PENDOSA 13

1364 Kata
Seingatku, Bhumika pernah mengatakannya sendiri, jika pria itu tinggal di Ibu Kota dan bekerja di salah satu perusahaan Multinasional sebagai Manajer Pemasaran. Aku pun sudah memastikannya sendiri pada akun profesional pria itu. Tetapi entah kebetulan macam apa yang sedang Tuhan rencanakan pada kami, sehingga untuk kedua kalinya aku melihat sosoknya di kota ini. “Mungkin Bhumi sedang berlibur, Putik.” “Atau memang sengaja ke sini untuk berkencan dengan kekasihnya.” Kugelengkan kepala untuk menepis pemikiranku sendiri jika Bhumika sekarang tinggal di sini. Karena jika itu benar terjadi, maka probabilitas pertemuan kami akan semakin besar. Dan aku sangat tidak menginginkan hal itu, sebesar apa pun cintaku padanya. “Tenang, Putik, tenang. Bhumika tidak mungkin pindah ke sini. Dia hanya sedang berlibur. Berkencan dengan kekasihnya. Dan kalian tidak akan pernah bertemu lagi,” gumamku menenangkan diri sendiri. Kutengok Alia yang sejak tadi sudah tertidur, setelah menghabiskan semangkuk kecil nasi dengan sup brokoli. Kuciumi wajahnya berkali-kali sebelum turut membaringkan tubuhku di sisinya. Aku harus beristirahat, karena esok pagi harus kembali bekerja. … Sepertinya, Tuhan benar-benar ingin menjadikanku hidup sebatang kara. Setelah kehilangan Ibu saat aku masih di Sekolah Dasar, kehilangan Wisnu juga Semeru, dan dibuang begitu saja oleh Bhumika. Baru saja aku akan menuju tempat Bu Salem untuk menitipkan Alia, teleponku beberapa saat lalu berdering. Rupanya sebuah panggilan telepon dari nomor Bapak. Aku sudah tersenyum haru, ketika akhirnya Bapak bersedia menghubungiku lagi. Sayangnya, bukan Bapak yang menghubungiku, melainkan Bu Yuyun—ibu sambungku. Bukan kabar bahagia yang kudengar dari bibir Bu Yuyun, melainkan sebuah kabar duka yang membuatku sangat terpukul. “Putik, pulang, Bapak meninggal.” Aku sempat tidak merespons kalimat duka yang disampaikan Bu Yuyun untuk beberapa saat. Ponsel di genggamanku bahkan terlepas dan mencium lantai. Aku sudah mengecewakan Bapak dan belum bisa membuktikan jika aku telah berubah menjadi Putik dengan pribadi yang lebih baik lagi. Tetapi Bapak sudah pergi lebih dulu menghadap Sang Pencipta. Yang kuingat setelah itu hanya ingin segera pulang agar bisa melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya. Dan di sini lah aku sekarang, tengah dalam perjalanan menuju Ponorogo bersama Wisnu. Ya, Wisnu yang menghubungiku setelah Bu Yuyun, pria itu mengajakku bersama-sama melihat Bapak untuk yang terakhir kalinya. Aku duduk di kabin kedua bersama Alia, sementara Semeru duduk di kursi depan di samping Wisnu. Perjalanan menuju Ponorogo membutuhkan waktu tidak kurang dari tujuh jam perjalanan. Sangat lama memang, dan aku berharap baik Alia maupun Semeru bisa bekerja sama selama di perjalanan. Keduanya saat ini tengah tertidur. Wisnu mengendari mobilnya dengan kecepatan penuh, mengimbangi mobil-mobil lain di jalan tol yang kami lewati sekarang. Sejujurnya aku merasa sungkan dengan Handini, karena Wisnu bersikeras mengantarkanku ke Ponorogo. Tetapi aku tak punya pilihan lain, selain bersama Wisnu menuju ke sana. Berkali-kali aku sudah mengucapkan terima kasih pada Handini yang tak bisa turut serta karena pekerjaannya tidak bisa ditinggal. “Apa kamu lapar, Putik?” tanya Wisnu setelah dua jam perjalanan, mobil ini hanya diisi suara game dari tablet milik Semeru. “Belum, Nu,” jawabku singkat. “Kalau kamu lapar, kita bisa mampir sebentar di rest area depan, untuk membeli sesuatu.” “Tapi aku ingin buang air kecil,” jawabku malu-malu. “Oke, kita mampir ke rest area dulu,” putus Wisnu. Tak berselang lama, mobil berbelok pada rest area terdekat. Begitu mobil terparkir sempurna, aku segera turun dan dengan sungkan kutitipkan Alia pada Wisnu. Aku bergegas menuju toilet, setelahnya menuju ke kedai ayam siap saji dan membeli tiga porsi ayam beserta nasi dan 3 buah burger untuk bekal di perjalanan. Tak lupa aku pun membeli kopi untuk Wisnu untuk mengurangi rasa kantuk pria itu. Aku kembali ke parkiran, setelah menyelesaikan kegiatanku. Tak kusangka, pemandangan yang kudapat sungguh membuatku trenyuh. Semeru dan Alia rupanya sudah bangun. Keduanya tengah duduk sembari bersendau gurau di salah satu warung kopi dalam pengawasan Wisnu. Wisnu memang benar-benar baik. Padahal aku sudah menyakitinya, tetapi pria itu tetap bersedia mengantarkanku ke Ponorogo ke tempat pemakaman Bapak dan saat ini menjaga Alia seperti menjaga anak kandungnya sendiri. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Semeru dan Alia tengah kusuapi, mereka makan dengan lahap sembari mendengarkan lagu anak-anak melalui audio mobil. “Saya sebenarnya juga lapar, Putik,” kata Wisnu tiba-tiba. “Mau kusuapi juga, Nu?” tanyaku begitu saja dan seketika kecanggungan menyergapku, begitu kusadari pertanyaan yang tak seharusnya kuucapkan pada Wisnu. Wisnu terkekeh setelah mengintip ekspresiku melalui kaca spion di atas wajahnya. “Kenapa, Putik? Anggap saja saya sekarang Abangmu, jadi tidak masalah kalau ingin menyuapi saya.” “Jangan, Nu. Aku nggak ingin menyakiti Handini,” gumamku pelan. Aku sudah sangat berterima kasih pada Handini yang merelakan suaminya mengantar mantan istrinya ke luar kota. “Saya tahu.” Suasana mobil kembali hening. Alia bernyanyi-nyanyi bersama Semeru. Wisnu fokus dengan kemudinya. Sementara aku hanya memandangi jalanan yang dipenuhi banyak mobil. Berbagai hal berkecamuk di kepalaku. Tentang Alia yang hanya memiliki aku. Tentang Semeru yang jika suatu saat nanti mengetahui kesalahanku, akankah ia akan bersedia memaafkanku atau tidak. Tentang Wisnu, yang berhati malaikat. Sudah kusakiti begitu dalam tetapi masih bersedia menolongku. Tentang Bhumika yang mengapa tega sekali membuangku begitu saja. Dan tentang aku sendiri yang kini benar-benar hidup seorang diri. Kuhela napas dalam mengingat itu semua. Jika saja aku tidak menjalin hubungan dengan Bhumika, setidaknya aku masih memiliki Wisnu dan Semeru secara utuh. Tidak seperti sekarang, yang bertemu dengan Semeru saja hanya beberapa bulan sekali. Komunikasi lebih sering dilakukan melalui sambungan telepon atau video. Dengan Wisnu, aku sudah tak bisa berharap apapun lagi padanya, karena sekarang Wisnu adalah milik Handini. Rupanya lamunanku mengantarkanku pada alam mimpi. Entah sudah berapa lama pastinya aku tertidur, aku dibangunkan Wisnu ketika mobil kembali berhenti di sebuah rest area. “Saya mau ke toilet dulu,” pamitnya yang kuangguki. Kukerjapkan mata, begitu Wisnu turun dari mobil. Bibirku refleks membentuk lengkungan sabit mendapati Semeru dan Alia tertidur nyenyak. Kuregangkan tubuh yang terasa sedikit lelah, meski hanya duduk diam selama perjalanan. Lantas kuraih ponsel untuk melihat jam, dan rupanya hari sudah mendekati sore. Lalu aku membuka aplikasi peta, untuk mengecek posisi kami saat ini. Jika merunut pada peta daring, dua jam lagi maka kami akan tiba di rumah Bapak. Dua jam rupanya waktu yang cukup sebentar. Jalanan yang bagus dan tanpa kemacetan, membuat Wisnu mampu mengemudikan kendaraan miliknya dengan lincah. Kami tiba 30 menit lebih awal dari perkiraan di peta daring. Begitu mobil merapat di halaman rumah Bapak dan lantas aku keluar, Bibi dan sepupuku, juga Bu Yuyun menyambutku dengan tangisan. Mereka memelukku erat. Sembari membisikkan agar aku bisa sabar dan ikhlas atas meninggalnya Bapak. Aku, aku ikhlas sekali dengan kepergian Bapak kepangkuan Yang Maha Kuasa. Aku hanya merasa sedih dan kecewa pada diri sendiri, Bapak pergi di saat hubungan kami belum membaik. Bapak pergi di saat aku belum membuktikan pada beliau, jika putrinya ini telah menyesali perbuatannya, dan saat ini tengah berbenah diri. Tertatih aku memasuki rumah Bapak. Rumah yang dipenuhi perabot dengan ukiran-ukiran khas tanah Jawa. Rumah yang hanya setahun sekali aku singgahi, karena selebihnya aku lebih banyak menghabiskan waktuku di Ibu Kota. Aku bersimpuh di hadapan tubuh Bapak yang terbujur kaku ditutupi kain jarik. Tangan kananku kuulurkan untuk membuka kain putih yang menutupi wajah Bapak. Perlahan, kain kubuka. Dadaku bergemuruh hebat begitu kusaksikan wajah pucat Bapak dengan mata terpejam rapat. Aku tak kuasa lagi menahan bulir-bulir bening yang perlahan mengaliri pipi. Bapak pergi di saat hatinya terluka karenaku. “Maafkan Putik, Pak. Maafkan Putik.” Tersedu aku bersimpuh di samping tubuh Bapak yang tak akan pernah bangun lagi untuk selamanya. Aku benar-benar menyesal pernah berbuat sekotor itu dan melukai bukan hanya Wisnu dan Semeru, tapi juga Bapak. “Wisnu datang, Pak.” Wisnu yang menggendong Alia sejak tadi duduk di seberangku. “Maafkan Wisnu yang tidak bisa menjaga Putik ya, Pak.” Meski dengan wajah menunduk, aku bisa melihat jika manik pria itu sudah diselimuti kaca-kaca tipis. “Tapi Wisnu janji akan menjaga Putik, Semeru dan Alia, untuk Bapak. Wisnu janji.” Tangisku semakin pecah mendengar kalimat terakhir Wisnu. Mengapa Wisnu bisa sebaik ini? Mengapa ada orang sebaik Wisnu di dunia ini? Dan mengapa aku telah begitu tega melukainya? Semua pertanyaan-pertanyaan itu berkumpul di kepalaku dan membuat rasa bersalahku kian dalam. Hingga akhirnya menimbulkan sengatan kecil di hati dan kepalaku. Pening menderaku seketika, lalu secara perlahan semua menggelap. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN