9. Menemui Rudi

1603 Kata
Dari kejauhan tampak sebuah taksi kembali melintas. Segera saja kulambaikan tangan untuk menghentikannya. Lalu begitu kendaraan roda empat itu berhenti tepat di hadapan, lekas kumasuk. Badan yang terasa penat kusandarkan pada jok yang lumayan masih empuk ini. "Mau ke mana, Ibu?" "Jalan saja dulu, Pak!" Otakku benar-benar buntu, karena hingga detik kini belum mampu memutuskan ke mana kaki akan melangkah. Tadinya sempat terpikir untuk tinggal sementara di rumah Evi. Akan tetapi, melalui pesan WA teman baikku itu mengabarkan kalau dirinya sedang berada di Bandung. Evi bilang tengah sibuk menunggui mertuanya yang terbaring sakit parah di sebuah rumah sakit. Mendengar berita itu, mendadak aku jadi teringat Mami. Ahh ... apa yang terjadi dengan Mami tadi? Dilihat dari raut wajahnya tampak ibu dari Mas Ferdi itu begitu kesakitan. Sedikit merasa menyesal juga, harusnya aku tidak perlu setega tadi. Karena bagaimana pun juga Mami adalah mantan mertua yang sangat baik. Namun, bila teringat perbuatannya waktu itu, tetap aku kembali sakit hati dibuatnya. Ahh ... sudahlah! Jangan lagi melihat ke belakang! Tatap masa depanmu, Aya! "Maaf Ibu, jadi ke mana akhirnya?" Pertanyaan sopir taksi membuat aku tersadar dari lamunan. "Emmm ... The Table Cafe." Akhirnya tempat di mana Rudi bekerja aku sebutkan. Walau sebenarnya ada rasa segan yang menyergap d**a bila menemui dia. Karena jujur dari hati terdalam, sesungguhnya aku tidak mau berhubungan dengan sesuatu yang berbau Nella. Namun, ketidak berdayaan ini memaksaku agar lekas menemuinya. Berbekal pesan singkat yang telah terkirim ke pada mantan suami Nella itu, aku berharap Rudi bisa memenuhi janjinya. Yaitu membantuku mencarikan pekerjaan. Semoga. ? Akhirnya lima belas menit kemudian, sopir taksi menurunkan aku di parkiran sebuah kafe bergaya arsitektur nusantara dalam balutan kekinian. Setelah membayarkan sejumlah uang pada sopir itu, aku pun mulai melangkah untuk memasuki kafe tersebut. Dengan landscape tropikal asri dan pepohonan, Table kafe terlihat begitu menarik. Sehingga tak heran banyak sekali pengunjung yang datang. Begitu masuk kuedarkan pandangan sekeliling ruangan. Suasana kafe tampak nyaman seperti berada di rumah sendiri. Dari kejauhan, di sebuah meja outdoor yang terletak dekat kolam renang tampak Rudi tengah berbincang dengan seorang pemuda dan seorang gadis. Terlihat duda kalem beranak satu itu tengah serius mendengarkan si pemuda yang sedang berbicara. Sementara sang gadis tampak begitu takjub melihat gaya bicara sang cowok. Mata dan senyuman pemudi itu menyiratkan cinta yang mendalam terhadap sosok pemuda itu. Eh ... tapi, bukankah itu adalah pemuda yang berebut taksi denganku tadi pagi? Untuk memastikan, aku menajamkan padangan. Benar adanya, dia pemuda tidak sopan itu. Dilihat dari tanggapan Rudi, sepertinya pemuda itu bukan orang sembarangan. Beberapa kali ayah Keyra itu mengangguk hormat pada cowok itu. Bahkan saat sepasang muda-mudi itu pamit pergi, kembali Rudi mengangguk hormat pada keduanya. Kemudian sepasang sejoli itu berjalan beriringan. Sang gadis berparas cantik itu begelayut mesra pada lengan sang pemuda. Keduanya berjalan dengan terus bercakap-cakap. Saling pandang satu sama lain. Begitu mesra dan serasi. Sama-sama semampai dan berbadan bagus. Mungkin karena jalannya meleng, pemuda itu tak sengaja menyerempet tubuhku dengan sedikit keras. Sehingga membuat aku terjatuh. Pasangan itu berhenti. Kemudian sang cowok mengernyitkan dahi begitu melihatku. "Mba cantik?" Dia berujar heran dengan cengiran. Tangannya terulur padaku. Namun, aku bangkit tanpa membalas uluran itu. "Siapa?" Si cewek bertanya pada pemuda itu dengan mata yang menyipit. Roman mukanya mendadak kecut. Kenapa? Entahlah. Sepertinya dia cemburu melihat cowoknya melempar senyum ramah padaku. "Gak kenal. Tadi kita rebutan taksi," jawabnya santai. Sekilas pemuda itu melirik padaku. Kembali dia melempar cengiran nakal. Namun, kembali pula tak kutanggapi. Sehingga dia mengendikan bahu. Lantas menarik lengan sang gadis untuk berlalu. "Aya?" Aku menoleh. Ternyata Rudi sudah berdiri di samping. Segera kusunggingkan senyum ramah padanya. Lalu pria beralis tebal itu mengajakku untuk mencari tempat duduk. Dia memilih kursi di pojok ruangan. "Mau pesan apa?" Aku menggeleng saat Rudi menyodorkan buku menu. "Tenang ... aku yang traktir kok," imbuhnya dengan sedikit meledek. "Gak, makasih. Sarapan tadi pagi masih membuatku kenyang." Aku menolak dengan halus sekaligus dusta. Karena sebenarnya sampai kini perutku masih kosong. Sama sekali belum terisi sesuatu. Namun, aku bukan tipe wanita yang mudah saja ditraktir oleh seorang pria. Apalagi bila tidak terlalu akrab. "Terus maksud kedatanganmu ke sini mau apa?" Kembali Rudi bertanya dengan ramah. "Emm ... kebetulan lewat. Jadi mau main aja," sahutku asal sembari tersenyum kecil. Sebenarnya ingin langsung berterus terang minta dicarikan pekerjaan, tetapi bibir rasanya kelu saat mengungkapkannya. "Ya sudah ... kalau begitu minum aja, ya?" "Ya." Aku tak dapat menolak lagi. Tersenyum Rudi mendengarnya. Kemudian dia melambaikan tangan pada seorang pelayan perempuan. Gadis yang tengah memberesi meja di samping segera menghampiri kami. Rudi pun lantas memesan dua gelas jus jeruk serta seporsi kudapan pada pelayan tersebut. "Oh ya, apa aktivitasmu sekarang, Ay?" Rudi bertanya dengan santai usai gadis pelayan itu berlalu. "Belum ada," jawabku jujur. "Ya udah kerja di sini aja! Kebetulan yang punya kafe ini orangnya baik banget," tawar Rudi bersemangat. "Aya liat pemuda yang barusan ngobrol denganku?" Aku mengangguk pelan. "Dia pemilik kafe ini." Sontak aku terkesiap mendengar cerita Rudi. Fix. Kubatalkan niat minta pekerjaan pada Rudi. Itu karena aku tak mau bekerja pada pemuda yang suka cengengesan itu. Gadis pelayan tadi kembali datang dengan membawa nampan. Setelah meletakan dua gelas tinggi berisi jus jeruk dan sepiring kudapan pada meja kami, pelayan itu berlalu. Rudi sendiri segera mempersilakan aku minum. "Jadi gimana Ay, mau kamu bekerja di sini? Kebetulan Mas Fino sedang butuh seorang ...." "Tidak, terima kasih. Saat ini aku sedang fokus merawat Davin. Mungkin bila dia sudah benar-benar sembuh, aku baru cari pekerjaan," selaku cepat dengan sedikit berdalih. Mendengar jawabanku, mulut Rudi membentuk huruf O sembari manggut-manggut. Sama sekali tidak ada raut kecewa pada wajahnya. Walaupun aku sudah menolak tawarannya. Sesaat kami terdiam. Masing-masing terlarut menikmati kudapan berupa kroket yang terbuat dari talas Bogor. Menit berikutnya tiba-tiba saja bayangan Nella melintas di mata. Maka dengan penuh kehati-hatian, aku bercerita tentang keadaan dia yang begitu memprihatinkan pada Rudi. Pria itu tampak serius mendengarnya. Namun, sampai aku memungkas cerita, Rudi tetap diam tanpa mau berkomentar. "Nella sudah bukan urusanku lagi. Dan aku tengah berusaha keras melupakan dia." Akhirnya, setelah beberapa kali aku menyinggung keberadaan Nella di rumah Mas Ferdi, Rudi mau berujar juga. Roman mukanya jadi terlihat muram. Padahal tadi tampak begitu ceria, sebelum aku bicara tentang Nella. "Memang sudah bukan urusan Mas Rudi lagi. Tapi setidaknya tolong ingat dia sebagai ibunya Keyra," timpalku mengingatkan dengan sopan. "Jadi ... maksud kedatanganmu ke mari adalah agar aku membawa pergi Nella dari rumah Ferdi?" Belum sempat kujawab, lelaki itu kembali bertanya, "Aya merasa cemburu bila Nella dan Ferdi kembali dekat?" Sungguh tak diduga Rudi akan melontarkan pertanyaan itu. Aku merasa dia seperti tengah mengintrogasi. Sorot matanya memaksa agar aku lekas menjawabnya. "Tidak bisa menjawab, emm ... berarti ada kemungkinan kalian rujuk, ya?" Kembali aku dibuat terkesiap mendengar pertanyaan serius dari Rudi. Namun, kepalaku refleks menggeleng lemah. "Entahlah. Bukannya mau mendahului takdir. Karna hati orang mudah dibolak-balikan oleh Tuhan. Hari ini bilang tidak, mungkin saja besok bilang ya. Namun, saat ini hatiku belum ada niat untuk rujuk dengan Ferdi," terangku sejujur mungkin. Seulas senyum tersungging dari bibirnya Rudi begitu mendengar jawabanku. Apa maknanya aku tiada mengerti. Yang pasti wajah kalem itu kembali cerah seperti semula. Aneh. Tiba-tiba terdengar dering ponsel dari kemeja putih milik Rudi. Bergegas lelaki berkulit putih bersih itu meraih layar tipis tersebut, kemudian mengusapnya. Dia menunjuk gadget yang ditengah di pegangnya. Meminta izin untuk mengangkat sambungan telepon padaku. Lalu saat mendapat anggukan olehku, Rudi bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh. Pria itu berjalan ke luar ruangan dan menuju kolam ruang untuk menerima sambungan teleponnya. Ketika dia masih serius bercakap-cakap lewat ponselnya, tampak seorang pelayan laki-laki menemuinya. Entah apa yang diintruksikan Rudi pada pelayan tersebut tak terdengar dari tempatku duduk. Kemudian pria berkaca mata tipis itu kembali mendekat padaku usai pelayan itu berlalu dari hadapannya. "Sepertinya Mas Rudi sedang sibuk sekali. Kalo begitu sebaiknya aku pamit pulang aja." "Ya beginilah keseharianku," keluh Rudi terlihat menyesal. "Maaf ya gak bisa nemenin kamu ngobrol." "Aku yang minta maaf karna udah ganggu aktivitasmu," tukasku sopan. Kami berjalan ke luar. Dengan manis dia membukan pintu untukku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku berlalu meninggalkan tempat itu. Di parkiran kafe aku berjalan pelan-pelan. Ke mana langkah selanjutnya? Ya Tuhan ... kenapa aku seperti orang hilang begini? Bingung menentukan arah pulang. Ria. Nama sahabat sewaktu bekerja dulu melintas di benak. Maka kuputuskan untuk menemui gadis itu, tapi di jam seperti ini pasti dia belum pulang dari kantornya. Ahh biar saja! Lebih baik aku langsung ke rumahnya. Toh dulu sebelum menikah, aku sudah sering menginap di sana. Bahkan ART-nya sudah begitu akrab denganku. Ketika tengah menunggu taksi yang melintas, ponsel di dalam tas jinjing terasa bergetar. Nama Mas Ferdi pun tertera di layar saat kuusap gadget tipis itu. Sejenak ada rasa ragu sewaktu hendak menerimanya. Namun, bila teringat anak-anak dan Mami, rasa ego aku turunkan. Namun, naas bagiku. Baru saja hendak menempelkan ponsel pada telinga, tiba-tiba ada seseorang yang merampasnya dari belakang. "Jambrettt!" Aku berteriak sembari berusaha mempertahankan hak milik. Namun, usahaku sia-sia. Karena kekuatan jambret sialan itu begitu kuat. Bahkan dia berhasil merenggut tas tangan kepunyaan. Lalu sebelum melarikan diri dengan membonceng sepeda motor temannya, pria bertubuh besar itu mendorong tubuhku hingga terjerembap. "Ibu? Ibu gak papa?" Beberapa orang datang menolong. Dengan dibimbing oleh dua orang bapak-bapak aku bangkit berdiri. Bibirku meringis menahan sakit pada pinggang yang terasa patah. "Aya! Kamu gak papa?" Tiba-tiba Rudi datang tergesa bersama dua orang sekuriti. Segera pria itu mengambil alih untuk membimbingku. Tertatih aku melangkah bersamanya. "Aya, kamu baik-baik saja kan?" Rudi mengulangi pertanyaannya. Tampak dia begitu khawatir. Walau badan terasa remuk semua, tetapi aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan Rudi. Namun, detik berikutnya kepalaku terasa berputar-putar. Berat sekali. Bahkan semua terlihat begitu gelap. Sepertinya aku jatuh pingsan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN