Alexandra Morran

4172 Kata
Seattle, Washington DC. Pada pukul dua dini hari, petugas polisi yang mendapatkan tugas jaga malam dibuat heboh karena salah satu dari mereka menerima laporan dari seorang anonim bahwa baru saja terjadi kecelakaan tunggal di terowongan Metro. Pelapor mengatakan bahwa mobil berjalan dengan kecepatan tinggi dan kehilangan keseimbangan ketika hampir mencapai mulut terowongan. Petugas yang mendapat giliran jaga malam itu adalah Noel Simons dan rekannya, Smith Carter. Pelapor anonim tersebut mengatakan bahwa mungkin pengemudi membutuhkan bantuan secepatnya karena ia melihat bagian depan mobil mulai terbakar. Namun ketika ditanyai mengenai identitas, panggilan telpon tersebut justru diputus tiba-tiba. Untuk memastikannya sendiri, Noel dan Smith pun segera berlari menuju mobil patroli yang terparkir di halaman depan kantor polisi. Noel menyuruh rekannya menghubungi ambulans untuk berjaga-jaga jika yang dikatakan pelapor tadi adalah sesuatu yang serius. Bukan bermaksud meremehkan, tapi akhir-akhir ini kepolisian kota Seattle sering mendapatkan telpon iseng dari nomor yang tidak jelas ataupun laporan palsu yang menyusahkan petugas. Namun tidak ada salahnya berjaga-jaga, bukan? Noel Simons adalah seorang detektif khusus di bawah institusi kepolisian kota Seattle sejak tiga tahun yang lalu. Ia bergabung dan dipasangkan dengan Smith dalam divisi kejahatan berat. Setelah menempuh perjalanan 30 menit, mereka akhirnya sampai di lokasi kejadian. Bahkan dari jarak lima meter pun, kedua polisi itu sudah bisa melihat betapa parahnya kerusakan yang dialami akibat kecelakaan tersebut. Noel langsung menepi dan melesat turun dengan cepat. Ia kemudian memberi perintah agar Smith segera mengeluarkan alat pemadam api ringan di bagasi mobil untuk bisa memadamkan api pada bagian depan mobil sementara Noel memastikan keadaan sang pengemudi. Smith buru-buru menyemprotkan alat pemadam api dalam cengkramannya ke bagian depan mobil, meminimalisir ledakan yang mungkin akan terjadi di sana. Setelah busa-busa berwarna putih itu berhasil memadamkan api yang memang belum merambat ke area sentral mobil, Smith langsung menghampiri Noel. Noel tampak mengalami kesulitan saat berusaha menyelamatkan pengemudi yang terjebak di dalam mobil karena pintunya macet. "Pintunya tidak bisa dibuka dari luar," katanya sembari terus berusaha menarik pintu. Smith sadar bahwa ia masih memegang alat pemadam api di tangannya. "Bagaimana dengan ini?" katanya, mengangkat benda berwarna merah itu ke udara. Menunjukkannya pada Noel. "Tidak ada salahnya mencoba, bukan?" Noel mengangguk dan mundur beberapa langkah dari posisinya sebelum Smith akhirnya memukul jendela mobil dengan benda berat tersebut. Kacanya langsung pecah, beruntung tidak mengenai pengemudi di dalamnya. "Berhasil." Detektif berusia 29 tahun itu kemudian mengambil alih dan segera membuka pintu dari dalam melalui jendela yang berhasil dipecahkan oleh Smith tadi. Noel mendapati pengemudi yang berjenis kelamin pria tersebut dalam keadaan tidak sadar. Kepalanya menempel pada setir sedangkan wajahnya menghadap ke pintu. Dari pelipis kiri pria itu, darah mengalir dan jatuh menggenang di bawah kakinya. "Apa dia tewas?" tanya Smith tak yakin. "Mari kita periksa." Noel menarik keluar sarung tangan lateks dari saku jaket kulitnya yang berwarna cokelat dan mengenakannya untuk memeriksa nadi di leher pria itu. "Denyut nadi tidak terdeteksi," tukasnya memberi tahu. Detektif bertubuh atletis itupun mencondongkan tubuhnya ke arah wajah untuk kemudian memastikan embusan napas dari hidung sang pengemudi. "Bagaimana?" tanya Smith penasaran. Noel pun mundur dari posisinya dan berbalik. Ia menggeleng ketika matanya bertemu dengan milik Smith. "Dia sudah tidak bernafas," katanya seraya melepas sarung tangan lateks dan menyimpannya kembali ke dalam saku jaket. "Suhu tubuhnya relatif normal, tampaknya dia tewas beberapa menit sebelum kita sampai. Kekakuan pada ekstremitas tubuhnya juga menunjukkan tanda yang sama." Smith melempar alat pemadam api ringan di tangannya ke sembarang arah dan menghela napas panjang. "Sial, kita terlambat. Sekarang bagaimana?" Noel mengedarkan pandangannya ke sekitar dan tidak dapat menemukan apa-apa selain gelap dan lolongan anjing dari kejauhan. "Kau hubungi petugas forensik lapangan dan aku akan memeriksa keadaan sekitar sambil menunggu ambulans datang. Kau sudah menghubungi mereka, bukan?" Smith mengangguk dan berkata, "Mereka akan segera sampai." "Baiklah." Sementara Smith menghubungi rekan polisi yang lain dan tim forensik, Noel sibuk mengamati posisi pengemudi yang ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Mata cokelatnya yang segelap pohon ek di musim gugur pun kini beralih pada jalanan di bawah Toyota Camry putih tersebut, menelisiknya lamat-lamat sebelum menarik kesimpulan. "Noel, aku sudah menghubungi mereka," ucap Smith memberi tahu. Ia lantas berjalan menghampiri rekannya tersebut dan ikut bergabung melihat mayat di dalam mobil bersama Noel. "Kondisi pengemudinya sungguh mengenaskan." Noel menarik pandangannya dari ban-ban dengan velg mobil bergaya modern tersebut ke arah Smith. "Lihatlah! Kedua kaki hingga perutnya terjepit di dalam sana." Smith bergidik ngeri. "Dia pasti sangat menderita pada detik-detik terakhir kematiannya." Noel menggumam setuju dan melipat kedua tangannya di dada. "Bagaimana saksi pergi begitu saja saat melihat kecelakaan alih-alih memberinya pertolongan darurat?" "Pelapor anonim itu memang mencurigakan," imbuh Smith. "Dia menutup telponnya ketika kita bertanya mengenai identitasnya." Noel setuju dengan perkataan Smith barusan dan mengangguk. "Bisakah kau dapatkan identitas pelapor itu untukku? Kita harus memeriksanya lebih dahulu." "Baik, Detektif," ujar Smith mantap. "Omong-omong kau tahu siapa dia, bukan?" "Siapa memangnya?" tanyanya acuh. "Astaga!" Smith menepuk dahinya pelan. "Aku lupa kau baru saja pindah ke Seattle akhir pekan kemarin. Pantas saja kau tidak langsung mengenali wajah pria itu." Iris mata Noel yang cokelat kemudian berpendar ke sekeliling. Tampak kembali mencari sesuatu. "Aku tidak peduli siapa dia sekarang, tapi bagaimana dengan ambulans dan tim forensik lapangan? Kenapa mereka belum juga sampai?" Smith menggumam pendek dan ikut melihat ke sekeliling. Jalanan di sekitar terowongan cukup sepi. Bahkan sejak mereka tiba di sana, tidak ada satupun kendaraan yang melintas. "Jarak rumah sakit ke terowongan tidak terlalu jauh. Kurasa mereka akan segera datang." Pria dengan tinggi 176cm itu lalu berjalan mengelilingi mobil korban dan mulai memotret beberapa bagian mobil sebagai barang bukti. "Omong-omong, pria ini adalah Louis Harrison. Salah satu orang paling berpengaruh di kota ini." Alih-alih mendengarkan ocehan Smith dengan fokus, Noel justru memilih berjalan ke depan untuk memeriksa bagian mesin mobil. Dari celah-celah kap mobil yang sudah penyok, ia masih bisa menemukan sedikit sisa asap yang keluar dari bagian mesinnya. "Begitukah?" "Ya...," Smith berjalan ke sisi samping mobil dan mengabadikan bagian tersebut dengan kameranya. "Sebagai seorang CEO dan pewaris utama New Diamond Group, dia sangat terkenal dengan citra baiknya di sini. Aku yakin berita kecelakaan ini pastilah akan menjadi trending nomor satu di situs pencarian internet." Noel menganggukkan kepalanya dan menatap Smith sekarang. "Berita tentang pria ini mungkin akan menjadi headline seluruh media karena ini bukan kecelakaan." Dahi Smith pun berkerut dalam. "Apa maksudmu?" "Menurutmu apa, Smith?" Noel menunjuk pria tersebut dari tempatnya berdiri sekarang dengan pandangan serius. "Pria itu ... baru saja dibunuh seseorang." [] Terowongan Metro, Kota Seattle. Tempat Kejadian Perkara. Detektif dengan brewok tipis yang memenuhi seluruh dagunya itu kembali memerhatikan seluruh bagian mesin di depan matanya. Sisa kepulan asap akibat api yang membakar pun masih terlihat di sana. Dilihatnya dengan saksama komponen mesin dari mobil terlaris di Amerika pada tahun 1997-2000an tersebut. "Percikan api tampaknya bukan berasal dari benturan yang keras," kata Noel. "Melihat dari bagian depan yang penyok, bukankah mobil ini seperti digilas truk besar alih-alih menabrak pembatas jalan di dalam terowongan?" Smith yang baru saja selesai mengambil beberapa gambar dengan kamera ponsel langsung menghampiri rekannya itu dan ikut memerhatikan situasi pada mesin di hadapannya. "Menurutmu apa yang terjadi?" "Kondisi rem putus, tapi apinya tidak berasal dari sini." Noel menyentuh pinggiran mobil dan mengendus aromanya. "Ada sisa bensin di bagian luar mobil, tapi kenapa bensin itu tidak jatuh ke jalan?" Benar juga, Smith membatin. Selama ia memotret bagian mobil lainnya sebagai barang bukti, pria yang usianya satu tahun di bawah Noel itu tidak menemukan kerusakan lain selain di bagian depan mobil. Ia lalu meneringai antusias dan mengangkat kameranya ke udara dengan penuh semangat. "Aku akan memotret yang ini," ucapnya berinisiatif. Smith langsung mengeluarkan ponselnya dan kembali memotret sisa-sisa bensin di pinggiran mobil juga kondisi ban maupun jalanan di sekitar Toyota Camry putih tersebut. Noel kemudian mengecek jam tangan di lengan kirinya. "Sudah tiga puluh menit sejak panggilan misterius itu. Penelpon itu pasti tahu sesuatu." "Tapi bukankah terlalu cepat untuk menyimpulkannya sebagai sebuah kasus pembunuhan sekarang, Detektif?" Smith menggaruk tengkuk lehernya dengan canggung. "Dia sedikit ... terkenal. Maksudku, benar-benar terkenal di kota ini," jelasnya dengan suara yang gugup, khawatir Noel akan marah padanya. "Jika dia memang sehebat itu, berasumsi sekarang mungkin bukanlah pilihan yang tepat." Smith bisa bernapas lega karena ternyata Noel bukanlah seorang rekan yang mudah tersinggung. Ia kemudian tersenyum bangga dan menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. "Itulah yang ingin kukatakan padamu, Detektif." Noel memasukkan kedua tangannya ke saku celana sambil melihat Smith. "Omong-omong, apa orang ini sangat kaya? Biasanya, kekayaan selalu mengikuti ketenaran seseorang, bukan?" "Sebagai seorang CEO dan pewaris tunggal perusahaan berlian, bagaimana dia bisa disebut miskin?" Smith mendecak. "Astaga, dia benar-benar kaya dan punya segalanya. Aku bahkan iri padanya." "Jika dia memiliki bisnis yang besar, dia juga pasti memiliki musuh yang lebih besar. Ini sepertinya karena uang," tandas Noel. Ia pun mengedikkan bahu dan menutup kembali kap mobil dengan menggunakan sarung tangan lateksnya. "Jangan rilis kasus ini ke media, kita harus dapatkan hasil autopsinya terlebih dahulu. Jadi, pastikan kau mendapatkan keduanya. Identitas pelapor dan hasil forensik pria ini." Smith mengangguk patuh. "Baik, Detektif. Aku akan segera menghubungi keluarga korban." Selang beberapa menit, sebuah ambulans datang dan beberapa tim medis segera turun untuk mengevakuasi jasad korban. Dibantu oleh dua petugas polisi yang juga sampai beberapa menit setelahnya, korban yang diduga bernama Louis Harrison itu pun dipindahkan ke kantung jenazah yang telah disiapkan untuk selanjutnya dilakukan proses autopsi demi kepentingan penyelidikan. Begitu selesai, garis polisi pun dipasang untuk melindungi lokasi kejadian. Barangkali kasus ini memang sebuah kasus pembunuhan dan pelakunya bisa saja meninggalkan barang bukti di sekitar sana. Mengetahui Noellah yang memimpin jalannya evakuasi, seorang dokter dari tim medis lapangan segera menghampirinya sesaat setelah jasad berhasil dinaikkan ke ambulans. Ia adalah Dr. William, setidaknya begitulah yang tertulis di papan nama pada bajunya. Seorang pria bertubuh kurus dengan kumis hitam tipis di atas bibirnya yang keabuan. Dari garis kerutan di wajahnya, Dr. William mungkin sudah menginjak usia 40an akhir. "Apakah kau seorang detektif yang memimpin kasus ini?" tanyanya sopan yang kemudian dibalas anggukan mengiyakan dari Noel. "Aku William." "Noel." Noel dan sang dokter berjabat tangan sebelum kembali berbincang. "Jadi bagaimana, Dok? Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan kepadaku?" "Melihat dari suhu tubuh, perubahan warna kulit hingga kekakuan tubuh korban, kami menduga ia tewas sekitar tiga puluh menit yang lalu." Mata hitam William menatap pintu ambulans yang baru saja ditutup. "Tapi, ada sesuatu yang janggal di sini." Kedua alis Noel pun berkerut. "Ada apa, Dok?" Pria dengan jas kedokterannya itu menoleh ke arah Noel. "Jika kami tidak salah melihat, korban memiliki luka di bagian kepala dan beberapa lebam di wajahnya." Dokter dengan garis-garis kerutan tipis di wajahnya itu lalu menggumam sebelum melanjutkan, "Tapi luka pada bagian kepala korban yang terlihat dari luar, tidak berada pada posisi yang seharusnya. Dia ... tampak dipukuli sebelum tewas. Itu baru dugaan, kita tetap harus menunggu hasil autopsinya keluar." Noel menarik napas dan mengangguk paham. "Akan kupastikan kami mendapatkan izin autopsi dari pihak keluarganya sesegera mungkin," katanya lugas. "Jika hasil autopsi sudah keluar, segera kabari kami." "Tentu." Dokter tersebut hendak pergi meninggalkan TKP sebelum akhirnya Noel berlari menahannya. "Tunggu, Dok!" "Ya, Detektif?" "Berjanjilah untuk tidak merilis hasil autopsinya kepada pers sebelum kau memberikannya padaku." Mata mereka bertemu dan pandangan penuh arti itu pun langsung dipahami oleh sang dokter yang langsung mengangguk cepat. "Terima kasih, Dok." Dan dokter itu pun pergi membawa jasad korban bersama tim medis lainnya dengan ambulans. Sementara dua petugas polisi tadi, bersiaga di sekitar mobil korban dan mengamankan lokasi kejadian. Semua berjalan normal untuk beberapa saat, sampai Smith--yang entah datang darimana--tiba-tiba muncul dengan wajah panik. "Noel!" Suaranya terengah-engah sedang wajahnya pucat dan tampak kelelahan. Karena terlalu panik, ia bahkan memanggil nama rekannya itu dengan tidak formal. "Ada kabar buruk!" "Ada apa lagi sekarang?" tanya Noel ingin tahu. "Maaf, sebentar." Smith berusaha menstabilkan napasnya yang sesak terlebih dahulu sebelum akhirnya kembali melanjutkan, "Berita kecelakaan ini tiba-tiba tersebar di internet, Detektif!" Smith langsung mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menunjukkan artikel berita di internet yang terpampang di layar ponsel miliknya kepada Noel. "Apa?!" Kedua iris cokelat Noel membulat tak percaya saat artikel tentang kecelakaan tersebut benar-benar ramai di linimasa. Kehebohan baru saja terjadi di dunia maya. "Bagaimana bisa? Kita bahkan baru saja datang ke TKP." "Aku tidak tahu." Noel lantas memicing curiga pada rekannya itu dan menyilang kedua tangannya di dada. "Hanya ada aku dan kau di sini. Kau tidak mengkhianatiku dengan mengirimkan gambar-gambar yang kau potret tadi pada media, bukan?" Smith tertegun. Ia mendengus pendek dan ikut melipat kedua tangannya di dada. "Kau mencurigaiku sekarang? Sayangnya, aku benar-benar tidak melakukannya, Rekan." Ia menekan kata 'rekan' sebagai bentuk sindiran untuk Noel yang tidak memercayainya. Namun sepertinya rekannya itu benar-benar tidak peduli. Noel justru menghela napas panjang dan menatap Smith lurus-lurus. "Seseorang pasti telah merencanakan semuanya." [] First Step Hospital, Seattle. Berita kematian Louis Harrison yang menyebar melalui laman sosial media menjadi topik yang paling dibicarakan di kota Seattle saat ini. Para wartawan berbondong-bondong mendatangi TKP untuk meraih gambar ekslusif yang tidak lain bertujuan untuk meraup pundi-pundi uang dari momen besar ini. Bahkan beberapa media pun rela datang ke lokasi sejak pukul enam pagi dan berdesakan dengan yang reporter lain hanya untuk menyiarkan beritanya secara langsung. Keributan inilah yang kemudian mendasari Noel sebagai detektif yang memimpin jalannya penyelidikan untuk menambah personil lapangan demi mengamankan barang bukti (mobil korban) yang baru akan dipindahkan satu jam ke depan. Sementara dirinya dan rekannya, Smith, berfokus pada kelanjutan proses autopsi yang sebelumnya sudah disetujui oleh kedua orang tua korban. Pagi itu pukul enam, Noel telah bersiap dengan mengenakan kemeja dan jas serba hitam bersama Smith yang menggunakan pakaian berwarna senada. Noel dan Smith segera menemui ketua tim forensik yang diminta secara khusus oleh keluarga Harrison untuk menangani autopsi tubuh Louis dalam kasus kecelakaan yang menimpanya tadi malam. Mereka bilang, kedua orang tua Louis memilih tim forensik terbaik dan termahal yang dimiliki kota Seattle untuk melakukan hal besar tersebut. Setelah menunggu sekitar lima belas menit, seorang pria bertubuh kurus dengan kumis tipis dan jas kedokterannya keluar dari ruang autopsi bersama seorang perawat wanita. Wajahnya yang tak asing, membuat Noel  menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Dr. William?" Noel menghampirinya dan menyapanya dengan sopan. "Apakah kau ketua tim yang menangani kasus ini?" William memberi kode agar sang perawat meninggalkan mereka dan setelah wanita itu pergi, barulah dokter bertubuh tinggi itu membalas senyuman Noel tadi. "Senang bertemu denganmu lagi, Detektif," katanya ramah. "Omong-omong, ini rekanku Smith." William dan Smith saling berjabat tangan dengan ramah. "Jadi, kaulah dokter terbaik di kota Seattle ini, Dokter?" William tersenyum sekali lagi. "Apa kau ingin mendengar hasil autopsinya dariku?" Noel melihat Smith sebelum kembali pada William dan mengangguk. "Apakah ada sesuatu?" "Louis mengalami overdosis obat dan pendarahan pada bagian kepalanya," tutur William menjelaskan. "Kami menemukan kandungan obat tidur berdosis tinggi di dalam darah dan beberapa luka lebam di bagian pelipis, pipi dan rahang bawahnya." "Maaf menyela," ujar Smith. "Apakah mungkin luka lebam yang terdapat di wajahnya disebabkan oleh pukulan? Maksudku, saat kami menemukannya terjepit di dalam mobil, ia memiliki luka di bagian wajah yang tidak seharusnya." William kemudian mengangguk. "Dari bekas lukanya, sepertinya seseorang menggunakan benda tumpul untuk memukulinya." Smith mendesah kasar dan berujar, "Dia bahkan dianiaya sebelum dibunuh." Dokter yang diperkirakan berusia 40an akhir itu pun mengangguk setuju. "Aku bahkan hampir lupa dengan tulang paha dan kakinya yang patah karena terjepit benda berat." Ia lalu memijit pelipisnya jengah. "Aku tidak menyangka anak konglomerat sepertinya akan meninggal dalam keadaan yang sangat menyedihkan seperti ini. Aku bahkan tidak tahu caranya menyampaikan hasil autopsi ini kepada Tuan Harrison awalnya." Noel lalu mengembalikan laporan hasil autopsi tersebut kepada Dr. William. "Lalu bgaimana reaksi keluarga korban setelah mendengar ini semua, Dok?" Dokter bertubuh kurus itu melanjutkan, "Nyonya Harrison sangat terpukul dengan semua ini, ia menangis histeris dan nyaris pingsan." William menggeleng prihatin. "Tapi Tuan Harrison berkata bahwa dia akan kembali ke sini untuk menemuimu. Mungkin kalian akan segera bertemu. Omong-omong, apa ada lagi yang dapat kubantu untukmu, Detektif?" Noel menggeleng dan tersenyum sopan. "Kurasa sudah cukup, terima kasih atas waktumu, Dokter. Tapi, ada sesuatu yang ingin kutanyakan sebelum kau pergi." William menatap Noel ingin tahu. "Apakah semalam kau melihat ada wartawan yang mendengar pembicaraan kita?" tanya Noel berhati-hati. Ia berusaha melemparkan pertanyaan tanpa membuat sang dokter merasa tertuduh atau apapun itu. "Mereka--ya, mereka tiba-tiba berkumpul padahal berita ini belum dirilis." Pria dengan jas putihnya itu menepuk pelan bahu Noel dan menyunggingkan senyumnya. "Aku tidak memberi tahu siapapun seperti janjiku. Apakah kau percaya?" Membuat Noel menggaruk tengkuk lehernya canggung dan mengangguk sopan. "Maafkan aku. Sekali lagi, terima kasih." "Tentu. Aku akan pergi sekarang. Jika kalian perlu bantuan, datanglah ke ruanganku," katanya seraya mengakhiri pembicaraan mereka pagi itu dengan senyum lembut di bibirnya yang abu-abu. "Jika bukan dia, lalu apakah kecelakaan itu benar-benar direncanakan oleh seseorang?" tanya Smith. "Bahkan pelakunya ingin membuat kehebohan setelah membunuh korbannya. Sungguh keterlaluan." Selang beberapa menit setelahnya, seorang pria bertubuh tambun dengan jas hitam mewah dan dasi bermotif garis abu-abu datang menghampiri Noel dan Smith. Dia adalah Matthew Harrison, ayah dari seorang Louis Harrison yang menjadi satu-satunya korban dalam insiden kecelakaan tadi malam. Matthew tampak dijaga oleh dua bodyguard di belakangnya begitu mereka berhadapan. "Detektif Noel Simons?" "Apakah anda adalah Tuan Harrison?" Matthew mengangguk dan tersenyum kecil. "Senang bertemu dengan anda. Kami turut berduka cita atas kematian putramu, Tuan." Matthew mengangkat tangannya ke udara dan mengibaskanya sekali. Memberi instruksi agar kedua penjaganya itu segera pergi dan hanya menyisakan mereka bertiga di depan ruang autopsi. "Terima kasih atas perhatianmu, tapi maaf karena istriku belum bisa menemui kalian." Suaranya berat dan dalam. "Aku akan menggelar konferensi pers untuk meluruskan isu yang sudah beredar luas di internet terkait kematian putraku." "Lalu bagaimana dengan penyelidikan yang--" "Aku sudah membuat keputusan," sela Matthew tegas. Ia membaca ekspresi bingung di wajah Noel dan segera berkata, "Aku akan menutup kasus ini sebagai kasus kematian biasa karena kecelakaan, Detektif." "Apa?! Tapi, bagaimana bisa?" Noel meninggikan suaranya. "Putra anda jelas tewas karena penganiayaan dan pembunuhan berencana. Seseorang telah merencanakan insiden ini dan menyebarluaskan beritanya di internet. Lalu, hanya ini yang bisa anda lakukan?!" Matthew memperbaiki dasinya sebelum melihat Smith lalu ke Noel bergantian dengan sedih. "Kudengar Louis jelas mengonsumsi obat tidur dalam dosis yang tinggi. Bagaimana aku bisa tahu dia tidak mencoba membunuh dirinya sendiri alih-alih dibunuh oleh seseorang, Detektif?" Ia menghela napas berat sebelum menambahkan, "Anakku mungkin telah memikul beban yang berat selama ini. Dia telah menjadi seorang pemimpin di usia muda dan banyak kehilangan waktunya karena menuruti permintaanku. Jadi, mari kita akhiri saja kasus ini sebagai kasus kematian biasa karena kecelakaan sehingga aku bisa berhenti merasa bersalah." Noel mencebik. "Bagaimana anda bisa bereaksi sesantai ini sementara putra anda tewas tanpa keadilan di dalam sana?" Smith pun berbisik, "Noel, sudahlah." "Keputusanku sudah bulat, Detektif." Matthew memandang Noel lurus-lurus. "Terima kasih telah menemukan putraku dan membawanya ke sini. "Tapi, Tuan--" "Paman!" Suara seorang wanita tiba-tiba saja terdengar dari arah lain dan memecah suasana panas yang baru saja terjadi di antara para pria tersebut. Terlihat dua orang di ujung koridor sana, tengah berlari kecil menghampiri Matthew. Seorang wanita muda dengan gaun hitam selutut itu adalah Alexandra, sementara seorang pria bertubuh kurus yang tampak setia di sampingnya itu adalah Charlie, manajernya. "Alexandra?" [] First Step Hospital, Seattle. Alexandra Lee Moran, seorang model berusia 25 tahun yang juga kekasih Louis Harrison datang ke rumah sakit bersama sang manajer, Charlie. Ia menggunakan gaun hitam selutut dengan model A-line berlengan panjang dan fascinator hat kecil berhias jaring-jaring yang menutupi sisi kanan dahinya yang lebar. Sedangkan Charlie tampil formal dengan kemeja panjang keemasan yang mencolok seperti biasa. "Alexandra, kenapa kau datang kemari?" Matthew terperangah dengan kehadiran Alexandra yang tiba-tiba. Ia cemas jika wanita itu akan kembali terluka jika melihat Louis Harrison. "Apakah kau ... mendengar pembicaraan kami?" Alexandra lantas melihat Charlie. "Charlie, bisakah kau pergi membeli minuman untukku?" Yang justru terdengar seperti Charlie-bisakah-kau-pergi-sebentar-karena-ada-sesuatu-yang-ingin-kami-bicarakan-dan-kau-tidak-perlu-mendengarnya di telinga pria feminim itu. Mengerti dengan situasi dan posisinya yang memang tidak ada hubungannya dengan Louis, Charlie akhirnya hanya bisa mengangguk patuh dan melenggang pergi meninggalkan ruang autopsi. "Paman, apakah semua yang dikatakannya benar?" Matthew melihat Noel lalu ke Alexandra dengan canggung. Ia hanya merasa tidak enak jika harus berkata hal menyakitkan di depan wanita yang begitu dicintai oleh putranya sendiri. Kepergian Louis di hari pernikahan mereka pastilah sudah menjadi beban berat bagi Alexandra. Lalu bagaimana wanita itu akan menanggung luka lain jika dia tahu bahwa Louis telah dibunuh seseorang? "Aku sudah berdiri di persimpangan itu sejak tadi dan aku mendengar semuanya," sambung Alexandra emosional. Matanya memanas dan tangis tertahan di pelupuk matanya. "Apakah Louis tewas bukan karena kecelakaan melainkan dibunuh?" Pria berbadan gemuk itu kemudian memeluk Alexandra iba. Sembari mengusap lembut punggung calon menantunya itu, Matthew berkata, "Kau seharusnya tidak mendengar apapun hari ini." Tangis Alexandra pecah seketika. Air matanya tumpah membasahi jas mahal milik sang calon mertua untuk beberapa saat. Mungkin sekitar dua menit, sampai jeritan sedih dari Alexandra benar-benar mereda dan wanita itu melepaskan pelukan. Ia menyeka kedua pipinya yang basah dan mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan. Meski sesegukan, Alexandra masih mampu melanjutkan kata-katanya dan bersuara. "Siapa yang melakukan ini pada kekasihku?" Alexandra menatap kesal pada Noel dan Smith. "Tidakkah salah satu di antara kalian mengetahuinya? Kudengar seseorang melapor dan kalian berdua yang memeriksanya malam itu. Pelakunya masih ada di sana dan kalian sempat melihatnya, bukan?" Noel dan Smith hanya diam sembari memandangi Alexandra dengan tatapan penuh rasa bersalah. Bagaimanapun juga, jika saja kedua pria itu lekas bergegas dan datang lebih awal, mungkin nyawa Louis masih bisa terselamatkan atau setidaknya mereka dapat mengetahui siapa pelaku yang melakukan hal keji ini pada sang pewaris utama keluarga Harrison. Karena melihat kedua polisi itu tidak berkata apa-apa, Alexandra justru naik pitam dan menghampiri Noel. Ia mencengkram kedua kerah kemeja milik sang detektif dan menatapnya lurus-lurus. "Katakan sesuatu! Kenapa kalian hanya diam saja?!" Smith mencoba meluruskan kesalahpahaman ini dan menahan tangan Alexandra sebelum ia benar-benar membuat kemeja terbaik milik Noel robek karena tangannya. "Nona, tolong hentikan," ucapnya berusaha menghentikan Alexandra. Gadis itu menggila dan terus menarik kerah kemeja Noel hingga ia terombang-ambing tak tentu arah. "Kau tidak boleh membuat keributan di rumah sakit atau polisi akan menahanmu." Alexandra menoleh cepat kepada Smith. Ia melotot seperti orang kerasukan iblis dan melepaskan kedua tangannya dari pakaian Noel. "Polisi akan menahanku? Apakah itu pekerjaanmu selama ini?" Smith menggigit bibirnya, merasa bersalah karena telah memperkeruh keadaan dengan ucapannya barusan. Ia lantas menundukkan kepalanya sebentar sebelum memberanikan diri menatap wanita di hadapannya. "Kalian akan menangkap seorang wanita yang baru saja ditinggalkan kekasihnya alih-alih menangkap sang pelaku, begitu?" "Bukan begitu, maaf," tukas Smith menyesal. "Apa kalian tahu bagaimana perasaanku saat ini?" Alexandra mendengus pendek dan melepaskan fascinator hat dari kepalanya dan melemparnya ke sembarang arah. "Aku dan Louis seharusnya menjadi suami istri, besok adalah hari pernikahan kami. Aku sudah mempersiapkan semuanya dan kami seharusnya berbahagia Namun sekarang yang terjadi apa? Aku justru melihat kekasihnya tewas dalam kecelakaan yang sebenarnya adalah sebuah pembunuhan berencana. Menurutmu bagaimana aku tidak kesal dan sedih?!" Matthew menghela napas panjang ketika Alexandra kembali menangis. "Alexandra, mari kita biarkan Louis pergi meninggalkan dunia ini dengan tenang." Wanita itu menoleh. Menatap sang calon ayah mertua dengan heran. "Bagaimana ... kau bisa melakukannya, Paman?" Kemudian Noel menyela, "Kami akan menyelidiki kasus ini dan menangkap pelakunya untukmu, Tuan." dengan penuh percaya diri. Sehingga Alexandra menarik pandangannya kepada sang detektif. "Izinkan kami melakukannya, berikan kami satu kesempatan berharga itu dan kami akan melakukan yang terbaik." "Paman?" Lagi, Matthew hanya menghela napas panjang dan menatap Alexandra sedih. "Kolega bisnisku akan merasa terancam jika mereka tahu bahwa putraku tewas dibunuh oleh seseorang," ujarnya menjelaskan. "Orang-orang itu mungkin akan menghentikan investasi mereka dan menghentikan seluruh kerja sama yang telah kami sepakati karena ketakutan." Alexandra mendekati Matthew dan memegang tangannya lembut. Ia lalu memandang pria yang dicap sebagai orang terkaya di kota Seattle itu dengan penuh harap. "Berikan mereka satu kesempatan, Paman," katanya memohon. "Izinkan mereka berdua menebus kelalaian mereka dengan sesuatu. Setidaknya, itulah yang bisa kita lakukan untuk Louis di hari kematiannya." Matthew melihat Noel lalu ke Smith sebelum melepaskan tangannya dari Alexandra dan memasukkannya ke dalam saku celana. "Seberapa besar keyakinan kalian untuk dapat menangkap pelakunya?" Smith pun menjawab. "Noel adalah polisi berpredikat bagus dengan kemampuan baik yang diakui oleh kota New York. Aku yakin kami akan bisa segera memecahkan kasus ini jika kau memberi kami kesempatan." "Paman, akan kupastikan pelakunya tertangkap dan mendapatkan ganjaran yang setimpal," tukas Alexandra penuh tekad. "Aku akan mempertaruhkan hidupku demi menangkapnya." "Menangkapnya?" tanya Noel bingung. "Apa rencanamu?" Alexandra memutar kedua bola matanya malas dan menyilang kedua tangannya di dada. "Menurutmu apa? Aku jelas akan bergabung dalam penyelidikan ini untuk menangkap pelakunya." Noel mengerutkan kening dan menatap wanita di hadapannya tak percaya. Pun dengan Smith yang menganga di sebelahnya. "Kau--kau apa?" kata Noel terkejut. "Bagaimana kau akan menangkapnya dengan gaun pendek dan aksesori yang merepotkan itu, huh?" "Kau meremehkanku?" Sebelum suasana semakin memanas, Matthew pun menyela pembicaraan mereka. "Baik, akan kuizinkan." Yang sontak langsung membuat ketiga orang itu menoleh tak percaya. Alexandra tersenyum senang sedangkan Noel dan Smith kebingungan. "Sungguh?" tanya Alexandra memastikan. "Ya, dengan beberapa syarat." Smith menekuk dahinya dalam. "Syarat apa, Tuan?" "Satu, aku tetap akan mengatakan bahwa putraku mengalami kecelakaan pada pers demi melindungi perusahaanku dan dua, waktu kalian untuk menyelidiki kasus ini hanya dua bulan. Apa kalian sanggup dengan syarat yang kuajukan ini?" []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN