka. "Beneran baju kamu dibuka sama Tuan Wira?" tanya Suci lagi dengan berbisik. Mia mengangguk, tetapi kemudian ia menggeleng. Ia tahu Wira tidak sengaja menarik kemejanya tadi. "Mama, kupingku sakit." Suci melotot seraya melepaskan telinga Mia. Di sebelahnya berdiri ayah Mia yang bertampang frustasi. Pria bernama Rehan itu baru pulang dari bekerja saat salah satu warga mengabari bahwa putri mereka kepergok berduaan dengan Wira, pemilik lahan dan rumah kosong ini. Mia dan Wira menjelaskan duduk perkara kejadian ini dengan cepat. Tentu saja mereka jujur karena tak mau dianggap melakukan hal-hal tak bermoral. Namun, melihat kondisi Wira yang terluka dan Mia yang menangis, banyak warga setempat yang tidak percaya. Bahkan Suci dan Rehan tampak khawatir kalau-kalau putri mereka telah dinodai oleh Wira. Apalagi kemeja Mia terbuka dengan beberapa kancing yang lepas. "Sudah saya jelaskan, Pak, saya tidak sengaja," kata Wira. "Lalu kenapa Pak Wira menindih Neng Mia dan membuka bajunya?" tanya Basirun, satu-satunya saksi mata yang justru paling salah paham di antara semua orang. Wajah Mia spontan memerah. Ia juga mendapatkan tepukan keras di lengannya dari Suci yang marah. "Malu-maluin," bisik Suci di telinganya. "Aku cuma mau ambil kaos aku, Ma. Om itu nggak sengaja dorong aku terus kemeja aku ketarik," rengek Mia putus asa. "Aku nggak bohong." Mia menunduk semakin dalam. Pasti semua orang mengira ia gadis murahan yang mau membuka baju di depan pria dewasa. Mia melirik Wira jengkel. Seandainya tadi Wira tidak ada di rumah ini, semua ini tak akan terjadi. "Pokoknya, saya tidak percaya dengan Pak Wira. Tadi Neng Mia jerit keras banget. Bajunya juga terbuka," ujar Basirun yang diikuti anggukan beberapa warga yang juga datang karena teriakan Mia. "Mbok jujur aja, Pak, udah ngapain sama Neng Mia di sini." "Astaghfirullah, saya beneran hanya ... pokoknya bukan salah saya. Itu ketidaksengajaan," ucap Wira yang semakin jengkel. "Aku cuma mau liat luka Om itu," tukas Mia sambil mengangguk. "Tapi Om itu malah dorong aku jadi baju aku kebuka." "Itu salah kamu sendiri! Kenapa kamu bisa menyusup ke rumah ini padahal tadi saya udah nyuruh kamu pergi kan!" hardik Wira pada Mia. "Mia, kamu beneran nggak diapa-apain sama Om itu?" tanya Rehan hati-hati. "Nggak, Pa! Aku mau pulang aja," kata Mia penuh harap. "Nah, iya. Saya juga mau pulang," celetuk Wira. "Masalahnya belum selesai, Pak, Neng," ucap Sultan, ketua RT setempat. Ia menatap Wira, Mia dan orang tuanya bergantian. "Menurut saya, Pak Wira harus tanggung jawab sama Neng Mia. Kalian udah berduaan di sini, di rumah kosong. Nggak ada yang bisa membuktikan bahwa kalian tidak berbuat m***m di sini." Wira membuang napas panjang. Ia sangat menyesal sudah datang ke rumah tua ini. Sungguh apes karena ia harus dihadapkan pada situasi seperti ini. "Jadi, apa yang harus saya lakukan?" tanyanya pada Sultan. "Saya bersumpah nggak ngapa-ngapain Mia." "Kalau begitu, jelaskan apa yang Pak Wira lakukan di sini tadi," kata Sultan. Wira mengunci bibirnya. Ia tak mau mengatakan apa yang sebenarnya ia lakukan. Ia sudah ketahuan tengah melukai dirinya sendiri oleh Mia dan ia tak mau mengumbar hal itu. "Saya cuma berkunjung." Wira bisa merasakan tatapan mencela dari Mia yang mungkin tak percaya dengan ucapannya. Namun, ia tak peduli, ia tak ingin terlibat lagi dengan gadis aneh itu. "Pokoknya, saya nggak terima warga di sini berbuat yang tidak sesuai norma," kata Sultan. Ia mengedarkan pandangan pada warga yang memberinya anggukan. "Saya nggak percaya Pak Wira datang ke sini hanya untuk sekadar berkunjung. Rumah ini sudah dibiarkan kosong dan tidak terawat selama bertahun-tahun. Bahkan Pak Wira ke sini nggak bawa mobil. Itu saja sudah mencurigakan. Dan Neng Mia, Neng bisa katakan saja kalau Eneng ini hanya korban." "Dia bukan korban!" sergah Wira tak terima. "Saya cuma nggak sengaja menarik bajunya! Coba saja tadi dia nggak sembarangan masuk ke rumah saya. Apa biasanya dia suka menyusup ke sini?" "Nggak mungkin putri saya berbuat seperti itu," ujar Rehan seraya berdiri. Ia menatap Mia yang tertunduk dan Wira bergantian. "Saya mau Pak Wira tanggung jawab atas putri saya!" Mia membelalak, begitu juga dengan Wira. Apa maksudnya? Pikir Mia. "Itu juga yang saya pikirkan, Pak Rehan," kata Sultan. "Saya rasa, Pak Wira harus menikahi Neng Mia secepatnya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN