Raja dan Nara memasuki sebuah tempat wisata bernuansa alam. Tempat wisata dengan konsep perkebunan buah itu memanjakan mata siapapun yang berkunjung ke sana. Tidak hanya dapat melihat berbagai macam jenis buah baik lokal maupun impor, pengunjung juga disuguhkan edukasi tentang cara menanam dan merawat pohon buah dengan baik.
Tempat yang mereka kunjungi belum lama resmi dibuka untuk umum. Hal itu dikarenakan pengelola menunggu pohon buah-buahan yang mereka tanam tumbuh dan berbuah. Pengunjung tidak hanya melihat-lihat, mereka juga diizinkan untuk memakan hasil perkebunan di tempat wisata ini.
"Apa kamu menyukai tempat ini?" Raja berusaha menghapus kebisuan diantara mereka.
Nara tidak langsung menjawab. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekitar perkebunan. Suasana sejuk dengan warna hijau dedaunan dan berbagai warna buah benar-benar memanjakan netranya.
"Ya, aku rasa ... tempat ini sangat cocok untuk membuat kita rileks setelah memeras otak. Terima kasih sudah membawaku ke tempat seindah ini, Raja." Gadis itu menoleh ke lawan bicaranya sekilas lalu kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Aku sudah mempertimbangkan cukup lama untuk membawamu ke sini. Saat malam itu, aku memanfaatkan waktu untuk mengajakmu pergi. Ada rasa was-was saat kamu tidak segera memberiku jawaban. Aku pikir kamu akan menolakku." Raja tersenyum tipis, dia ikut mengedarkan pandangan ke arah dimana Nara menetapkan fokus.
Saat Nara mengatakan akan memberi jawaban padanya nanti, Raja berpikir kalau gadis itu hanya membuat alasan untuk menolak. Dia hanya sedang mengulur waktu daripada langsung menolak. Beruntung kekhawatirannya itu tidak menjadi nyata dan jawaban Nara langsung membuat hatinya berbunga.
"Aku tidak mungkin menolakmu. Hanya saja, aku harus melakukan pertimbangan. Karena seingatku, ada jadwal di hari ini. Untungnya kegiatan kami dilaksanakan malam hari, jadi sekarang aku bisa pergi bersamamu."
Kalau saja Elang mengatakan acara pertemuan mereka dengan para mafia dilakukan siang hari, mungkin Nara akan mengatakan pada Raja kalau mereka akan pergi di lain hari. Gadis itu dihadapkan dua hal yang sangat penting di dalam hidupnya. Antara mempertahankan nyawa atau orang yang dia cintai. Hal itu tentu saja cukup sulit bagi Nara untuk memilih. Dia hanya bisa mencari cara untuk mengambil keputusan terbaik untuk semuanya.
"Sepertinya sangat penting, ya? Semoga acara kamu berlangsung lancar. Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu bersedia untuk menemaniku ke tempat ini. Oh ya, apa tempat kost kamu pindah? Semalam aku datang ke sana dan ibu kost bilang kalau kamu sudah tidak tinggal di sana lagi."
Nara terkejut. Dia segera memutar otak untuk mencari alasan yang tepat dari kepindahannya. Satu hal, dia tidak ingin Raja sampai tahu dimana dia tinggal sekarang. Terutama tentang dengan siapa dia tinggal. Gadis itu tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Raja saat mengetahui itu.
"Ahaha, ya. Aku memang pindah kost. Banyak gosip yang beredar kalau tempat itu angker, jadi sebelum terjadi sesuatu, ibuku menyarankan agar aku pindah."
Nara rasa itu alasan yang cukup tepat untuk mengkonfirmasi kepindahannya. Dia hanya bisa berharap semoga Raja tidak menanyakan tempat kostnya yang baru. Karena dia tidak akan mungkin mengatakan dengan gamblang. Dia paham kalau segala hal tentang Elang begitu sensitif.
"Benar juga. Gosip itu bahkan sudah merebak di kampus kita. Aku salut kamu bisa tinggal di sana sampai beberapa bulan. Kapan-kapan ... bolehkah aku berkunjung ke tempat kost kamu yang baru?" pertanyaan yang diajukan oleh Raja membuat Nara membatu.
"Maaf, ibu kostku yang baru tidak mengizinkan kami menerima kunjungan dari laki-laki. Kita bisa bertemu di luar tempat kost. Kamu tidak marah 'kan?" Nara harap-harap cemas.
Seandainya dia tidak tinggal bersama Elang, tentu saja dia akan mengizinkan Raja untuk berkunjung. Tapi situasi tidak mengizinkan. Dia harus menghalangi lelaki itu untuk berkunjung ke tempatnya tinggal.
"Tidak apa. Itu justru bagus untuk keamanan kamu. Dengan begitu, tidak akan ada lelaki yang sembarangan berkunjung. Aku justru merasa lega." ujar Raja seraya tersenyum.
Tidak terasa mereka sudah masuk lumayan jauh ke dalam kebun. Mereka berada di tengah-tengah pohon jeruk. Aroma bunga buah bervitamin C itu merasuk ke dalam hidung mereka.
Nara bisa bernapas lega sekarang. Sementara waktu dia bisa membuat Raja tenang. Dia tidak pernah diajarkan oleh ibunya untuk berbohong, tetapi sekarang sia justru akan membohongi semua orang hanya untuk mempertahankan nyawa.
"Syukurlah. Terima kasih atas pengertiannya mu, Raja." ucap gadis itu diiringi senyum manisnya.
"Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan padamu, Nara."
"Tentang apa?" d**a gadis itu kembali berdebar-debar.
"Ini tentang perasaanku. Aku sudah lama diam-diam memperhatikanmu. Maukah kamu menjadi kekasihku?"
Pertanyaan itu spontan membuat Nara menatap Raja. Dia bahkan tidak yakin dengan apa yang dia dengar sekarang. Semua seakan seperti mimpi yang tampak begitu nyata.
"Ma-maksud kamu?" Nara butuh keyakinan kalau memang apa yang dia dengar benar terucap dari bibir Raja.
"Aku cinta kamu, maukah kamu menjadi kekasihku?" Raja mengulang pertanyaan dengan sangat jelas.
"Kamu tidak sedang bercanda? Kamu serius? Tolong jangan mempermainkan perasaanku, Raja." Nara selama ini menempatkan Raja dalam imajinasinya, tetapi kali ini lelaki itu benar-benar menyatakan perasaannya di depan mata.
Raja tersenyum. Ekspresi Nata terlihat begitu imut di mata lelaki itu.
"Aku serius, Nara. Tentu saja aku tidak sedang bermain-main dengan perasaanku. Apa jawabanmu untukku?" Raja menunggu jawaban Nara dengan penuh harap.
Nara mengangguk.
"Aku bersedia menjadi kekasihmu, Raja." jawab gadis itu pelan dengan wajah tertunduk malu.
Hati Nara begitu berbunga. Dia seakan sedang terbang di atas awan dan melayang di udara. Menjadi kekasih Raja yang semula hanya sekedar mimpi, kini berubah menjadi kenyataan.
Raja menggenggam erat kedua tangan Nara dan menatap wajah gadis yang ada di hadapannya dengan seksama.
"Terima kasih sudah menerima cintaku, Nara. Mulai sekarang kita menjadi sepasang kekasih. Rasanya seperti mimpi," Nara tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari bibir Raja. Padahal selama ini, lelaki itu yang seakan seperti mimpi baginya.
"Selama ini kamu yang seperti mimpi bagiku, Raja. Kamu sangat populer dikalangan anak-anak. Bagaimana aku bisa bermimpi untuk menjadi kekasihmu seperti sekarang."
"Tapi kenyataannya impianmu menjadi kenyataan, bukan? Lagipula aku tidak seterkenal itu. Aku hanya mahasiswa biasa, bukan seorang idol."
Sekarang mereka kembali berjalan lebih masuk ke dalam perkebunan. Tidak seperti di awal, sekarang Raja menggandeng tangan Nara layaknya pasangan kekasih pada umumnya.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Nara sekarang. Wanita itu sedang terjebak dalam bunga-bunga asmara yang bermekaran. Tertimbun kebahagiaan dalam genangan air mimpinya yang kini menjadi nyata.
---
Elang kembali menikmati kesendirian di atas gedung kantornya. Tempat yang menjadi pusat dimana dia harus bekerja sesuai aturan dari Beno, bosnya.
Pria bertato itu sudah cukup lama bergelut dengan dunia gelap dan menganggapnya sebagai keseharian. Elang bahkan tidak tahu, apa tujuan hidupnya ke depan. Hanya ruang hampa yang selalu setia menemani setiap langkah pria berwajah tampan itu.
Dulu dia berpikir kalau hidup seorang diri lebih menyenangkan. Tidak ada aturan dan dia bisa menikmati hidup sesuai dengan keinginannya. Namun, semuanya berubah saat dia mengenal Nara. Gadis itu menorehkan warna baru di kehidupannya yang semula hitam putih.
Elang memang cukup menyesal, melibatkan Nara dalam lingkungan hidupnya yang buruk. Tapi semua sudah terlambat, dia kini bertanggung jawab penuh atas keselamatan gadis itu. Gadis yang dia bahkan belum mengenalnya dengan cukup baik.
Tanpa sengaja lelaki itu memandangi kain perban yang membebat lukanya. Setiap hari Nara melakukan itu dengan lembut dan senyuman hangat. Elang bahkan bisa membayangkan bagaimana tulusnya seorang Nara merawat dirinya. Mengingatkan lelaki itu pada sosok nenek yang dia cintai.
"Ada apa denganku? Kenapa tiba-tiba memikirkan Nara? Dia hanya gadis yang baru saja kutemui. Aku yakin, dia melakukan ini hanya karena dia kasihan padaku. Ck! Cepat lupakan dia Elang. Gadis itu bahkan sudah memiliki lelaki yang dia cintai." Lelaki itu bergelut dengan perasaannya sendiri. Perasaan yang masih samar, tetapi perlahan mengganggu.
"Apa kau benar-benar menjadikan gadis itu kekasihmu, Bos?" Seorang lelaki berusia sebaya dengan Elang tampak menyusul pria itu ke atas gedung.
Elang menghela napas lalu mengangguk samar.
"Tidak ada cara lain. Aku tidak akan membiarkan Bos menghabisi nyawanya. Dia tidak memiliki salah apa pun." ucap lelaki itu datar.
"Apakah Bos akan membawa gadis itu ke pertemuan besar malam ini?" tanya lelaki itu lagi.
"Aku harus melakukannya Frans. Aku ingin semua kelompok tahu kalau wanita itu milikku untuk berjaga-jaga saat aku tidak berada di sisinya." jawab Elang masih dengan ekspresi yang sama.
Lelaki yang dipanggil dengan nama Frans itu menyejajarkan diri di samping Elang. Dia juga memandangi pemandangan yang sudah lama mereka lihat bersama. Melakukan hal yang sama dari waktu ke waktu terkadang menimbulkan kebosanan, tetapi tampaknya itu tidak berlaku untuk mereka berdua.
"Apa Bos mencintai dia?" pertanyaan Frans kali ini membuat Elang menunduk.
Dia bahkan tidak tahu apa itu cinta. Dia juga tidak berfikir untuk serius menjadikan Nara sebagai kekasih yang sebenarnya. Hubungan diantara mereka hanyalah sebuah kesepakatan sebagai bentuk perlindungan yang dia berikan pada gadis itu.
"Aku tidak tahu. Kamu pasti sudah paham bagaimana aku. Pacaran atau menjalin hubungan semacamnya tidak pernah ada di pikiranku selama ini."
Dengan Frans, Elang memang selalu terbuka. Dia kerap menceritakan apa yang dia rasakan tanpa khawatir diketahui oleh siapa pun.
"Sepertinya, Bos harus mulai menyukai gadis itu. Sekali anggota perkumpulan mengetahui hubungan kalian, gadis itu akan terus dikaitkan denganmu."
"Aku tidak berpikir sampai ke sana. Lagipula, untuk apa mencintainya? Aku akan melepaskan dia suatu saat nanti. Dia tidak layak berada di sampingku. Gadis itu terlalu polos."
"Aku yakin, gadis itu tidak akan bisa lepas darimu, Bos. Bos Besar akan terus mengawasi kalian."
"Aku akan pikirkan nanti. Terima kasih atas saranmu, Frans."