Bab. 15. Memungkiri Rasa.

1336 Kata
Setelah seharian beraktifitas di luar, sebenarnya, Rinjani merasakan pegal di kakinya. Namun dia tahan, karena tak akan ada kesempatan kedua dalam waktu dekat ini pergi berdua ke Bali. Rinjani mulai berendam dengan air hangat, kala suaminya selesai mandi lebih dulu. "Uhh .... Enaknya!" Rinjani menikmati air hangat itu mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Wanita itu mulai melamun, mimikirkan hal-hal yang terjadi dengan singkat dalam beberapa waktu belakangan ini. Hembusan nafas berat, sesekali keluar dari bibirnya. "Aku masih tak percaya menjadi istri dari seorang Bastian Darel Pratama." Rinjani berbicara sendiri sambil bermain busa sabun yang menutupi seluruh tubuhnya. Setelah puas berendam dan merasa lebih baik, Rinjani mulai membilas tubuhnya. Memakai batrobe dan menggulung rambutnya menggunakan handuk. Lelaki yang hanya menggunakan celana pendek itu menatap istrinya tanpa kedip saat Rinjani berjalan ke arah kamar ganti. 'Kenapa aku jadi ingin tahu segala hal tentangnya,' gumam Bastian mengikuti langkah Rinjani. Lelaki tampan itu membuka sedikit pintu ruang ganti, agar dia bisa memperhatikan istrinya yang sedang berpakaian. Mata elang itu hanya tertuju pada lekuk tubuh yang indah di depan sana. Jantung Bastian berdetak kencang, bahkan buliran keringat mulai membanjiri keningnya. 'Kenapa dengan diriku ini?' Bastian benar-benar tak mengerti dengan reaksi tubuhnya, saat melihat tubuh Senja yang indah. 'Padahal aku sudah melakukannya beberapa kali,' gumam Bastian dalam hati. Bastian mulai berbalik arah dan mengumpat pada dirinya sendiri. "Dasar bod*h kau ini Bas! Kenapa kamu seolah terpikat dengan wanita misterius itu?" Bastian menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan pelan. Berharap, mengurangi segala rasa yang tak biasa karena melihat Rinjani yang sangat seksi dan semakin terlihat cantik. Rinjani sudah cantik dengan celana diatas lutut dan kaos pas badan. Rambut yang belum mengering membuat penampilan wanita itu semakin indah si pandang saja. "Godaan apalagi ini?" tanya Bastian dengan nada lirih agar tak di dengar oleh sang istri. "Kamu kenapa, Bas?" Rinjani merasa aneh dengan sikap suaminya. Bastian menatap Rinjani dengan kening mengeryit, "Aku?" "Iya. Kamu terlihat aneh dan tidak nyaman," ucap Rinjani. "Enggak apa-apa. Aku mau pesan kopi, cuma sengaja nunggu kamu," jawab Bastian asal. 'Manis sekali!' Rinjani merasa bahagia namun dia hanya mengucapkannya dalam hati. "Pesankan aku juga ya, suamiku!" Rinjani berucap lirih pada kalimat terakhirnya. Setelah menunggu beberapa menit, pesanan kopi datang. Bastian membuka jendela kamar hotelnya, agar dia bisa melihat suasana luar dengan semilir angin yang menyapa tubuh ke duanya. Diam, seolah suami istri itu tak saling punya bahan untuk bicara. Rinjani sibuk menikmati kopinya. Sedangkan Bastian hanya diam tanpa kata. "Apa ada yang kamu pikirkan?" tanya Rinjani setelah beberapa saat terdiam. Bastian menoleh pandangan keduanya saling beradu, "Tidak ada. Kamu paling bisa mengada-ada." Seketika Rinjani menundukkan pandangan karena sok tahu akan keadaan suaminya. Meski mereka bersahabat sejak lama, nyatanya, Rinjani masih belum bisa memahami sahabat, sekaligus suaminya. "Aku bukan mengada-ada, Bas! Biasanya kalau kamu lebih menjadi pendiam, kamu sedang ada yang dipikirkan." Rinjani mencoba menjelaskan mengenai pertanyaannya. 'Meski di kepalaku banyak yang aku pikirkan, aku tidak akan pernah berbagi dengan wanita sepertimu,' monolog Bastian dalam hati. Bastian tak menanggapi ucapan istrinya, dia menatap jauh ke arah luar hotel, sambil menyesap sedikit demi sedikit kopi yang mulai menghangat. Dan Rinjani, tak ingin mengusik ketenangan suaminya hanya untuk sebuah pertanyaan sepele. Diam, kedua insan hanya diam tak ada yang mulai bicara. Rinjani yang mulai bosan tak ada obrolan maupun kata-kata manis dari suaminya seperti harapannya, akhirnya beranjak untuk meninggalkan lelaki tampan itu sendiri. 'Mungkin dia butuh waktu sendiri. Lebih baik aku pergi saja dari sini,' ucap Rinjani dalam hati. Setelah Rinjani berdiri, Bastian seolah tak rela kalau duduk sendiri. "Mau kemana?" Lelaki tampan itu bertanya dengan menatap lekat ke wajah ayu Rinjani. "Mau menaruh gelas," jawab Rinjani sambil menunjukkan gelas bekas kopi yang kosong. "Tunggu! Aku ikut!" Bastian menghabiskan kopinya, lalu mengambil alih gelas di tangan Rinjani untuk di simpan di meja. "Dasar lelaki aneh!" umpat Rinjani lirih membersamai langkah Bastian yang semakin jauh. Rinjani menutup jendela kamarnya, dia juga menutup gorden. Tidak ada hal lain yang mereka lakukan. Sehingga, wanita cantik itu merasa bosan. "Kamu mau ikut denganku tidak?" tanya Bastian yang membuat Rinjani merasa aneh. "Kemana?" tanya Rinjani penasaran. "Keluar yuk. Ke restoran hotel atau kemana saja. Sebelum rasa kantuk menjemput, apa kamu tidak bosan berada di sini terus?" Bastian bertanya sambil menatap dalam ke arah istrinya. "Tunggu sebentar aku ganti celana panjang dulu!" Rinjani mulai berlari untuk bersiap. Takut suaminya berubah pikiran, wanita itu hanya menambahkan liptin dan melihat penampilannya di cermin. "Sudah begini saja, Jani! Kalau kelamaan Bastian akan marah!" "Ayo!" Rinjani bersemangat karena pergi jalan-jalan dengan suaminya. Wanita itu juga menatap telapak tangannya yang digenggam erat. Hal yang tak pernah dilakukan Bastian lagi, setelah mereka mengenal almarhum Alesya. Dan malam ini, Rinjani merasakan betapa hangat sentuhan tangan Bastian. 'Aku merindukan hal ini sejak lama, Bas! Jika dulu kau menolak cintaku, setidaknya kau masih punya rasa toleransi untuk sahabatmu ini. Sayangnya, semua rasa nyaman dan kasih sayangmu ikut hilang bersama penolakan itu.' 'Sekarang, semua yang dulu ku rasakan jangan sampai terulang. Karena hubungan kita bukan cinta dalam sebuah permainan. Tetapi, sudah terikat dalam janji suci sebuah pernikahan.' Rinjani hanya mampu bicara dalam hati. Takut kalau Bastian akan tersinggung, kalau dia mengucapkan dengan nyata. Suasana malam hari di Bali sungguh menyenangkan. Banyak sekali wisatawan atau warga asli yang masih beraktifitas di luar rumah, meski jam sudah beranjak malam. Bastian membawa Rinjani berjalan menyusuri trotar. Wanita itu tak ada keinginan untuk bertanya kemana dia akan dibawa oleh suaminya. Hingga setelah jauh berjalan, Bastian mulai bertanya kepada istrinya. "Kau lelah?" Rinjani menatap dalam ke arah suaminya, kemudian menggeleng. "Kita mau kemana?" Akhirnya Rinjani punya rasa ingin tahu yang tinggi mengenai kemana tujuan ke duanya. "Tunggu sebentar, kita akan segera sampai. Aku sengaja tak membawa kendaraan agar kita bisa jalan santai," jawab Bastian. Rinjani tak memberikan jawaban, wanita cantik itu percaya kemana pun suaminya membawa pergi. Hingga langkah Bastian terhenti di sebuah restoran dengan gaya modern. "Duduklah!" Bastian menarik sebuah kursi agar istrinya mulai duduk. "Terima kasih, Bas!" Rinjani tersenyum manis ke arah suaminya. Rinjani mulai memesan kentang goreng dan cokelat panas. Sedangkan Bastian hanya secangkir kopi. "Baru beberapa menit yang lalu kamu minum kopi, Bas, apa tidak ganti pesanan saja?" Rinjani merasa khawatir dengan kesehatan lambung suaminya. "Enggak. Kopi saja, aku sudah biasa melakukannya," jawab Bastian. Suasana resto itu sangat ramai pengunjung. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Masih terlalu dini untuk orang istirahat. Apalagi, malam ini adalah akhir pekan. "Besok kita cari oleh-oleh dan sorenya ke pantai ya. Harusnya sore tadi, hanya saja aku tidak mau kamu capek," ucap Bastian memecah keheningan. "Iya. Terserah kau saja. Lagi pula masih ada waktu untuk berkeliling," jawab Rinjani. Pasangan pengantin baru itu menikmati waktu berdua di pulau Bali, dengan berbagai hal, agar tak bosan atau jenuh. Apalagi, Bastian yang merasa aneh setiap dekat dengan istrinya itu. Hal yang dulu dia rasakan bersama Alesya, kini terjadi saat dia berdua dengan Rinjani. Sekuat tenaga, dia mencoba melawan agar tak jatuh semakin dalam. Namun, sudah dua hari ini, lelaki berbadan tinggi tegap itu sedang memungkiri rasa cintanya. 'Seperti malam ini, dia tampil sederhana, tak ada riasan mewah atau pun berpakaian mewah. Namun, rasaku ini semakin menggebu dan menginginkan lebih.' Bastian berucap dalam hati sambil memandang wajah istrinya dengan tatapan tak terbaca. 'Tidak, Bastian. Kau harus ingat apa tujuan kamu menikahinya. Selain untuk mendapatkan harta warisan, kamu juga punya misi yang harus dituntaskan,' monolog Bastian dalam hati. Lamunan Bastian buyar saat Rinjani mencoba menyuapi suaminya dengan kentang goreng. "Aku tidak suka itu, Jani!" Bastian menolak kentang yang diulurkan istrinya. Rinjani menarik kembali tangannya, kemudian memakan sendiri kentang goreng yang dia pesan. "Habis ini kita kembali ke hotel ya?" Bastian menatap istrinya. "Iya." Rinjani menjawab singkat tak berani memandang wajah suaminya. Hingga kebersamaan keduanya terusik oleh hadirnya seseorang. "Hai, Bas, apa kabar?" Seorang wanita tiba-tiba menepuk pundak Bastian hingga lelaki tampan itu kaget. "Hai, kau di sini?" tanya Bastian yang sedikit kaget. Sedangkan Rinjani mengamati perbincangan keduanya. Hingga tatapan seseorang itu tertuju kepada Rinjani, lalu bertanya. "Ini siapa, Bas?" tanya seseorang itu. Bastian menatap Rinjani lalu beralih kepada seseorang itu. Sedangkan Rinjani merasa takut, kalau dia tidak diakui sebagai istri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN