Sebelum ini Kang Somad adalah satu-satunya juragan yang hidup di desa Sukalali. Maka dia menjadi yang paling dihormati dan ditakuti. Meski demikian semua-mua kalau terpaksa akan mencarinya untuk minta bantuan. Meski bantuan dari Kang Somad itu ndak murah harganya. Lah, dia kan perlu duit untuk menghidupi para preman yang dipiaranya. Emang buaya? Pakai kata dipiara. Hehehe..
Nah dengar-dengar kasak-kusuk tetangga, ada juragan baru yang amat tajir, berkuasa, dan lebih kinclong tampilannya. Hati Kang Somad bagai terbakar api asmara... eh, api kesirikan.
Nah ini, muncul saingan baru. Seseorang yang asing baginya! Tuan Gandarewa namanya. Menurut orang, mukanya seram tapi guantenggg! Seram mana sama dia? Kang Somad ingin segera membandingkan. Itu yang membuatnya pergi berkunjung di siang bolong bersama antek-anteknya. Biasalah, pamer kekuatan dulu.
"Permisi, punten, mangga, kedondong, apel, salak, duku cilik-cilik..."
Pletak! Kang Somad menggeplak si Jaka Jemblung, preman binaannya yang paling oon.
"Sat! Kamu pikir saya nyuruh kamu ngamen disini?! Yang elit dikit kalau namu, tunjukkan martabat kita!" dumel Kang Somad kesal. Dia biasa memanggil semua anak buahnya 'Sat'. Salah kalau kalian menyangka semua anak buahnya bernama Satria. ‘Sat’ itu kependekan dari b*****t! Ngerti lo sekarang?!
Yang bermartabat itu seperti apa? Kang Somat memberi contoh didepan anak buahnya.
"Woiiiiii b*****t-b*****t yang didalem, keluarrrrrr!!! Ndak keluar, saya potong burung kalian semua, karena kalian ndak pantas jadi lakiii!"
Memang sungguh bermartabat. Sampai anak buahnya cengo semua.
"Kang, ampun. Jangan potong burung kami semua," ucap Jaka Jemblung memelas. Meski badannya gede montok overdosis tapi belalainya kecil dan pendek, kalau dipotong habis toh masa depannya.
Kang Somad melotot geram pada anak buahnya yang oon ini.
"Siapa yang mau motong burung kamu? Itupun juga kalau ada yang bisa dipotong!" dengus Kang Somad sambil melirik s**********n si Joko.
Apa dia harus memeriksa s**********n ya setiap mengadakan tes penerimaan anak buah premannya? Terbukti yang burungnya kecil, nyalinya juga ciut. Kayak si Joko Jemblung ini.
"Tapi Kang, kita berada didalam rumah! Boss bilang tadi yang ndak diluar rumah mau dipotong burungnya!!"cseru Joko Jemblung panik.
Kang Somad melongo saat meriksa sekelilingnya. Lah kok dia dan anak buahnya secara ajib berada didalam rumah? Tadi kan mereka diluar! Matanya membelalak melihat diluar ada dua makhluk aneh yang memakai baju kuno sedang menyeringai keji padanya. Mereka seakan menertawakannya dengan membuat gerakan seperti sedang memotong burung.
"Keluarrrrr!! Kita keluarr!" perintah Kang Somad pada anak buahnya.
Mereka bergegas menuju pintu luar dan membuka pintunya.
"Kang, pintunya terkunci," lapor salah satu anak buahnya.
"Dobrak!"
Mulut Kang Somad memerintah seperti itu, tapi tangannya bergerak diluar kehendaknya. Apa-apaan ini?! Buat apa tangannya mengambil pisau yang terselip di sabuknya?! Kang Somad ndak bisa mencegah. Tangannya bergerak bukan atas kendalinya!
Setelah mengambil pisau, tangannya menarik celana salah satu anak buah yang berdiri di dekatnya.
"Kang! Mau apa, Kang?!" teriak anak buah yang celananya dirobek Kang Somad.
"Motong burung kamu!" Kang Somad menutup mulutnya, syok! Mengapa dia berbicara seperti itu?!
Anak buahnya memucat dan langsung histeris.
"Jangan Kang! Saya ndak tahu mengapa ada didalam sini! Saya mau keluar, jangan potong burung saya Kang!"
Dengan histeris dia berlari ke pintu dan ikut mendobrak disana. Kang Somad semakin panik saat tangannya berulah lagi dengan menarik celana si Joko Jemblung.
"Ojo Kang! Ampuni burung saya!" Joko Jemblung menepis kasar tangan Kang Somad dan berlari ke pintu sambil menjerit histeris.
Mereka semua semburat ketakutan menghadapi ulah Kang Somad yang mirip orang edan ingin memotong burung anak buahnya.
"Cepat dobrak pintunya!! Kita harus keluar!" Di sela-sela akal warasnya yang tersisa, Kang Somad memberikan perintah itu.
"Mang, ini pasti kerjaan siluman. Jin!" kata Jaka Jemblung ketakutan. Dia sudah ngompol sampai dua kali.
"I-iya Jok. Ayo baca doa.."
Mang Daru mendadak ingat pada Sang Khalik.
"Bismillah," ucapnya sebelum mendobrak pintu.
Blak!
Pintu itu terbuka dengan mudah hingga membuat enam preman yang mendobraknya jatuh telungkup ke lantai. Didepan mereka nampak menjulang dua sosok indah yang berdiri gagah.
"Ada manusia kotor yang jatuh bergelimpangan. Duhai Tuanku yang gagah perkasa, kita apakan mereka?"
Janur tertawa meremehkan. Gayanya kenes tapi menyebalkan.
"Bunuh saja kalau ndak mau segera minggat!"
Gemetaran lah para preman yang terjatuh di lantai itu. Mereka seakan melihat dewa kematian turun ke bumi.
"Kang Somad, iki piye*?" Para preman itu memandang bosnya galau.
* Ini bagaimana
Kang Somad menggeram dan melangkah maju dengan serampangan. Tak peduli menginjak-nginjak kepala anak buahnya.
"Apa kamu juragan baru yang punya tempat ini?" tuding Kang Somad geram.
Gege balas menatap dingin. "Bukan urusan kamu!"
"Loh ya ada toh! Aku ini penguasa di kampung sini! Enak saja kamu datang ndak kulanuwun* langsung petantang-peteteng sok jagoan!"
*Permisi
Kang Somad berkacak pinggang, gayanya begitu menantang. Mancing orang pengin menggamparnya.
Plak!
Tiba-tiba terdengar suara tamparan. Kang Somad merasakan panas di pipinya.
"Siapa yang lancang main gampar-gamparan, hah?!" bentak Kang Somad.
Dia ndak tahu di pipinya ada bekas tangan berwarna merah kebiruan seperti habis digampar. Kang Somad celingak-celinguk mencari tahu siapa yang digampar.
"Sopo? Sopo yang baru saja digampar, Sat?"
Joko Gemblung yang ditanyain spontan menunjuk Kang Somad dengan wajah prihatin.
"Ndasmu! Sopo yang berani menggampar aku?! Ngawur kamu!!"
Pletak! Kang Somad menjitak kepala Joko Gemblung gemas.
"Ndak berani ngawur Kang, beneran ada kok bekasnya," ucap si Joko takut-takut.
Coba ada cermin, biar bos bisa berkaca. Batin Joko. Lah, kok ndilalah ada yang menyodorkan cermin padanya.
"Makasih, Gan,” kata Joko, setelahnya ia memberikan cermin itu pada Kang Somad.
Janur yang memberikan cermin itu tersenyum manis namun sinis.
"Cermin... cermin... katakan padaku, wajah jelek siapa yang terpapar di permukaanmu yang mengkilap itu?" Puisi cemoohan Janur terdengar saat Kang Somad melirik wajahnya di permukaan cermin.
"KEPARATTTTT! Siapa yang menggampar wajahku, Sat?!"
Dengan garang Kang Somad menatap satu per satu anak buahnya. Mereka menggeleng bergantian. Saat Kang Somad kembali memandang ke depan, tepat didepannya telah berdiri Gege.
"Aku yang menamparmu!"
"Apa?! Tapi tadi kamu ndak bergerak didepan sana!"
"Apa harus berhadapan baru bisa menggampar seperti ini?!"
Plak! Plak! Kali ini Gege menampar pipi Kang Somad lebih keras dari yang tadi. Kang Somad melolong kesakitan. Wajar dia berteriak keras. Pipinya gosong karena ditampar Gege.
"b*****t! Kamu belum tahu siapa saya?! Saya ini..."
"Anjing Somad!" potong Gege cepat.
"Anjing buduk yang mesti digampar biar sadar dirinya itu makhluk rendahan!" imbuh Gege.
Wajah Kang Somad merah padam. Tangannya sudah gatal pengin memukul pria yang lebih muda tapi songgong ini. Tapi mendadak kakinya terasa lunglai, dia jatuh dengan kondisi siap merangkak seperti anjing.
Kang Somad pengin memaki, tapi yang keluar dari mulutnya malah bunyi kaing-kaing anjing.
"Sekali anjing tetaplah anjing.. cih!" komentar Janur kenes.
"Kang Somad kesurupan roh anjing!"
"Siluman anjing!"
"Apa Kang Somad titisan anjing?"
Celoteh para preman terdengar bersahut-sahutan melihat boss mereka bertingkah seperti anjing kampung.
"Bawa juragan kalian sebelum kubikin tongseng daging anjing!" bentak Gege menggelegar.
Para preman pun segera membopong majikannya meninggalkan tempat menyeramkan ini.
***
Sumi melihat kejadian itu dari kejauhan.
Gege telah menghilang saat dia berniat menghampiri. Sepertinya menuju kamar. Sumi pun segera mengikutinya masuk ke kamar. Tapi kok endak ada? Apa dia di kolong ranjang?
Sumi menyibak sprei yang menutupi kolong ranjangnya.
"Kamu cari siapa?"
Yang dicarinya malah berdiri di belakang tubuhnya. Dih, sejak kapan Gege ada disana?
"Siapa lagi yang senang ngumpet di kolong?" sindir Sumi manis.
"Aku bukan ngumpet disana. Gandarewa ndak bakal ngumpet! Aku tidur disitu, Rambut jagung!"
"Kenapa ndak tidur di ranjang? Kamu aneh!" ledek Sumi.
"Gandarewa suka tempat yang gelap, dan di kolong bau kayu jadi lebih tajam. Seharusnya kamu menemaniku tidur di kolong ranjang, Rambut jagung!" Gege mulai menuntut.
"Emoh. Aku ndak suka tidur di kolong. Bisa-bisa aku mimpi buruk kalau tidur disitu!"
Tidur ditemani genderuwo lagi! Ada yang lebih serem dari itu?
"Jadi, maunya kamu tidur dimana? Di atas pohon?" nyinyir Gege.
"Apa?! Atas pohon?!"
Sumi bergidik ngeri saat membayangkannya. Mengapa berasa nyata ya? Jiahhhhh!! Bagaimana ia betulan ada diatas pohon?! Kapan pindahannya? Lagian, kalau pindahan kan mestinya ada selametan toh?!
Sumi ingin menjerit tapi ada yang mendekapnya erat dari belakang.
"Gege! Kita mau ngapain diatas pohon? Turun!" rengek Sumi.
"Kita bobok siang."
"Ndak mau! Aku ini orang, Gege! Bukan genderuwo yang biasa bertengger di pohon!" jerit Sumi.
"Kamu itu istri genderuwo!" bentak Gege.
Sumi jadi kincep. Dia sering lupa statusnya.
"Tapi meski aku istri genderuwo aku masih patut dimanusiakan toh. Gege, aku tuh ndak bisa dibeginiin!" protes Sumi.
"Pssstttt, diam Rambut jagung! Apa kamu mau ta perkosa diatas pohon?!"
Olala, saking hebohnya protes.. Sumi ndak nyadar goyang ngebor diatas pangkuan Gege. Otomatis ada yang terbangun.
Bersambung