12. Ditelepon Suami

1289 Kata
Mia mengakhiri sarapannya dengan mengobrol berbagai hal dengan Sulastri dan Sari. Dari keduanya, Mia mendapatkan beberapa informasi mengenai Wira, bahwa tuan rumah itu sangat baik dan penuh kejutan. Sulastri tampak sangat terharu mengetahui Wira sudah menikah lagi meskipun dengan gadis belia seperti Mia. Bahkan mereka berdua juga mendoakan banyak hal baik untuk pernikahan Mia dengan Wira. Mia memutuskan untuk kembali ke kamar setelah sarapan, sementara Tristan sudah tak terlihat lagi setelah memberinya ancaman kecil. Ia agak kesal dengan Tristan. Ia tak memiliki niat untuk menyakiti Wira, ia hanya ingin mengakhiri pernikahan aneh ini suatu hari nanti seperti yang telah ia dan Wira sepakati. Namun, agaknya Tristan adalah anak penyayang yang khawatir jika sesuatu terjadi pada ayahnya. "Gue nggak mau kejebak lama-lama dengan pernikahan ini," gumam Mia. Ia membaringkan dirinya di ranjang dan tiba-tiba ia mendengar ponselnya berdering keras. Mia menggulingkan tubuhnya seraya menangkap benda pipih yang tadi ada di sebelah bantal. Mia menatap nomor baru yang masuk ke panggilan ponselnya. "Siapa nih?" Karena penasaran, Mia pun menggeser tombol hijau. "Halo," sapanya. "Halo, ini Wira." Mia mengangguk pelan. Ia baru sadar, ia tak tahu apapun tentang Wira bahkan nomor ponselnya. "Iya, Om. Ada apa?" "Kamu udah mandi dan sarapan?" tanya Wira. Mia mencebik. Dasar bapak-bapak! "Udah, Om. Tadi bikin mi goreng." "Oh." Di seberang, Wira mengernyit heran. Pagi-pagi Mia sudah membuat mi instan? "Tristan sudah pulang?" "Udah," jawab Mia. "Tadi aku ditemenin Tristan waktu makan." "Bagus. Kamu udah ketemu sama Bi Sari dan Bi Sulastri?" tanya Wira lagi. "Udah, Om. Mereka memperlakukan aku kayak nyonya rumah," kata Mia canggung. Ia tak tahu bagaimana ia bisa berkata sebanyak ini pada Wira, tetapi sepertinya Wira ingin tahu. "Ya memang harus seperti itu," tukas Wira. "Aku pulang terlambat nanti, ada meeting dengan klien. Kamu bilang aja sama mereka kamu mau makan apa untuk nanti siang dan malam. Kamu juga bisa meminta mereka beres-beres kamar atau yang lain, kamu nggak perlu ngapa-ngapain di rumah. Mengerti?" "Ehm, enak banget," gumam Mia tanpa sadar. Ia ingat di rumah lamanya, ia harus membereskan ini dan itu. Merapikan mainan Selvi yang tidak pernah ada habisnya, menyapu halaman dan membersihkan kamar mandi. "Apa?" tanya Wira. "Oh, nggak, Om. Oke." "Ya udah. Baik-baik di rumah. Ajak Tristan makan siang kalau udah waktunya," pesan Wira dengan nada sungguh-sungguh. "Oke." Panggilan itu terputus dan Mia merasa agak aneh. Setelah ia menjadi nyonya rumah, ia juga harus memperhatikan Tristan. Padahal Tristan bukan bocah lagi. Ah, menyebalkan, kenapa ia harus menjadi ibu tiri Tristan? Mia menggeleng keras. Ia ingat kata-kata Wira, ia bisa meminta makanan apapun pada Sulastri dan Sari. Mia selalu membayangkan bisa makan enak hanya dengan meminta. Apakah ini akan terwujud? Mia pun mulai berselancar di dunia maya untuk mencari rekomendasi makanan untuknya! *** Siang itu, Wira baru saja bersiap untuk makan. Ia menutup laptop dan berkas pekerjaannya yang lumayan banyak. Ia sudah memesan sebuah restoran yang ada di dekat kantornya, meskipun ia hanya makan seorang diri, ia tak menginginkan adanya gangguan. Sialnya, gangguan itu ternyata datang lebih cepat daripada yang ia duga. Baru saja hendak berdiri, pintu ruangannya terbuka dari luar. "Siang, Mas Wira," sapa Dila, wanita muda yang sudah beberapa bulan didekatkan oleh ibunya untuk dijadikan pasangan hidup bagi Wira. "Oh, kamu ke sini kenapa nggak ngabarin?" Wira kembali duduk ketika Dila mendekat. "Aku udah telepon dari kemarin, tapi kamu nggak ada jawab sekali, Mas. Kamu sibuk apa? Padahal kemarin kamu nggak di kantor." Wira berdehem pelan. Ia memang tidak ke kantor kemarin karena itu adalah hari pernikahannya dengan Mia. "Aku ke luar kota. Mau apa kamu ke sini?" Dila mencebik, susah sekali mendekati Wira, batinnya. Sejak ia dikenalkan dengan Wira, duda kaya raya yang menjadi incaran banyak wanita, Dila sudah terobsesi untuk menjadi wanita pilihan bagi Wira. Apalagi Dila memiliki latar belakang keluarga yang juga sepadan dengan Wira. Ia juga cantik, lajang dan berpendidikan. Ia mengira itu cukup untuk menjerat Wira, tetapi rupanya Wira jauh lebih sulit untuk ditaklukkan. Bahkan, ia sudah pernah menggoda Wira dengan fisiknya suatu malam di sebuah hotel, tetapi Wira bergeming, Wira tak berniat untuk tidur dengannya. Sungguh aneh, karena biasanya para pria tak segan-segan untuk segera menikmati tubuh sintalnya jika diberikan akses. "Ayo kita makan siang bareng, Mas. Kamu pasti udah pesen tempat. Aku mau ikut makan siang," kata Dila penuh harap. "Aku makan sama sekretaris aku," tutur bisa berdusta. Namun, itu lebih baik daripada ia harus makan siang dengan Dila. Ia tak menyukai wanita itu. "Ayolah, Mas. Kita makan bertiga aja deh. Di mana kamu pesen makanan?" tanya Dila lagi. "Dila, bukannya aku udah ngomong sama kamu bahwa kita harus jaga jarak. Aku udah bilang, aku sama sekali tidak tertarik dengan perjodohan yang dilakukan Mama sama orang tua kamu. Kamu masih muda, kamu cantik, kamu bisa pilih pria lain yang jauh lebih baik daripada aku," ujar Wira seraya berdiri. Ia sudah cukup lapar dan tak ingin beradu argumen dengan Dila. "Mas. Kamu juga udah tahu, aku cuma cinta sama kamu. Aku seneng dengan perjodohan ini. Jadi, aku mau kita makin dekat sampai kita menikah lagi. Tiga bulan lagi. Mama bilang kita bisa nikah bentar lagi, Mas," ujar Dila. Ia memutari meja kerja Wira lalu memeluk lengan pria itu dan menyandarkan kepalanya di lengan Wira. Dengan kasar, Wira mendorong kepala Dila yang seperti tentatel gurita, menempel di lengannya. "Kamu harus minggir. Aku nggak akan pernah nikah sama kamu. Aku nggak bisa!" "Kenapa?" Dila menengadah ke wajah Wira yang memerah lantaran menahan amarah. "Aku nggak bisa. Pokoknya, aku nggak akan pernah menikahi kamu. Sekarang kamu pergi saja, Dila. Aku mau makan," kata Wira. Ia tidak berhasil melepaskan tubuh Dila yang menempel di lengannya. Sialan, batin Wira. Ia ingin meneriakkan bahwa kemarin ia sudah menikah, bahwa sekarang ia sudah berstatus sebagai seorang suami. Namun, ia juga tak mau ibunya mendengar pernikahan rahasia yang ia lakukan dengan Wira. Ia tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada Mia di awal pernikahannya. Tidak! Ia tak ingin Mia celaka sampai kapanpun. Ia tak mau ada Indah episode dua dalam hidupnya. Walaupun ia tidak mencintai Mia dan tidak menganggap Mia sebagai istri betulan, ia sudah terlanjur mengucapkan ikrar pernikahan kemarin. Ia memiliki tanggung jawab penuh untuk menjaga Mia. "Ayolah, Mas. Kita makan malam bareng aja. Aku mau cerita banyak sama kamu, Mas. Kemarin kan aku abis liburan ke Shanghai. Aku juga punya oleh-oleh. Pokoknya, aku mau berdua sama kamu siang ini, Mas. Sampai malam kalau bisa." Dila terkekeh di sebelah Wira. "Kamu nggak tahu malu!" hardik Wira. Cepat-cepat ia menyentak tangannya hingga Dila dengan suka rela melepaskan lengannya. "Aku nggak butuh oleh-oleh. Aku nggak butuh cerita kamu. Kita bahkan bukan teman, kenapa aku harus dengerin kamu dan makan sama kamu? Sekarang, kamu pulang saja!" Wira berlalu dari Dila yang terlihat marah. Lagi dan lagi, Wira menolaknya. Padahal ia sudah diamanati oleh ibunya serta ibu Wira, agar Dila lebih gencar mendekati Wira. Agar mereka bisa menikah tahun ini. Namun, Wira sangat keras bagaikan batu, dipahat saja tak bisa. Sial! Dila mengumpat dalam hati. "Kamu harus tahu, Mas. Aku bakal bilang sama Tante Yuni bahwa kamu udah nolak aku lagi. Perusahaan kamu bakalan terganggu kalau kamu menolak aku kayak gini terus!" ancam Dila keras. Wira membalik badan. "Kamu pikir, hanya keluarga kamu yang memiliki saham di sini? Tidak! Bilang aja ke Mama, bilang ke semua orang kalau kamu udah ditolak Wira Darmawan. Biar kamu malu dan sadar diri. Udah, jangan gatel. Awas kalau kamu masih di ruangan ini waktu aku balik!" Dila mendengkus keras. Setelah pintu ruangan ditutup oleh Wira, ia mengambil pigura foto yang ada di atas meja Wira. Foto Wira dengan istrinya, Indah. Dengan keras, ia melemparkan pigura itu ke dinding hingga kacanya pecah. "Sialan! Memangnya apa baiknya Indah? Wanita itu udah mati! Kenapa aku harus bersaing dengan wanita mati? Aku bakal lakuin apapun untuk dapatkan Mas Wira. Tunggu aja, Mas!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN