13. Suami Pulang Cepat

1254 Kata
Wira dalam kondisi mood yang buruk usai bertemu dengan Dila. Ia bahkan mendapatkan omelan dari Yuni, ibunya, karena sudah menolak Dila lagi. Ibunya selalu berharap Wira bisa menikah dengan Dila, putri dari keluarga terpandang dan kaya raya. Wira tak habis pikir, padahal Dila lebih muda darinya sembilan tahun, Wira selalu berharap Dila bisa bertemu pria lain agar tak lagi mengejar-ngejar dirinya. Namun sayangnya, tak semudah itu. Dila justru lebih tertantang untuk mendapatkan Wira serta memancing amarah Wira setiap kali ia ditolak. Buktinya, ketika Wira kembali dari makan siang, ia mendapati fotonya dengan Indah sudah tergeletak di lantai. Kaca piguranya pecah dan berhamburan di lantai. Itu membuat Wira sangat jengkel setengah mati. Karena ia tidak merasa baik hingga sore hari, ia memutuskan untuk membatalkan meeting klien yang seharusnya dilakukan pukul 4.30 sore. Ia pulang lebih cepat sore itu meskipun ia juga tak terlalu suka pulang ke rumah karena ada makhluk lain di sana. Akan tetapi, mungkin mendekam diri di ruang kerjanya bisa membuatnya merasa lebih baik. "Selamat sore, Tuan," sapa Sulastri pada Wira yang datang dengan bersungut-sungut. Sesungguhnya, Sulastri masih ingin bertanya mengenai istri kecil Wira, namun melihat wajah Wira yang terlipat, rasanya tidak pantas. "Oh, kalian sudah kembali?" tanya Wira. "Sudah, Tuan." Sari dan Sulastri menjawab kompak. "Kalian sudah bertemu istri saya?" tanya Wira lagi. "Sudah, Tuan. Kami sudah kenalan," jawab Sari. "Bagus. Kalian harus menurut dengan Mia mulai sekarang," kata Wira tegas. Kedua asisten rumah tangga itu mengangguk khidmat. "Sekarang tolong bawakan air teh hangat ke kamar saya." "Baik, Tuan." "Mia di kamar?" Wira yang sudah mendekati anak tangga kembali membalik badan. "Ya, sepertinya begitu, Tuan," jawab Sulastri. Wira mengangguk pelan. Ia berjalan menaiki anak tangga lalu membuka pintu kamar. Di sana, ia menemukan Mia sedang mengotak-atik ponselnya dengan ekspresi jengkel. Rupanya ada orang lain yang memiliki mood lebih buruk darinya, pikir Wira. "Ponsel kamu kenapa?" tanya Wira. "Mati-mati aja dari tadi," gerutu Mia tanpa menoleh pada Wira. Ia sudah sangat kesal dengan benda butut itu. Namun, ia juga membutuhkannya untuk bersenang-senang. Sebentar lagi ia juga harus kuliah. Ia pasti butuh ponsel. "Beli aja yang baru," kata Wira seraya mendekat ke ranjang lalu duduk di ujung sementara Mia ada di tengah-tengah, bersila dengan tangan mengetuk-ngetuk layar ponselnya. "Aku nggak punya uang. Ponsel tuh mahal," cibir Mia. "Aku udah transfer uang ke rekening kamu semalam. Kamu bisa pakai untuk jajan dan membeli ponsel baru atau apapun yang kamu mau," kata Wira. Kedua mata Mia membola. "Om kirim uang ke aku? Kenapa? Darimana Om tahu nomor rekening aku?" "Dari mama kamu," jawab Wira. Ia sudah mendapatkan semua informasi mengenai Mia dari mertuanya sejak beberapa hari yang lalu. Ia memang tidak menyukai pernikahannya dengan Mia, tetapi ia juga merasa harus bertanggungjawab karena kejadian di rumah kosong itu. Lagipula ia sudah menandatangani perjanjian dengan pemuka setempat. Ia tak mau dianggap sebagai pria m***m yang tak bertanggung jawab. "Kamu istri aku sekarang," jawab Wira. "Jadi, wajar aku kirim uang untuk nafkah kamu sehari-hari." "Oh, begitu," gumam Mia tak mengira. Ia seharusnya senang karena memiliki uang tambahan. Ia sudah membayangkan ia akan bekerja setelah lulus SMA lalu sambil belajar untuk kuliahnya. "Ya. Kamu mau diantar membeli ponsel baru? Malam ini aku senggang, nggak jadi meeting." Mia menggeleng cepat. Rasanya tidak enak jika ia berjalan-jalan dengan Wira, walaupun Wira adalah suaminya. Ia tidak terbiasa! "Aku bisa berangkat sama temen aku, Om," kata Mia cepat. Kedua alis Wira terangkat. "Teman kamu wanita?" "Ehm, cewek," jawab Mia. "Namanya Cindy. Atau Melly. Tergantung deh siapa yang free buat nemenin aku belanja." "Terserah kamu. Tapi pergi besok siang saja jangan keluyuran malam-malam sendirian," kata Wira tegas. Mia ingin protes, tetapi entah kenapa kepalanya justru dengan patuh mengangguk. "Ada motor nggak di rumah, Om?" "Ada motornya Tristan," jawab Wira. Mia mencebik. Tentu saja ia tak bisa, ia hanya bisa memakai motor matic selama ini. "Ya udah deh, aku pakai ojol aja besok." "Ada mobil kalau kamu pakai," kata Wira menawarkan. "Aku nggak bisa nyetir," kata Mia tersinggung. Wira mendengkus. Ia lupa, Mia berasal dari keluarga menengah ke bawah jadi wajar di usianya ini ia tak bisa menyetir mobil. "Ya udah, besok pergi saja. Atau kamu bisa minta diantar oleh Tristan," ujar Wira memberi saran. "Oh, nggak usah, Om," kata Mia cepat. "Aku sama temen aku aja." Mia menoleh ke pintu yang terbuka, Sulastri memamerkan senyuman ketika membawa masuk satu baki berisi dua cangkir teh hangat, satu teko kecil untuk isi ulang dan satu piring kudapan ringan. Sulastri sangat senang melihat Wira bisa duduk dan mengobrol dengan Mia di atas ranjang. Itu adalah pemandangan yang sudah lama sekali tak ia lihat. "Tuan, tehnya. Ini saya bawakan juga buat Nyonya," ujar wanita setengah baya itu. Mia mengintip isi cangkir, ia tersenyum lalu mengambil satu cangkir. Padahal, tadi Wira hanya ingin menyendiri di ruangannya sambil menikmati teh. Namun, Mia lebih dulu mengambil cangkir itu. "Makasih, Bi. Bibi bisa keluar," kata Wira. "Ehm, makasih, Bi. Seger banget," ujar Mia yang masih menyeruput tehnya. Sulastri membungkuk kecil. "Ya, Tuan, Nyonya. Saya keluar dulu, tapi saya pengen bilang kalau saya lega banget Tuan Wira bisa menikah lagi. Nyonya Mia cantik banget. Kalian serasi banget. Saya harap pernikahan Tuan sama Nyonya selalu dilimpahi kebahagiaan." Wira tidak merespon ucapan asisten rumah tangganya karena wanita itu segera berlalu dan memastikan pintu kamar tertutup rapat. Ia berdehem kecil hingga Mia tersadar dari lamunannya. Mia masih tidak bisa mengerti kenapa semua orang di rumah ini begitu senang Wira menikah dengannya. Padahal, ia bukan wanita baik untuk Wira. Ia hanya gadis kecil miskin yang tak memiliki kelebihan apapun. Ia juga menikah bukan atas dasar cinta. "Aku mau mandi dulu," kata Wira ketika Mia meletakkan cangkirnya. "Tunggu dulu," ujar Mia seraya menatap Wira lurus. "Apa? Kamu mau bilang apa?" Mia membuang napas panjang. "Aku cuma penasaran, Om. Kenapa semua orang seneng banget Om Wira nikah lagi. Bahkan Tristan. Itu nggak wajar banget, Om. Apa yang terjadi?" "Apa yang kamu pikirkan? Mereka hanya senang karena setelah sepuluh tahun kepergian istri aku, aku bisa menikah lagi. Mungkin seperti itu," kata Wira. "Sepuluh tahun," gumam Mia. Lama juga. Jadi Tristan hampir sama seperti dirinya yang kehilangan sosok ibu kandung sejak usia masih sangat kecil. Bedanya, Mia langsung meminta ayahnya untuk menikah lagi dengan Suci waktu itu. Sedangkan Wira menahan diri cukup lama hingga terjebak dalam pernikahan dengannya. "Ya, sepuluh tahun lalu Indah meninggal dunia. Aku nggak mau membahas masalah itu, jadi jangan tanya-tanya lagi." Mia ingin protes, tetapi Wira sudah lebih dulu berdiri. Pasti ada sesuatu di balik kematian Indah, pikir Mia. Tak mungkin pria seperti Wira bisa bertahan selama sepuluh tahun tanpa belaian wanita lain dan tak menikah lagi hingga sekarang. Namun, apa? "Kamu minum saja teh dan makan kudapan itu, tapi jangan bikin ranjang tercecer makanan, nanti ada semut. Aku mandi dulu," kata Wira. Mia mengangguk lagi. Ia sudah membuat kesalahan dengan makan donat semalam di sini. Ia tak mau melakukan hal yang sama. Jadi, ia memindahkan baki ke meja yang ada di tepi ruangan. Meja ini mungkin biasanya digunakan untuk Wira bekerja, tetapi sekarang sudah disulap menjadi meja belajarnya. Mia melirik benda-benda yang baru saja Wira lepaskan seperti dasi, jam tangan, ponsel dan sapu tangan. Haruskah ia merapikan semua ini ke walk in closet? Atau ia biarkan saja? Mia menggeleng tak ingin peduli, tetapi tiba-tiba ia membaca pesan yang baru masuk di layar ponsel Wira. Ia spontan mengambil ponsel Wira karena penasaran. Ada pesan yang tertampil di layar, pesan dari Dila. Dila: Mas, besok kita makan siang bareng ya. Berdua aja. Aku yang pesan tempat. Kedua mata Mia berputar. Siapa lagi Dila? Apakah Wira memiliki seorang pacar?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN