Bab 1
HAPPY READING
***
“Halo, ibu Ami, apa kabar anda hari ini?” Tanya Rubi memandang seorang pasien yang baru masuk ke dalam ruangannya.
“Baik, dok,” ucap pasien itu lalu duduk di kursi di depan Rubi.
“Ada yang bisa saya bantu, bu?” Tanya Rubi.
“Saya mengalami sakit perut parah, dok, akhir-akhir ini.”
“Sudah berapa lama, ibu Ami rasakan?” Tanya Rubi tenang.
“Sekitar sebulan yang lalu, dok. Itu seingat saya. Hanya saja akhir-akhir ini kayaknya makin parah, dok. Kalau minum dingin, saya kadang muntah.”
Rubi menganguk paham dengan gejala yang di alami pasiennya, “Baik. Apa ibu Ami selalu merasakan setiap habis makan?” Tanya Rubi penasaran.
“Biasa setelah makan malam sih, dok.”
“Apa yang ibu Ami makan setiap malam?”
“Saya biasa makan, makanan cepat saji dok, KFC, Mekdi, pizza, ayam geprek, seperti itu lah, dok. Karena suami saya kalau pulang kerja pasti bawa makanan.”
“Makanannya pedas?”
“Makanan pedas dan panas, dok. Biasa saya makan jam delapan malam, sebelum saya tidur.”
“Jam delapan? Jam berapa ibu Ami makan siang?”
“Makan siang jam 12.00 siang, dok. Saya selalu merasakan mual di pagi hari, jadi saya sering melewatkan sarapan. Kadang saya pagi cuma makan keripik dan makan siang. “
Rubi menarik nafas, “Ini tandanya ibu ada gangguan perut. Ibu Ami harus mengubah pola makan, jangan sampai melewatkan sarapan, makan tiga kali sehari, jangan makan makanan cepat saji lagi dan kurangi makan pedas.”
“Baik, dok.”
Setelah menulis resep obat. Pasien bernama ibu Ami itu keluar dari ruangannya. Itu adalah pasien terakhirnya setelah ia puluhan pasien ia periksa. Ia merasakan lega luar biasa. Rubi merogoh ponsel di saku jas nya. Ia memandang foto gadis kecil yang sedang tertidur pulas di tempat tidur di galery ponselnya.
Dialah putri kecilnya yang ia rawat penuh kasih sayang. Violet yang membuatnya selalu tegar menjalani hidup. Tidak ada yang bisa menyemangatinya selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyesal melahirkan Violet, dialah malaikat kecil yang lahir di dunia, untuk menemaninya. Walau putrinya itu terlahir tanpa seorang ayah. Mungkin dulu ia menganggap bahwa ini kesalahan terbesarnya. Namun sekarang ia bersyukur memilikinya.
Ia masih ingat akibat perbuatannya di masa lalu, menyebabkannya hamil di luar pernikahan. Awalnya dulu ia ingin menggugurkan kandungan, namun ia sangat menyayangkan atas perbuatannya. Menangis tersedu-sedu setiap malam di kamar. Kenapa janin itu bisa tumbuh di dalam perutnya. Setelah perdebatan panjang dengan pikirannya. Ia ingin bertanggung jawab atas perbuatan dirinya sendiri. Ia mempertahankan keputusannya, tidak menggugurkannya, justru akan merawatnya dengan penuh cinta.
Sementara mama sudah pergi ke surga ketika berobat di Singapore dan sedangkan papa menyusul tiga bulan kemudian setelah kepergian mama. Karena papa sepertinya tidak bisa hidup tanpa papa. Papa dimakamkan di samping kuburan mama. Saat itu ia benar-benar berada di titik terendah. Orang-orang yang ia sayangi sudah meninggalkannya. Terlebih dirinya dalam keadaan hamil.
Biasa mama dan papa selalu mensupportnya baik suka maupun duka. Namun saat itu seolah serempak meninggalkannya. Apalagi ia belum menyelesaikan pendidikannya sebagai dokter. Dunianya seakan runtuh, ia hanya bisa ikhlas dan sabar.
Saat itu ia tidak tahu di mana ia harus mengadu tentang masalah hidupnya. Hidup penuh cobaan secara bertubi-tubi. Di tinggal selama dengan orang yang ia sayangi dan dia dalam keadaan hamil. Hingga ia menyalahkan dirinya sendiri. Pikiran saat itu tidak bisa berpikir secara jernih. Ia bukan wanita yang bisa dekat dengan orang jika dalam masalah berat, yang hanya ia bisa lakukan hanyalah menangis.
Awalnya ia ingin menceritakan semua masalah hidupnya dengan Kenny, namun sahabatnya terkena kasus skandal hubungan pria bernama Eros dan Juliet, yang menjadi pihak ketiga hubungan itu. Ia lalu mengurungkan niatnya, ia tidak ingin membebani pikiran Kenny, karena Kenny terlibat skandal.
Jadi ia hanya memendam masalahnya sendiri, selalu mengatakan diri sendiri bahwa ia harus ikhlas dan sabar. Tiap hari sesak karena batin semakin tersiksa. Kehamilannya semakin hari juga semakin bertumbuh dan berkembang. Sempat berkali-kali berpikiran untuk mengakhiri hidup, namun ia belajar sabar dan ikhlas.
Untung saja mas Marco selalu mensupportnya, berkali-kali saudaranya itu bertanya siapa ayah biologisnya, namun bibirnya terasa kelu untuk mengucapkannya. Ia hanya bisa menangis dama pelukan mas Marco. Saat itu mas Marco baru saja menyelesai profesinya sebagai dokter bedah toraks dan kardiovaskular, hanya bisa pasrah melihat keadaanya.
Setelah kepergian mama dan papa, mereka memutuskan kembali ke Jakarta. Mas Marco juga beberapa kali mengajaknya ke psikolog agar hatinya tenang. Lambat laun hatinya tenang dan ia sudah siap menerima kenyataan. Namun ia tetap menyelesaikan pendidikan kedokterann, walau tidak melanjutan pendidikannya menjadi spesialis.
Dua tahun berlalu, akhirnya ia bisa melewati semua. Ia melahirkan gadis kecil cantik yang ia beri nama Violet Kimberly yang artinya cinta dan berjiwa social. Ia juga sudah menyelesaikan pendidikan kedokterannya di klinik mas Marco bekerja.
Rubi membuka jasnya lalu menyampirnya di lengan. Ia mengambil tas nya dan lalu keluar dari ruangannya. Ia memandang perawat sedang berjaga di meja counter.
“Malam, dok.”
“Malam juga,” ucap Rubi.
“Mau pulang, dok?”
“Iya, saya mau pulang. Saya pulang duluan, ya.”
“Baik dok, hati-hati di jalan.”
Rubi keluar dari klinik, ia membuka central lock mobil. Ia melangkahkan kakinya menuju parkiran, ia masuk ke dalam mobil. Semenit kemudian mobil meninggalkan area klinik. Ia pernah mendengar pepatah mengatakan bahwa orang yang tidak pernah membuat kesalahan, maka tidak akan pernah mencoba sesuatu yang baru.
___
Tiga puluh menit kemudian Rubi sudah tiba di rumahnya. Ia memarkir mobilnya secara sempurna di gerasi. Rubi memandang bi Ati yang sedang membuka pintu utama. Bi Ati adalah asisten rumah tangganya yang bertugas menjaga Violet dan mengemasi rumah.
Ia sangat terbantu dengan adanya bibi di rumah ini. Rubi memperlihatkan makanan cepat saji yang tadi ia beli gerai terdekat dari rumahnya. Bibi menyambutnya dengan hangat.
“Bagaimana keadaan Violet, bi?” Tanya Rubi.
“Violet barusan tidur, non,” ucap bibi, membawa paperbag berlogo ayam.
“Malam ini bibi nggak masak, kan?” Tanya Rubi, menyimpan sepatunya di rak sepatu.
“Enggak non, kan tadi non ngasih tau, kalau kita mau makan KFC,” ucap bibi terkekeh.
Rubi melihat suasana rumah tampak lengang, hanya terdengar suara TV menyala. Ia senang kehadiran bibi di rumah ini, karena bibi menjaga Violet dengan baik. Bibi juga sudah ia anggap keluarga sendiri.
Rubi melangkahkan kakinya menuju kamarnya di sana ia menatap Violet sedang tidur dengan pulas di tempat tidur. Rubi menatap bibi masih berada di sampingnya.
“Yaudah, kita makan dulu ya bi. Mumpung Violet belum bangung.”
“Iya, non.”
“Saya juga belum mandi dari klinik, enggak berani deket Violet.”
Rubi dan bibi menuju meja makan, mereka makan dengan tenang malam ini bersama bibi. Satu-satunya teman di rumah adalah bibi. Ia bersyukur bahwa ia tinggal di komplek perumahan yang menjaga privasi setiap penghuninya. Ia sudah hampir satu tahun di rumah ini, namun tidak kenal dengan tetangganya. Gaya hidup di komplek perumahannya memangs seperti ini, sangat individual.
Jujur inilah yang ia cari, ia bisa bergerak bebas di rumah, tanpa ada keramaian, kebisingan, dan kemacetan, apalagi gossip para tetangga. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ia tinggal di rumah dengan non-komplek perumahan, pasti akan menjadi perbincangan ibu-ibu komplek karena ia memiliki anak di luar nikah. Tidak hanya itu, komplek rumahnya juga memiliki tingkat keamanan yang cukup baik dengan fasilitas lengkap.
****