"A-aku bersedia menikah dengan Bastian, Pa!" Rinjani menatap takut ke arah Papanya.
Bastian tersenyum tipis kearah wanita cantik itu, merasa hidupnya tertolong karena sebuah jawaban persetujuan yang dilontarkan oleh Rinjani. David dan Usman juga menampilkan kebahagiaan karena pernikahan akan tetap dilakukan.
"Entah karena alasan apa kamu menerima lamaran dadakan ini, Jani, tapi aku sangat bersyukur karena kamu menjadi wanita pilihan cucuku," ucap Usman menatap lekat ke arah Rinjani.
"Iya, Kek. Aku tidak akan memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingan pribadi. Aku hanya ingin mencintai satu orang seumur hidupku, meski orang itu hanya terpaksa bersamaku," jawab Rinjani dengan senyum tulus ke arah kelaki tua yang menatapnya penuh kasih sayang.
"Cucuku tidak akan mempermainkan sebuah pernikahan. Meski dia sedang bersedih, tetapi aku yakin dia akan mencintaimu dengan sepenuh hati," ucap Usman dengan yakin.
"Ya, aku percayakan kehidupan putriku kepada cucu Anda, Tuan. Aku tidak membutuhkan harta, karena anakku sudah punya usaha sendiri, bahkan aku masih bisa menghidupinya. Aku tidak mau kalau ada orang yang menyebut Rinjani menikah dengan Bastian karena harta," sahut Latif dengan nada tegas.
"Aku yang akan bertanggung jawab kalau semua yang Om pikirkan itu terjadi," jawab Bastian dengan nada yakin.
"Keluarga mendiang Alesya tentu akan sangat kaget karena berita pernikahan Bastian. Aku harap kalian sebagai keluarga terhormat juga menjelaskan duduk permasalahan pernikahan ini terjadi," imbuh Almira.
Sebagai seorang Ibu tentu Almira tidak mau kalau setelah menikah, hidup anaknya penuh dengan tekanan. Wanita itu berharap, Bastian memperlakukan Rinjani selayaknya wanita, bukan sahabat lagi.
"Kalian tidak perlu khawatir, besok aku akan menelepon Bagas agar tidak terjadi kesalahpahaman dengan berita pernikahan Bastian juga Rinjani," jawab Usman sebagai orang tertua dan tentu orang yang punya wewenang penuh dalam keluarga Bastian.
Obrolan itu terus berlanjut, namun untuk kedua orang yang memilih ruang sendiri itu hanya sesekali bicara saja, seperti saat ini.
"Aku tidak akan menjanjikan cinta itu datang dengan cepat, Jani. Tetapi, aku berjanji kalau aku akan mencitaimu sepanjang hidupku," ucap Bastian mencoba memecah keheningan dan juga upaya untuk meyakinkan sahabatnya.
Lelaki tampan itu tidak ingin kalau Rinjani berpikir cintanya hanya untuk usaha mendapatkan warisan saja. Ya, meski memang kenyataannya seperti itu, tetapi Bastian juga tidak ingin terang-terangan menujukkannya kepada sahabatnya.
"Aku tahu, Bas! Dan kamu harusnya paham akan sifatku. Aku tidak pernah menuntut apa pun. Aku hanya ingin berada di dekatmu dan bisa mencintaimu tanpa harus aku sembunyikan lagi," jawab Rinjani tanpa menoleh ke arah lelaki yang dia cintai.
Perasaan wanita cantik ini sedang kacau, antara bahagia dan sedih menjadi satu. Cepat atau lambat, dia juga akan kena imbas dari pernikahan dadakan yang akan dilakukan dalam 48 jam lagi. Keluarga mendiang Alsya tentu tidak rela Bastian menjadikan dirinya pengganti cinta sahabatnya.
Namun Rinjani tetap tidak bisa menolak keinginan Bastian. Bastian butuh pertolongannya agar gelar CEO jatuh padanya. Karena cinta, wanita cantik rela melakukan segalanya.
"Kamu jangan takut kalau kedua orang tua Alesya akan marah. Mereka menjadi urusan Kakek. Kita hanya akan menikah lusa di jam sebilaj pagi di hotel Aksara. Semua kebutuhanmu dalam pernikahan, akan aku siapkan mulai besok, termasuk gaun pernikahan," ucap Bastian menoleh ke arah Rinjani yang tidak seceria biasanya.
"Aku sudah punya gaun pernikahan yang sudah aku siapkan saat aku berumur dua puluh tahun. Kamu tidak perlu membelikannya untukku," jawab Rinjani menoleh dan bersitatap ke arah Bastian.
"Baiklah, aku yakin kamu bisa mengatasi semua hal mengenai pernikahan. Kamu juga masih ada waktu untuk mengubah warna dekorasi agar sesuai dengan pernikahan ipianmu," jawab Bastian.
Runjani mengangguk, "Kamu sudah hafal dengan bunga favoritku, setidaknya kamu bantu aku untuk memberikan bunga itu di dekorasi pernikahan kita."
Setelah semua selesai dibahas, Bastian juga keluarganya akhirnya pamit pulang. Tinggal kedua orang tua Rinjani yang masih setia duduk di ruang tamu. Menunggu putrinya masuk kemudian mereka akan sedikit berbincang.
"Sayang, kami akan bicara sebentar," ucap Almira menatap teduh ke arah Rinjani.
Rinjani menatap bergantian ke arah kedua orang tuanya, kemudian kembali duduk.
"Ada apa, Ma, Pa?" tanya Rinjani.
"Kamu yakin dengan keputusanmu menikah dengan Bastian?" tanya Latif menatap serius kepada putri tunggalnya.
Rinjani tersenyum, dia menghembuskan nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Papanya yang entah ke berapa kalinya.
"Yakin, Pa! Aku tahu pernikahan ini terkesan dadakan dan aku juga paham akan perasaan Bastian yang sebenarnya itu tertuju kepada siapa. Hanya saja, aku ingin mencintai dan bersama lelaki yang selama ini aku impikan Pa, Ma. Aku yakin dengan kuasa Allah, kalau suatu hari nanti, Bastian akan lebih mencintaiku daripada Alesya."
"Jika ditengah perjalanan kamu tidak bisa bertahan, jangan dipaksakan ya, Nak. Cinta itu memang sederhana, namun lima kata itu bisa membuat siapa saja gila. Jangan bodoh karena cinta ya, Jani?" Almira mencoba memberikan pesan kepada putrinya.
"Baik, Ma. Asal kalian mendukungku, aku tidak akan pernah merasa kesulitan," jawab Rinjani dengan senyum lebar.
"Baiklah, karena sudah malam, ayo istirahat!" ajak Latif beranjak meninggalkan ruang tamu.
*
Rinjani masuk ke kamar, dia bersandar di pintu dengan pandangan kosong ke arah depan.
'Alesya, beraninya aku mengusik ketenanganmu di surga. Aku tidak bisa membiarkan Bastian hidup sendiri dan terus kesepian. Maafkan aku karena aku mencuri cintamu. Rela menjadi pengganti cintamu tanpa aku memikirkan bagaimana caranya aku menghapus segala kenangan tentangmu di hati Bastian,' monolog Rinjani dalam hati.
Wanita yang masih lengkap memakai kebaya itu berjalan pelan ke arah nakas. Mengambil bingkai foto dirinya bersama sahabatnya. Jemarinya bergerak pelan membelai kaca itu. Tatapan sedih terarah pada gambar Alesya.
Bagimana tidak, kepergian sahabatnya baru beberapa hari. Dia dihadapkan pada situasi sulit yang harus dipilih.
"Sekali lagi maafkan aku!" Rinjani memeluk bingkai itu dengan kesedihan yang mendalam.
Beberapa saat berlalu, wanita cantik itu memutuskan untuk membersihkan diri agar dia bisa tidur dan sejenak melupakan masalah yang ada.
*
"Alesya, aku tidak akan bisa melupakanmu secepat aku membalikkan telapak tangan. Kamu harus paham dengan posisiku sekarang. Aku tidak bisa membatalkan pernikahan karena, perjanjian yang sudah dibuat Kakek."
"Dan aku juga tidak bisa mencari penggantimu secara asal. Maka aku gunakan kesempatan Rinjani untuk menjadi pengantinku. Kamu harus tahu, kalau Jani juga mencintaiku sejak kita belum jadian."
"Ya, ini fakta, Alesya. Rinjani adalah sahabat yang rela memendam rasanya agar aku dan kamu bahagia. Makanya, aku menjadikan dia pengantin pengganti. Dan aku juga akan mencari tahu mengenai kecelakaan yang merenggut nyawamu."
Bastian pun melakukan hal sama, berbicara pada bingkai foto yang masih dia simpan di laci mejanya. Sedangkan beberapa foto lainnya sudah dilepas dan simpan entah dimana, oleh sang Mama.
"Aku akan membalas setiap kesakitan yang kamu alami, Alesya. Kalau aku tidak menikahi Rinjani, selain aku tidak bisa mendapatkan tahta juga warisan, aku juga tak mampu menguak tragedi kecelakaan itu."
Setelah puas bicara pada gambar Alesya, Bastian berdiri lalu berjalan ke arah jendela kamar yang menghubungkan balkon. Semilir angin malam langsung menyapa, kala tubuh tinggi tegap itu keluar dan melihat suasan malam.
Bintang berkelip saat sinar bulan menerangi. Langit tampak bersih tanpa mendung. Bastian memejamkan mata sambil berpengangan pada tralis pagar.
"Semua kenangan kita masih indah terasa. Aku tak akan mampu melupakan semua hal yang pernah kita lalui, Alesya. Jika saja aku tahu, malam itu kita melakukannya untuk yang terakhir, aku tak akan pernah membiarkanmu pergi dari sisiku."
"Terkurung di kamar selamanya akan terasa indah, daripada aku harus kehilanganmu untuk selamanya. Belum tentu aku mendapatkan semua rasa yang sudah aku rasakan, meski Rinjani menjadi milikku bahkan mencitaku dengan segenap jiawanya," ucap Bastian lirih.
"Aku harap, kamu jangan bersedih dengan apa yang akan aku lakukan di sini. Bahagialah meski kita sudah berpisah, aku yakin kamu bahagia di sana, karena Allah memilihmu untuk mendapinginya."
Hampir tiga puluh menit, Bastian di luar, berbicara sendiri, menikmati waktu yang kian beranjak. Akhirnya dia memutuskan masuk untuk istirahat. Besok dia akan disibukkan dengan banyak hal. Urusan pernikahan dan pekerjaan kantor pasti akan kejar-kejaran minta diperhatikan.
"Aku berharap kita bertemu di dalam mimpi, Alesya ...!"
*
Siang harinya Bastian menjemput Rinjani untuk melakukan kontrol kesehatannya pasca kecelakaan, lalu lanjut ke toko perhiasan untuk memilih cincin pernikahan. Tidak mungkin Bastian memberikan cincin yang dipilih Alesya bukan?
Dari hasil pemeriksaan, Rinjani sudah dinyatakan sehat dan pulih untuk kesehatan luar. Jika untuk psikis, Rinjani masih merasa trauma. Jika ada hal tak terduga, Bastian disarankan untuk membawa Rinjani ke spikolog.
Sebagai calon suami, tentu Bastian akan memperhatikan kesehatan calon istrinya. Namun saat akan direkomendasikan dokter, Rinjani menolak dengan alasan dia masih bisa mengatasi semuanya sendiri tanpa harus ke spikolog.
Bastian mengikuti kemauan sahabatnya itu agar tak ada perdebatan panjang yang akhirnya hanya membuang waktu. Perjalanan mereka berlanjut ke sebuah mall di Jakarta. Mereka menuju toko perhiasan yang memang sudah menjadi langganan keduanya.
"Kamu pilih saja sesuai keinginan kamu," ucap Bastian berbisik lirih ke arah Rinjani.
Wanita itu mengangkat pandangannya hingga tatapan keduanya bertemu. Agar jantungnya tak semakin kacau, Rinjani memutus kontak mata itu kemudian berkeliling mencari cincin pernikahan yang sesui.
"Bisa saya bantu, Nona?" tanya pelayan toko perhiasan itu.
"Saya mencari cincin untuk pernikahan yang pas untuk saya, Mbak!" Rinjani menjawab dengan ramah.
"Kalau begitu silakan ke arah sini!" Pelayan toko mempersilakan Rinjani agar mengikuti langkahnya.
Bastian pun mengekor di belakang, ikut meneliti satu per satu cincin yang dikeluarkan pelayan. Mata Rinjani terpaku pada cincin dengan satu batu permata warna putih. Simple dan terlihat elegan.
Wajah cantik itu tersenyum menatap cincin yang dia pegang. Mencoba memasangkan ke jari manisnya. Dan dia memantaskan diri dengan cincin yang dia pilih. Tanpa di sadari, Bastian tersenyum tipis merasa senang melihat reaksi wanita yang dulu dia campakan perasaannya.
"Aku pilih ini saja," ucap Rinjani menunjukkan cincin itu ke arah Bastian.
"Kamu enggak mau milih yang lain? Jangan sampai kamu nyesel saat kita sudah jadi nikah loh?" tanya Bastian menatap lekat ke wajah ayu di depannya.
"Enggak bakal nyesel, aku pilih ini saja," jawab Rinjani mantab.
"Oke." Bastian menyetujui pilihan Rinjani. Sebelum melakukan p********n, lelaki tampan itu mengekuarkan kotak cincin yang dipilih Alesya.
"Mbak, saya mau tuker cincin ini dengan cincin yang itu," ucap Bastian.
"Baik, Tuan. Silakan tunggu sebentar!" Pelayan mulai memproses p********n untuk cincin Rinjani.
Sedangkan Rinjani kembali bersedih karena mengingat Alesya.