"Apa?" tanya Mia tak percaya.
"Menikah?" tanya Wira bersamaan dengan Mia. Keduanya bertatapan sengit. Tak mungkin Wira mau menikahi gadis seperti Mia. Mia bahkan mungkin seumuran dengan putranya sendiri.
"Aku nggak mau!" pekik Mia. Ia marah sekaligus takut. Bagaimana mungkin ia mau menikah dengan pria dewasa seperti Wira? Ia memang tak bisa menebak usia Wira, tetapi ia yakin mereka memiliki rentang usia yang cukup jauh.
"Bukankah Pak Wira sudah beberapa tahun melajang dan Neng Mia juga sudah lulus SMA. Saya rasa tidak masalah kalian menikah. Kalian memang harus menikah karena sudah berbuat asusila di kawasan saya!" sergah Sultan. "Ada saksi yang membuktikan perbuatan kalian berdua. Jadi, saya minta pertanggungjawaban Pak Wira atas putri Pak Rehan."
"Katakan sesuatu, Pak Wira!" desak Rehan yang sudah sangat mengkhawatirkan Mia.
Di sebelah ibunya, Mia menggeleng keras. Ia tak ingin menikah dengan Wira. Tidak akan pernah! Ia menyukai cowok lain di sekolahnya.
"Saya mau bertanggung jawab. Tenang saja," kata Wira.
Kesepakatan pun terjadi meskipun sebenarnya Mira dan Mia sama-sama tidak menginginkan pernikahan itu. Wira meninggalkan rumah kosong itu setelah dijemput oleh sopir pribadinya. Ia sudah menandatangani surat perjanjian dengan pemuka setempat bahwa ia akan segera mengurus pernikahannya dengan Mia.
Walaupun terkesan tidak masuk akal, tetapi Wira mau tak mau melakukan pernikahan itu karena ia sudah lelah menjelaskan semuanya. Ia tak mau terus disudutkan sebagai pelaku pelecehan terhadap gadis belia itu.
***
Mia pulang ke rumah sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak mau begitu saja menerima nasib bahwa ia akan segera menikah dengan pria yang jauh lebih tua darinya. Ini bukan pernikahan impiannya. Ia masih harus kuliah dan bersenang-senang. Mungkin berpacaran juga. Dengan Tristan mungkin!
Tristan adalah anak laki-laki yang menjadi idola Mia sejak ia masuk SMA. Mia sudah berniat untuk mengutarakan perasaannya pada Tristan di pesta perpisahan SMA minggu depan.
"Ma! Aku tuh nggak mau nikah. Aku mau jadi apa kalau nikah sama pria tua kayak Om Wira!" Mia mendaratkan bokongnya ke sofa dengan keras. Kedua tangannya terlipat di depan d**a sementara bibirnya sudah maju sebagai bentuk protes.
"Kamu ini makanya jangan sembarangan masuk rumah kosong!" hardik Suci seraya memukul lengan Mia hingga gadis itu meringis. "Masuk kamar, pakai baju yang bener. Orang pamit jajan kok malah bikin masalah aja. Mama nggak habis pikir sama kamu!"
"Bukan salah aku, Ma. Tadi aku pikir Om Wira mau bunuh diri makanya aku deketin tapi kami malah jatuh," ujar Mia.
"Kamu mau ambil apa dari rumah itu? Kamu sering masuk ke rumah orang? Kamu tahu, kamu bisa dituntut karena menerobos rumah orang! Kamu harusnya lebih hati-hati, Mia! Kamu bukan anak kecil!" hardik Suci.
"Aku cuma mau ambil kaos baru aku. Mama kan suka ngelarang aku beli baju baru," ucap seraya berdiri dan meninggal ruang depan.
Suci membuang napas panjang melihat putri sulungnya berlari menaiki anak tangga. Ia duduk berdua dengan Rehan. Suaminya itu lebih banyak diam sejak pulang dari rumah kosong Wira. "Kamu nyesel, Pa, udah minta Wira buat tanggung jawab?"
"Papa hanya bingung. Kasian Mia. Mereka berbeda berapa tahun ya," gumam Rehan seraya menjentikkan jarinya dan mulai menghitung. Ia menggeleng pelan kala menyadari ia terlalu pusing untuk menghitung.
"Untung aja Wira kaya raya. Pria seperti Wira pasti bisa membahagiakan Mia. Papa nggak usah khawatir," kata Suci meyakinkan.
Rehan membuang napas berat. "Wira itu duda, dia juga punya anak. Mia baru lulus dan bahkan belum pernah pacaran."
"Kamu nggak rela Mia menikah dengan Wira?" tanya Suci.
Rehan mengangkat bahunya. Ia sendiri yang meminta Wira untuk bertanggung jawab karena ia terlanjur kalap melihat kondisi Mia tadi. Semua orang di perumahan juga mendukung tuntutan itu. Namun, sekarang justru ia merasa bimbang. Apakah keputusan yang ia ambil sudah tepat? Bagaimana jika Mia menikah dengan Wira?
"Udahlah, Pa. Seharusnya kita bersyukur Mia bisa menikah dengan pengusaha kaya seperti Wira. Kamu tahu sendiri kan, Wira memiliki perusahaan yang besar. Pernikahan ini pasti tidak akan merugikan Mia dan keluarga kita," ujar Suci meyakinkan.
Di kamarnya, Mia terbaring dengan posisi telentang. Ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti yang ia pakai tadi karena sudah terlanjur kesal. Hanya tinggal beberapa ia hari akan resmi lulus SMA. Seharusnya ia bersenang-senang, tapi sekarang ia justru harus menghadapi sebuah pernikahan dengan pria asing. Mia merutuk dalam hatinya karena kebodohan yang telah ia lakukan tadi.
Mia kemudian terduduk. Ia membuang napas berat saat teringat dengan Wira yang berdarah. "Sebenarnya, Om Wira mau ngapain sih tadi? Dasar pria aneh!"
***
Di tempat lain, Wira tengah berasa di sebuah klinik kecil. Ia duduk di kursi. Seorang dokter sedang menjahit luka di lengannya.
"Anda mencoba melukai diri sendiri lagi, Tuan?" tanya dokter bernama Adrian itu.
"Tidak, ini kecelakaan." Wira berkelit.
Adrian menyelesaikan tugasnya dengan cepat lalu menuliskan resep untuk Wira. "Tuan, Anda tak boleh seperti ini terus. Istri Anda di surga tak akan senang jika Anda melakukan ini."
Wira mengepalkan tangannya. Ia mendapatkan tatapan mencela dari Adrian, dokter langganan yang biasa menangani dirinya. "Sudah kukatakan, ini kecelakaan."
"Benarkah?" tanya Adrian sangsi. "Ini hari kematian Nyonya Indah dan Anda kembali menyendiri sejak semalam. Bahkan Anda datang ke rumah lama kalian. Lalu, Anda menyayat lengan Anda. Itu bukan pertama kalinya terjadi bukan? Saya pikir sebaiknya ... Anda mengunjungi psikiater."
"Aku tidak gila, Adrian. Aku hanya ...." Wira tak meneruskan kata-katanya. Ia ingin sekali berkata bahwa ia sangat bersalah atas kematian Indah 10 tahun yang lalu. Namun, rasanya tak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan itu.
"Baiklah, tetapi tolong dengarkan saran saya, Tuan. Kali ini, apa yang membuat Anda berubah pikiran? Apa yang membuat Anda menghentikan ini?" Adrian menunjuk luka Wira.
"Aku tak ingin cerita," jawab Wira seraya menarik gulungan lengan kemejanya ke bawah. Tentu saja itu karena pertemuannya dengan Mia. Kehadiran Mia di rumah kosong tadi sudah membuat aktivitasnya kacau. "Jangan katakan apapun pada putraku. Aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit terluka dan aku tidak mati."
Wira meninggalkan klinik tersebut lalu masuk ke mobilnya. Di mobil, ia menjumpai kaos putih yang tadi ia gunakan untuk membebat lukanya. Ia mengambil kaos yang sangat diinginkan oleh Mia tersebut. Wira mendengkus keras saat menyadari itu adalah kaos dengan model crop.
'Apakah anak-anak perempuan zaman sekarang mengenakan pakaian yang kurang bahan seperti ini?'
Dengan jengkel, Wira mencampakkan kaos tersebut ke sebelahnya. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi kemudian ia kembali resah dan mengambil kaos bernoda itu.
"Yan, apakah bercak darah bisa hilang jika ini dibawa ke laundry?" tanya Wira pada sopir sekaligus asisten pribadinya yang bernama Yandi.
"Ehm, saya kurang tahu, Tuan," jawab Yandi. Mungkin bisa dicoba saja. Apa mau mampir, Tuan?"
Wira mendengkus lagi. "Apa kamu tahu di mana membeli kaos semacam ini?"
"Pasti banyak di pusat perbelanjaan, Pak. Pak Wira mau membelinya?"
"Ya. Saya harus mengganti pakaian Mia. Saya mau kamu nanti mencari baju yang sama persis seperti ini sampai dapat!" perintah Wira.
"Baik, Pak. Saya mengerti."
Wira kembali mencampakkan kaos lalu menyandarkan kepala. Ia menatap lengannya yang dibalut perban. Sial, ia tak mau putranya melihat hal ini.
***
Seminggu berlalu dengan cepat bagi Mia. Ia sangat senang karena ibu dan ayahnya tidak membahas masalah pernikahan dengan Wira lagi. Bahkan, tak ada yang mengungkit tentang kejadian di rumah kosong itu. Mia merasa bahwa hidupnya kembali normal. Meskipun terkadang, ia harus menahan malu karena tatapan sinis dari beberapa tetangganya, Mia tak ingin peduli. Hari ini, ia akan resmi menjadi seorang alumnus SMA!
"Lo yakin mau nyatain hari ini, Mi?" tanya Cindy, teman sebangkunya.
"Yakin! Lo liat Tristan nggak? Gue mau sekalian minta tanda tangan dia di baju gue!"
"Kayaknya di depan deh. Itu baju kamu udah penuh cat sama coretan. Masih ada space buat Tristan?" tanya Melly.
"Harus ada!" Mia menunduk lalu memeriksa bajunya yang berwarna-warni karena semprotan cat. "Udah ah, gue susul Tristan ke depan dulu ya!"
Mia berlarian dengan riang. Ia berhenti di dekat pintu gerbang saat melihat Tristan bersama dengan Yoga. Mia menatap Yoga dan Tristan bergantian. Baru beberapa minggu yang lalu ia menolak tembakan Yoga karena ia justru lebih menyukai Tristan. Namun, karena ini hari kelulusan, Mia tak ingin kehilangan kesempatan. Ia harus menyatakan perasaannya pada Tristan!
"Tristan!" teriak Mia seraya berlari mendekat.
"Hm? Ada apa?" tanya Tristan seraya mengangkat dagu.
"Gue ... gue mau ngomong sama lo." Mia melirik Yoga tak enak. "Berdua aja!"
"Gue udah mau pulang," kata Tristan yang juga tak enak pada Yoga.
"Bentar aja," pinta Mia malu-malu.
"Ya udah, buruan. Lo duluan aja, Ga," ujar Tristan pada Yoga.
"Oke, gue cabut dulu, Tan. Sampai jumpa, Mi. Bales chat gue ya," ujar Yoga pada Mia seraya tersenyum dan melambaikan tangannya.
Tinggallah Mia berdua saja dengan Tristan. Sebenarnya mereka tak hanya berdua karena masih ada murid yang lalu-lalang di sekitar mereka. Namun, Mia menganggap momen ini untuk bicara berdua. Ia sudah menunggu momen ini untuk menyatakan cintanya pada Tristan.
"Lo mau ngomong apa tadi?" tanya Tristan.
"Oh, iya. Sebenarnya gue ...."
Mia menghentikan ucapannya ketika sebuah mobil menepi di sebelahnya. Ia mengenali mobil tersebut. Mobil Suci, ibu tirinya. Suci yang menurunkan kaca mobil langsung melambaikan tangan pada Mia.
"Mia! Kamu harus pulang sekarang juga!"