Selepas Bastian pergi, Rinjani mulai membongkar kopernya. Entah mau berapa lama di sini, yang jelas, wanita bermata sipit itu hanya membuat semua barangnya rapi dan tidak mengganggu Bastian.
"Rapi. Semuanya mirip karakter Bastian yang dingin juga semanya." Rinjani bergumam sendiri, sambil membuka pintu lemari.
Wanita itu mulai menaruh semua barang pribadinya di tempat yang sengaja sudah dikosongkan Bastian. Tak butuh waktu lama untuk dia beberes, karena bajunya hanya beberapa saja.
Semua barangnya akan dikirimkan ke apartemen Bastian setelah dia mulai menempatinya nanti. Mungkin untuk satu minggu ke depan, dia akan tinggal di rumah mertuanya.
Menunggu suaminya kembali ke kamar, membuat Rinjani merasa bosan. Wanita cantik itu memilih merebahkan tubuhnya di kasur. Karena dia juga merasa lelah juga kurang istirahat. Apalagi, dia baru pulih dari cidera pasca kecelakaan.
"Semoga dia tidak marah, saat mendapati aku tertidur nanti," monolog Rinjani.
Benar saja, tidak mencapai lima menit, setelah dia merebahkan tubuhnya, dengkuran halus terdengar merdu karena Rinjani sudah tertidur pulas.
*
Sedangkan di ruang kerja David. Dua lelaki beda usia sedang berbincang dengan dua cangkir sebagai temannya.
"Kamu sudah mendapatkan apa yang kau impikan selama ini, Bas. Jangan sampai membuat ulah dan mengecewakan kami semua. Terutama, Kakek dan istrimu," ucap David menatap lekat ke arah putranya.
"Iya, Pa. Aku mengerti. Kenapa Papa seolah tak percaya denganku?" Bastian menjawab dengan pertanyaan kepada Papanya.
"Bukan tidak percaya, Bas! Hanya saja, Papa ragu kamu bisa menerima Rinjani dengan cepat," jawab David.
Bastian mengangguk, dia meraih cangkir kopinya, lalu menyesapnya dengan pelan. Rasa hangat mulai menyapa kerongkongannya.
"Aku tidak akan tega melakukan hal keji kepada Rinjani. Terlebih, kami sudah bersahabat sejak kecil, Pa!"
"Bagus itu." David membuka laci yang berada tepat di samping kanannya.
Mengeluarkan amplop warna cokelat kemudian diberikan kepada Bastian.
"Biasanya pengantin baru itu membutuhkan refreshing. Maka, aku hanya bisa memberikan hadiah itu kepadamu," ucap David.
"Apa ini, Pa?" tanya Bastian sambil membuka amplopnya. "Liburan ke Bali!" Sambung Bastian setelah mengetahui isi amplop itu.
"Aku ingin memberikanmu tiket ke luar negeri, tetapi, aku memilih Bali. Siapa tahu di pulau dewata nanti, rasa cintamu akan tumbuh dan bersemi untuk Rinjani."
David menjelaskan tiket liburan yang diberikan untuk hadiah.
"Terima kasih kadonya, Pa. Mau ke luar atau dalam negeri liburan akan terasa indah kalau kita nikmati dengan orang terkasih," ucap Bastian.
"Tidak boleh ditunda. Lebih cepat lebih baik, agar Papa secepatnya mendapatkan momongan."
Bastian tidak menjawab, lelaki tampan itu hanya tersenyum tipis, disertai anggukan pelan.
"Sekali lagi terima kasih, Pa. Aku akan menjaga amanah Kakek sekuat tenagaku. Mengenai hubunganku dengan Rinjani, berikan doa terbaik untuk kami," pamit Bastian.
"Tentu saja Papa akan mendoakan yang terbaik untukmu juga istrimu," ucap David dengan senyum cerah.
'Itu pun kalau Rinjani tidak terbukti bersalah dalam kecelakaan yang menewaskan Alesya,' monolog Bastian sambil berjalan ke luar dari ruang kerja Papanya.
Langkah Bastian sampai di kamarnya, dia buka pintu secara perlahan, melihat Rinjani meringkuk tertidur pulas. Tanpa sadar, lelaki tampan itu mendekat dan berjongkok memandang wajah polos tanpa make up yang kini, tepat berada di depannya.
Cukup lama, Bastian melakukan itu. Dia tidak bosan menatap wajah Jani, yang anehnya, selama mereka bersahabat tidak pernah ia perhatikan.
'Cantik! Kenapa lama-lama aku malah tertarik dengan kepolosan wajah juga sikapnya?' tanya Bastian dalam hati.
Bastian tidak mau larut dalam perasaan yang menurutnya semakin aneh. Lelaki itu mulai merebahkan tubuhnya di sofa. Tatapannya menerawang ke langit-langit kamarnya. Tak pernah dia bayangkan pendamping hidupnya adalah wanita yang dulu ia tolak cintanya.
Seseorang yang tak dia harapkan, nyatanya mampu menyelamatkan dirinya dari kebimbangan mendapatkan haknya. Menit berlalu, Bastian juga tertidur di sofa. Sedangkan Rinjani mulai terbangun.
Saat mencoba duduk, tatapan wanita cantik langsung tertuju pada sofa.
"Kenapa dia malah tidur di situ?" tanya Rinjani.
Rinjani melangkah mendekat ke arah suaminya, hal yang sama dilakukan Rinjani. Senyum tipis terukir di bibirnya, kala dia bisa memandang puas wajah tampan Bastian tanpa takut dosa.
'Aku tidak tahu kapan waktu itu tiba, saat kamu benar-benar menempatkan aku di hatimu yang terdalam. Hingga tak ada kesempatan satu nama wanita pun berani singgah di sana,' monolog Rinjani dalam hati.
Rinjani memilih ke kamar mandi untuk mencuci muka, agar terlihat segar tidak seperti orang yang bagun tidur. Setelah itu, dia memilih turun, mungkin membuat minuman dingin akan menyegarkan tenggorokannya.
Langkahnya terhenti di dapur, suasana rumah yang lebih sunyi dari pagi tadi. Mungkin karena sedang istirahat membuat keadaan rumah sepi. Rinjani membuka kulkas, mengambil jus jeruk dalam kemasan besar, lalu ia tuang ke dalam gelas.
Rinjani memilih duduk di meja makan. Mengamati rumah yang sebenarnya tidak asing untuknya. Karena sejak kecil, dia sering datang ke rumah ini. Rumah yang sudah beberapa kali melakukan renovasi.
Namun semua kenangan antara dirinya dan Bastian sudah melekat dalam setiap sudut ruangan. Canda tawa bahkan tangisnya masih dia ingat dengan jelas, kalau Bastian mulai usil kepadanya.
"Kenapa kamu bengong di sini?" tanya Fira mengangetkan Rinjani yang sedang mengingat kenangan masa kecilnya.
Wanita yang menggulung rambutnya asal itu menoleh dengan wajah tegang. Namun, setelah mengetahui siapa yang datang, senyum mulai mengembang di bibir Rinjani.
"Mama ...!"
Fira duduk di kursi depan menantunya, wanita paruh baya yang terlihat modis dan cantik itu kembali bersuara. "Kenapa belum dijawab pertanyaan Mama?"
"Aku bangun tidur, Ma. Karena haus, aku duduk di sini. Mama mau aku buatkan minuman?" tanya Rinjani setelah menjawab pertanyaan Mamanya.
"Enggak usah, Mama hari ini enggak ada acara, makanya sedikit bosan," jawab Fira dengan tatapan ceria ke arah menantunya.
Untuk sejenak, keduanya diam, tak ada yang memulai bicara. Rinjani pun bingung ingin memulai pertanyaan dari mana. Hingga Fira akhirnya kembali bersuara.
"Apa Bastian sudah memberitahumu mengenai liburan hadiah dari Papa?"
Rinjani menggeleng, karena dia belum sempat bicara dengan suaminya.
"Belum, Ma. Soalnya, pas aku bangun, Bastian malah tertidur," jawab Rinjani.
"Nanti kalau suamimu sudah bangun tanyakan!" titah Fira.
"Iya, Ma!" Rinjani menjawab singkat.
*
Malam harinya, setelah makan malam, Bastian mengatakan ke semua anggota keluarga, kalau dia akan melanjutkan bulan madu ke Bali sesuai dengan tiket yang dihadiahkan oleh Papanya.
"Aku akan membawa Jani jalan-jalan ke Bali besok, Pa, Ma!" Bastian membuka obrolan.
"Jam berapa kalian berangkat?" tanya Usman Prayoga.
"Sorean, Kek. Soalnya aku akan membawa Jani pulang dulu untuk mempersiapakan semua barangnya, sekalian pamit kepada orang tuanya," jawab Bastian.
"Baiklah. Selamat berlibur Rinjani, semoga bulan depan kami mendengar berita bahagia," ucap Usman.
Rinjani hanya mengangguk lemah dengan senyum tipis, yang hampir tak terlihat. Wanita itu ikut obrolan yang sebenarnya membuat dia bosan. Hingga Bastian izin ke kamar, dia baru bisa bebas dari obrolan para orang tua yang membosankan.
*
"Kamu mau bawa berapa banyak pakaian?" tanya Rinjani menatap suaminya.
"Jangan terlalu banyak, karena kita hanya tiga hari di Bali," jawab Bastian.
Rinjani mengangguk, kemudian mengambil koper untuk menyimpan barang-barang Bastian. Rinjani yang asik dengan tumpukan baju, tak menyadari jika, suaminya mulai memperhatikan bahkan mencuri pandang.
"Kita besok setelah sarapan ke rumah orang tuamu sekalian pamit," ucap Bastian mencoba menghilangkan kegugupannya.
"Iya. Karena bajuku masih di rumah Mama, sebagian juga ada di apartemen," jawab Rinjani.
"Kita akan sekalian pamit, kalau setelah pulang dari Bali, kita akan menempati apartemenku," ucap Bastian.
"Baiklah, aku akan selalu ikut, kemanapun kamu pergi, Bas!" Rinjani menjawab dengan tatapan penuh cinta.
"Memang seharusnya begitu!" Bastian menanggapi ucapan istrinya dengan nada datar.
Bastian merasa ucapannya menyinggung Rinjani, lelaki tampan itu akhirnya menaruh ponselnya kemudian mendekat ke arah sang istri. Namun, Rinjani sudah terlanjur masuk ke kamar mandi.
"Belum saatnya kamu melakukan hal semena-semena pada istrimu, Bas," gumam Bastian sambil meraup wajahnya.
Setelah menunggu beberapa menit, Rinjani keluar, Bastian mulai memeluk istrinya dari belakang.
"Bastian ...?"
"Emmm ....!" Lelaki tampan itu hanya bergumam sambil menopangkan dagunya pada pundak Rinjani.
"Aku mau ambilkan baju ganti untukmu," ucap Rinjani dengan menahan gugup bahkan jantungnya berdetak kencang.
"Apa kamu tidak rindu kita melakukannya lagi?" tanya Bastian menatap dalam dalam ke dua mata Rinjani.
"Kamu menginginkannya?" tanya Rinjani menatap malu ke arah Bastian.
Tanpa menunggu lama, Bastian mulai mencium bibir sang istri. Lenguhan Rinjani memanggil nama suaminya membuat satu nada yang indah untuk di dengar. Bahkan membuat lelaki tampan itu mulai bersemangat untuk melakukan hubungan yang lebih intim.
Rinjani merasa bahagia karena suaminya terus meminta lebih padanya. Tanpa tahu, bahwa Bastian hanya memanfaatkannya saja.