"Mi, gue anter lo pulang yuk," kata Cindy ketika ia dan Mia sudah puas berjalan-jalan serta makan pizza, spaghetti dengan minuman soda. Cindy akan segera berlibur ke luar negeri sebelum masuk ke universitas. Jadi, sekarang ia ingin menghabiskan banyak waktu bersama Mia, sahabatnya.
"Eh, nggak usah repot-repot, Cin. Gue udah pindah," kata Mia.
"Pindah? Lo pindah rumah?" tanya Cindy kaget.
"Nggak gitu. Gue ... gue ngekos," jawab Mia asal.
"Oh gitu, iya sih. Perumahan rumah lo jauh dari kampus," kata Cindy tak curiga. "Tapi gue anter nggak papa lah, Mi. Gue nginep semalam dong. Enak nggak indekos lo?"
"Ehm, ya gitu deh. Agak ketat. Nggak boleh ada yang masuk orang luar. Apalagi roommate gue, pokoknya gue nggak bebas, Cin." Mia membayangkan Wira ketika ia menyebutkan roommate.
"Nggak enak banget tuh," gumam Cindy. "Tapi aman berarti ya. Nggak ada cowok yang bebas masuk."
"Heem, bener banget."
"Ngomong-ngomong, Mi, kemarin gimana lo jadi confess ke Tristan?" tanya Cindy penasaran.
Mia menghentikan langkahnya. Ia semakin gusar karena membahas Tristan. Jika Cindy tahu ia sudah menjadi ibu tiri Tristan, ia akan sangat malu.
"Kenapa, Mi? Lo ditolak?" tanya Cindy lagi.
Mia mengangguk saja. Lagipula ia tak bisa memacari Tristan. Tak akan bisa. Sudahlah, pikirnya dalam hati. Mungkin nanti setelah kuliah, ia akan menemukan pria lain yang bisa ia pacari. Bukankah Wira berjanji akan berpisah dengannya jika ia jatuh hati dengan pria lain.
"Gue nggak berjodoh sama Tristan. Gue mau cari gebetan lain aja ntar kalau udah masuk kuliah," kata Mia seraya mengangkat bahu. Ia tidak pernah menjadi murid populer selama ini. Mungkin karena ia bukan anak orang kaya seperti teman-temannya, jadi ia sedikit minder.
Namun, sekarang ia memiliki banyak hal, ia bisa mempercantiknya diri dengan mudah. Mungkin saja setelah ini ia bisa menjadi mahasiswi yang banyak disukai.
"Bagus deh. Lo buruan move on dari Tristan. Mumpung kita udah masuk universitas, kita bisa gaet cogan-cogan yang lebih keren daripada Tristan!" kata Cindy penuh semangat.
"Bener. Ya udah lo pulang aja, Cin. Gue mau order ojol dulu," kata Mia yang masih menggunakan ponsel buluknya.
"Udah itu ntar dibuang aja ponsel lawas lo. Udah ada yang baru kan," kata Cindy riang.
Mia tertawa. "Lo bener. Udah jelek banget ini."
"Ya udah, gue ke parkiran dulu, Mi. Bye!" Cindy memeluk tubuh Mia sebelum akhirnya berlari cepat meninggalkan Mia yang masih agak linglung dengan segala situasi. Ia mendadak memiliki banyak uang.
Kata Wira, itu untuk uang jajannya saja. Sebanyak itu? Mia jadi jadi curiga, apakah ia sudah dijual oleh ibu tirinya ke Wira? Sehingga ibu tirinya dengan mudah membiarkan Mia tinggal bersama Wira? Apakah tak hanya dirinya yang memiliki uang banyak, tapi juga mereka?
Mia menggeleng keras. Ia tak mau mereka-reka hal aneh di kepalanya. Lebih baik ia pulang dan memikirkannya di rumah.
***
Mia baru saja kembali dari pusat perbelanjaan. Dan tentu saja ia sangat bersemangat mengotak-atik ponsel barunya. Ia memindahkan semua file ke ponsel tersebut lalu menjajal kameranya dengan melakukan selfie. Sesekali Mia terkekeh karena merasa sangat senang. Tawa Mia lenyap saat ia melihat nama Suci di layar ponselnya.
"Halo, Ma," sapa Mia.
"Mia, gimana kabar kamu. Kenapa nggak telepon dari kemarin?" tanya Suci dari seberang.
"Aku nggak papa kok, Ma. Mama kenapa telepon?"
"Hm, ini foto pernikahan kamu sudah jadi. Barusan diantar sama tukang fotonya kemarin," kata Suci.
Mia mencebik. Ia jadi teringat dengan pernikahannya kemarin yang sangat tidak masuk akal. Ia bahkan masih mengenakan seragam sekolah dengan aneka warna cat semprot. Ia juga pasti terlihat ketus karena tak menyukai pernikahannya dengan Wira. Seperti apa dirinya di foto?
"Ya udah biarin aja di situ, Ma," kata Mia asal.
"Mama mau anterin ke rumah Wira. Kamu perlu pajang foto kalian di rumah Wira," kata Suci dengan nada berapi-api.
"Buat apa sih, Ma? Aku pasti jelek di foto," kata Mia kesal.
"Ya jelas. Orang kamu nggak mau didandani kok. Kasih tahu di mana alamat rumah Wira yang detail, nanti Mama ke sana sebentar lagi."
"Buat apa sih? Nggak usah," kata Mia yang semakin dongkol.
"Kenapa kamu nggak bolehin Mama datang? Kamu sekarang sombong karena bisa nikah sama pria kaya raya?" tanya Suci tak terima.
"Bukan kayak gitu, Ma. Masalahnya, ini tuh jauh. Aku juga nggak tahu ini perumahan apa. Tapi aku nggak butuh fotonya. Mama simpan aja di situ," kata Mia sungguh-sungguh. Ia tak mau menyimpan fotonya, apalagi memajang di ruang tamu.
"Mia, kamu tuh terlalu polos. Kamu nggak tahu Wira itu sangat populer. Dia pasti punya banyak wanita di sekelilingnya. Kamu harus buktiin kalau kamu emang istri sah Wira," kata Suci.
"Ah, Mama! Nggak perlu kayak gitu," gerutu Mia. Ia memang tidak tahu apa-apa tentang Wira, benarkah pria itu populer dan disukai banyak wanita? Mungkin saja, batin Mia. Seperti Dila yang semalam mengirimkan pesan untuk Wira.
Terdengar desah napas Suci di seberang. "Yang namanya orang udah nikah, minimal punya foto pernikahan di rumah. Jangan-jangan, Wira masih nyimpen foto mantan istrinya di rumah?" tebak Suci.
Benar, itu sangat benar. Ada terlalu banyak foto Indah di rumah ini. Namun, Mia tak peduli sama sekali. "Nanti aku kirim alamatnya, Ma. Mama paketin aja fotonya nggak usah repot-repot datang. Kasian Selvi kalau ditinggal, Ma," kata Mia beralasan.
"Ya udah terserah kamu aja. Mama tunggu alamatnya ya. Nanti Mama kirimkan yang express sehari sampai.
***
Benar saja, sore itu ketika Mia sedang menuruni anak tangga, ia disambut oleh Sulastri yang membawa satu kotak paket di tangannya. Kedua mata Mia melebar. Cepat sekali paket dari ibunya sampai!
"Nyonya, ini ada kiriman untuk Nyonya," ujar Sulastri.
"Oh, ya. Makasih, Bi." Mia mengambil kotak itu. Ia tidak ingin melihatnya, tetapi ia juga agak penasaran. "Bibi baru mau masak?"
"Iya, Nyonya mau makan malam apa hari ini?" tanya Sulastri.
Mia tampak berpikir sejenak. "Bikin steak bisa? Aku nggak pernah makan kayak gitu. Penasaran kayak di film-film itu kayaknya kan enak."
"Bisa dong, Nyonya. Nanti saya siapin pokoknya," ujar Sulastri meyakinkan. "Den Tristan juga suka steak. Tuan juga. Pas deh."
Mia mengangguk. Mendengar nama Tristan membuatnya penasaran. "Tristan pergi ya, Bi?"
"Nggak kok," jawab Sulastri. "Tadi siang pergi, tapi sekarang udah di rumah."
"Oke."
Mia yang penasaran dengan foto pernikahannya memutuskan untuk duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka paket itu dengan hati-hati lalu mulai melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah pigura kecil dengan foto dirinya bersama Wira. Ah, ia malu sekali bersanding dengan Wira yang berpakaian rapi sementara ia masih mengenakan seragam sekolah. Sangat lucu jika diperhatikan karena Mia justru lebih cocok menjadi anak atau keponakan dari Wira.
Mia meletakkan pigura itu di atas meja, lalu ia mulai membuka foto album yang berisi puluhan foto lainnya. Mulai dari foto saat proses ijab qobul, penyematan cincin, bersalaman, kecupan di kening lalu foto-foto bersama keluarga. Melihat semua itu, Mia mau tak mau berdebar tak keruan. Itu jelas adalah hal yang paling penting dalam hidupnya. Sebuah pernikahan.
"Ini, foto kemarin?"
Mia menoleh saat tiba-tiba Tristan sudah berdiri di sebelah sofa dengan menatap pigura di tangannya. Mia pun berdiri, ia hendak mengambil fotonya karena malu dilihat Tristan.
"Balikin fotonya," ujar Mia.
"Tunggu, Mi!" seru Tristan.
"Tristan!" pekik Mia. "Nggak usah diliat. Sini foto aku!"
"Aku mau tanya sesuatu sama kamu," kata Tristan yang kini menyembunyikan pigura itu di balik punggungnya. Jadi, sangat sulit bagi Mia untuk bisa menjangkaunya.
"Apa?"
"Papa kelihatan sedih banget di foto ini. Dan kamu, kamu juga kelihatan marah. Apa yang terjadi? Kenapa kalian berdua bisa nikah kalau kalian nggak kelihatan bahagia di foto?" tanya Tristan dengan nada menuntut.