16. Sandiwara Mia & Wira

1264 Kata
"Jawab aku, Mi!" Tristan mengulurkan pigura itu pada Mia yang membeku di tempatnya. Tristan menggoyangkan pigura untuk mendapatkan tanggapan dari Mia. Ia mengira, ayahnya sudah jatuh cinta pada Mia lalu menikah lagi. Namun, melihat foto di pigura itu menyadarkan Tristan bahwa mereka tidak sedang jatuh cinta. Mia bahkan terlihat marah di foto itu. Jadi, bagaimana mereka bisa menikah? Berulangkali Tristan mencoba berpikir, tetapi ia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat. Tidak mungkin Mia dan ayahnya dijodohkan. Mereka tidak setara. Berbeda dengan wanita-wanita pilihan neneknya yang berasal dari kasta yang sama. Jika itu Dila, akan sangat wajar Wira menikahinya. Karena Tristan tahu Dila adalah putri keluarga kaya raya yang sudah beberapa bulan ini digaungkan akan menjadi pasangan Wira. "Mi, jawab dong!" tuntut Tristan lagi. "Aku mau tahu bagaimana perasaan kamu ke ayah aku. Aku udah bilang, 'kan, aku nggak mau ayah aku terluka." Mia mengambilnya piguranya lalu kembali duduk. Ia bingung harus berkata apa karena ia tak boleh mengatakan yang sebenarnya pada Tristan. Ia juga malu menceritakan pertemuannya dengan Wira di rumah kosong itu pada Tristan. Ah, itu memang kejadian bodoh yang memalukan. Namun, bukan itu saja yang mengganggu Mia. Ia tiba-tiba ingat Wira hampir bunuh diri di rumah kosong itu. Kenapa? Entah apa alasannya, Mia mulai paham kenapa Wira tak ingin putranya tahu. "Ada apa ini?" Mia dan Tristan sama-sama kaget ketika mendengar suara Wira dari depan pintu. Wira menatap gestur gelisah Tristan lalu Mia yang duduk dengan wajah agak pucat. "Tristan, apa kamu bikin Mia nggak nyaman?" tanya Wira tak enak. "Nggak, Pa." Tristan duduk di sofa seberang ketika Wira lebih dulu duduk di sebelah Mia. "Aku cuma penasaran sama foto pernikahan kalian berdua." Wira melirik Mia yang memangku album foto dan pigura. Ia pun mengambil pigura dari tangan Mia lalu menatap foto di sana. Sungguh pemandangan yang ironis karena keduanya sama sekali tidak tersenyum. Yah, Wira sangat terluka dengan pernikahan yang tidak ia inginkan sama sekali itu. Ia tidak bisa melupakan rasa bersalahnya pada Indah. Sementara Mia, pasti gadis itu juga sangat marah karena pernikahan itu. "Kamu penasaran apa? Kamu bisa tanya Papa," kata Wira pada Tristan. "Aku kira Papa cinta sama Mia makanya Papa mau nikah lagi. Jadi, kenapa kalian berdua menikah? Aku penasaran, Pa! Kalau kalian sama-sama suka pasti kalian terlihat bahagia di foto itu. Tapi ... kalian justru sama-sama murung. Kenapa?" tanya Tristan pada ayahnya. Wira membuang napas panjang lalu meletakkan pigura di atas meja. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh," kata Wira. "Yang penting, Papa dan Mia udah menikah. Papa sayang sama Mia, kamu mungkin belum bisa melihatnya." Mia terkesiap saat tiba-tiba Wira merangkul dan meremas bahunya dengan lembut. Aksi ini jelas hanya pura-pura, bahkan ucapan Wira juga hanyalah sebuah dusta. "Kamu tidak tahu bagaimana emosi seseorang ketika menikah. Mia masih sangat muda, wajar jika Mia berekspresi seperti itu di foto. Papa juga baru belajar untuk memulai kehidupan baru lagi. Jadi, tidak ada yang salah dengan foto pernikahan itu," kata Wira menerangkan. "Jadi kalian tidak saling mencintai?" tanya Tristan. "Apa Mia cuma memanfaatkan Papa?" "Sembarang lo," celetuk Mia tak terima. "Bukan begitu, Tristan. Miagadis yang baik, Papa yakin," kata Wira yang kini mencoba tersenyum pada Mia. Mia mengerjap melihat senyum palsu suaminya. Ia pun ikut tersenyum meskipun begitu kaku. "Kalau begitu, kenapa foto Mama masih ada di situ? Kenapa Papa nggak ganti foto Mama dengan foto pernikahan baru Papa?" tanya Tristan seraya menunjuk ke pigura besar yang ada di dinding. "Nggak. Gue yang nggak mau," kata Mia. "Gue tahu Nyonya Indah adalah wanita yang berharga buat Om Wira. Jadi nggak perlu diganti. Lagian, gue jelek banget di foto ini. Ini buat pribadi aja." Mia mengambil pigura di atas meja dan memeluknya. Ia merasakan usapan lembut Wira di lengan atasnya. Ia merinding, tentu saja. Karena ia belum pernah disentuh seperti itu oleh seorang pria. Namun, bukankah ini hanya pura-pura? Ia hanya perlu bersandiwara di depan Tristan. "Berarti Papa nggak mau mengungkap ke publik kalau Papa udah menikah?" tanya Tristan lagi. "Ya. Untuk sekarang lebih baik seperti ini. Mia harus masuk kuliah bulan depan, Mia pasti nggak mau semua orang tahu ia sudah menikah. Jadi, kita harus rahasiakan pernikahan ini," kata Wira. "Bagaimana dengan Oma?" tanya Tristan lagi. Wira menegang, bahkan Mia bisa merasakan remasan di bahunya mengetat sedetik lalu. "Papa yang bakal cerita ke Oma. Papa berencana mengenalkan Mia ke Oma akhir pekan besok. Kamu nggak usah pikirin, itu urusan Papa." Tristan menatap Mia dan ayahnya bergantian. Walaupun terlihat kaku, Tristan bisa melihat kesungguhan sang ayah yang ingin menjaga Mia. "Oke. Aku ngerti," gumam Tristan. "Aku seneng Papa bisa nikah lagi, dan aku pengen Papa bahagia dengan pernikahan ini. Jadi, maaf kalau pertanyaan aku agak lancang." "Nggak papa, kamu juga berhak tahu," ujar Wira. "Papa yang bertanggung jawab penuh atas Mia sejak Papa menikahinya. Jadi, kamu nggak perlu berpikir yang aneh-aneh lagi." Tristan mengangguk pelan. Mungkin mereka memang tidak menikah atas dasar cinta. Tapi mungkin suatu hari, mereka akan saling mencintai, pikir Tristan. Atau setidaknya, kisah ayahnya dan Mia tak akan berakhir tragis seperti kisah ibunya dulu. Tristan tidak meragukan ayahnya, tapi ia agak tidak mempercayai Mia. Mia masih sangat muda, yah, ia memang perlu mengawasi Mia mulai sekarang. Apalagi pernikahan mereka bersifat rahasia, bisa jadi suatu hari Mia akan membuat ayahnya terluka. "Aku mau mandi dulu, kamu bisa siapin baju ganti aku, Mi?" tanya Wira pada Mia. "Oh, ya," jawab Mia gugup. Ia berdiri menyusul Wira. Ia semakin gugup saat Wira menggandeng tangannya ketika mereka menaiki anak tangga menuju kamar. Baru ketika mereka tiba di kamar, Wira melepaskan tangan Mia. "Terima kasih, kamu sudah bersandiwara di depan Tristan," kata Wira. Mia begitu cemberut sekarang. Sampai kapan ia harus seperti ini? "Apa maksud Om tadi?" "Yang mana?" tanya Wira seraya membuka jasnya. Ia mengulurkan jas itu pada Mia yang masih cemberut. "Mau ngenalin aku ke Oma," jawab Mia. "Ah, mama aku. Mertua kamu," kata Wira. "Mama belum tahu kita sudah menikah. Jadi, mungkin butuh waktu untuk memberi Mama penjelasan. Kamu kenalan aja dulu sama Mama besok. Hari Minggu kamu nggak ada acara kan?" "Nggak ada. Apakah mama mertua galak?" tanya Mia was-was. Ia tak mau berurusan dengan wanita jahat seperti di sinetron. Apalagi ia tahu derajatnya sungguh berbeda dengan Wira. Biasanya wanita miskin seperti dirinya akan direndahkan. "Ehm, Mama nggak akan suka jika tahu aku menikah dengan kamu." Mia menegang mendengar ucapan Wira. Rasa takut menjalari dirinya seketika. "Lalu?" "Kamu nggak usah khawatir. Aku udah bilang, aku bakal tanggung jawab atas hidup kamu. Jadi aku bakal jaga kamu. Kamu bisa abaikan mama aku walaupun Mama nggak suka sama kamu dan pernikahan kita," kata Wira menjelaskan. "Aku nggak mau jadi menantu yang dibenci mertuanya!" sergah Mia keras. "Masalahnya bukan seperti itu, Mia. Sebenarnya aku sudah sering dijodohkan, dan kita menikah terlalu mendadak. Jadi mungkin, ini belum bisa diterima oleh mama aku," kata Wira setenang mungkin. Dalam hati, Wira sangat gelisah. Ia tahu, ibunya mungkin akan melakukan hal-hal mengerikan pada Mia. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Ia sudah terlanjur menikahi Mia meskipun ia tak menginginkannya. Ia juga tak bisa mengatakan banyak hal pada Mia karena tak ingin membuat gadis belia itu lebih ketakutan. Yang jelas, Wira akan melakukan satu hal. "Aku akan jaga kamu, Mia. Kamu tenang saja." Mia tak tahu, ia harus dijaga dari apa. Sejahat apa mertuanya hingga Wira berkata seperti itu? Ia masih ingin bertanya, tetapi Wira baru saja mengulurkan dasinya pada Mia lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Mia terduduk di tepi ranjang, memeluk jas Wira erat-erat. Kedua matanya terpaku pada foto pernikahannya yang tergeletak di atas ranjang. Sepertinya, pernikahan ini akan penuh drama. Mia hanya berharap, ini bukanlah drama yang diisi dengan banyak adegan menyakitkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN