"Buru-buru sekali Aruna," ucap Duma yang sudah berdiri di hadapan ku. "Oiya, eh kita main dulu yuk, itung-itung refreshing otak habis ujian hehehe," ajak Duma. Aku mendongak ke arah Duma sambil tangan ku menyampirkan tas ku ke bahu.
"Tak bisa untuk saat ini Duma, aku mau ke rumah sakit," tolak ku ajakan darinya.
"Ngapain?" tanya nya bingung.
"Ibu ku sakit di rawat di sana," jawab ku.
"Ibu Emma sakit apa?" tanya nya lagi.
"Tipes, kecapean juga ibu ku. Udah ya aku duluan," ucap ku sambil ingin beranjak pergi.
"Yaudah, nanti aku ke sana ya. Jangan lupa rumah sakit dan ruangan nya kasih tau di chat ya Aruna!" ucap nya. Aku mengangkat jari jempol ku. Oke.
Sebelum aku pergi ke rumah sakit, aku berpikir untuk pulang ke rumah terlebih dahulu untuk beres-beres rumah. Tentunya keadaan rumah saat ini pasti sangat berantakan. Ayah mana peduli dengan keadaan rumah. Mau rumah itu kotor, berantakan, mana mau dia membantu pekerjaan rumah. Pun aku segeralah membuka ponsel ku dan memesan ojek online di salah satu aplikasi yang terinstall di ponsel ku. Sambil menunggu ojek itu datang, aku berjalan menuju tukang siomay yang menangkring di depan sekolah. Aku membeli seporsi siomay tersebut untuk mengganjal perut ku. Karena, aku belum makan dari pagi.
"Bang, siomay ya," pesan ku kepada penjual nya.
"Oh iya, mau di bungkus atau makan sini neng?" tanya penjual tersebut.
"Bungkus aja," jawab ku. Sementara aku menunggu siomay ku di buat, aku mengirimkan pesan kepada ibu.
"Ibu aku pulang ke rumah dulu mau beres-beres, setelah itu aku akan langsung ke rumah sakit lagi," dan aku langsung mengklik tombol kirim.
"Ini neng udah jadi," ucap penjual siomay itu sambil memberikan bungkusan siomay yang aku pesan. Lalu, aku menerima siomay tersebut sambil memberikan uang yang aku ambil dari saku seragam sekolah ku.
"Ini bang! Terima kasih ya," ucap ku.
"Sama-sama neng,"
"Aruna!" aku menoleh ketika nama ku dipanggil oleh seseorang. Aku mencari siapa orang yang memanggil ku itu.
"Aruna Ardellia!"
"Iya, saya!" saut ku kepada driver ojek online yang ternyata memanggil ku daritadi. Aku melangkah ke arah nya.
"Sesuai tujuan ya dek?" tanya nya.
"Iya," jawab ku. Setelah aku mengaitkan pengait helm, aku langsung menaiki motor ojek tersebut.
"Pasti kerjaan di rumah sangat banyak," pikir ku.
Siang hari ini cuaca sangat terik sekali. Rasanya kulitku seperti terbakar. Lampu lalu lintas pun berubah menjadi merah. Dan semua pengendara pun berhenti. Aku membuka ponsel ku sebentar untuk melihat apakah ibu membalas pesan ku atau tidak. Benar saja, ada pesan baru yang dikirimkan dari ibu untuk ku. Aku membuka pesan dari ibu tersebut dan membaca nya.
"Iya sayang, di sini ada ayah kau,"
Aku menaikkan sebelah alis ku. Ada ayah? Ayah beneran datang ke rumah sakit? Aku tidak yakin jika ayah ke rumah sakit hanya untuk menemani ibu. Semoga saja ayah di sana tidak merepotkan ibu yang sedang sakit. Tidak lama lampu lalu lintas pun berubah kembali menjadi warna hijau, bertanda semua pengendara harus segera menjalankan kendaraan nya.
---
"Terima kasih ya bang," ucap ku. Aku langsung saja berjalan masuk ke dalam rumah. Memutar kunci pintu agar terbuka. Pertama kali yang aku lihat adalah banyak sekali bungkus-bungkus kacang dengan satu botol minuman alkohol yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Aku menghela napas ku kasar. Tidak salah lagi, ini semua pasti ulah ayah semalam. Tanpa pikir panjang lagi, aku menaruh terlebih dahulu tas sekolah ku di kursi. Aku langsung saja memungut sampah-sampah dari bungkus-bungkus kacang dan juga botol minuman alkohol bekas ayah. Aku menyapu, mengepel lantai, mencuci piring, mencuci baju, dan lain-lain. Membereskan semua pekerjaan rumah sendirian. Setelah semuanya selesai, aku berniat untuk menggoreng telur untuk mengisi perut ku. Ketika aku sedang menggoreng telur di wajan, terdengar suara ketukan dari pintu depan. Aku pun dengan segera mematikan terlebih dahulu kompor yang sedang ku nyalakan. Dan berjalan menuju pintu depan. Aku membuka pintu tersebut dan nampak lah Bu Ajeng yang sedang tersenyum sambil memegang rantang di tangan nya.
"Eh Bu Ajeng, masuk Bu silakan," ucap ku sambil membuka pintu lebih lebar agar Bu Ajeng masuk ke dalam.
"Lagi ngapain Aruna?" tanya Bu Ajeng sambil menaruh rantang yang entah isinya apa di atas meja ruang tamu.
"Itu ... Aruna lagi menggoreng telur buat makan Bu," ucap ku sambil duduk di kursi tunggal yang berada di hadapan Bu Ajeng.
"Sendirian aja di rumah?" tanya nya lagi sambil mengedarkan pandangan nya. "Ayah kau kemana?" lanjutnya.
"Ayah lagi ke rumah sakit Bu, jadi aku di rumah dulu mau beres-beres," jawab ku.
"Mau minum apa Bu? Biar Aruna buatkan," tanya ku.
"Eh udah, tidak usah. Bu Ajeng cuman sebentar aja kok. Ini Bu Ajeng bawakan makanan untuk Aruna makan siang, kebetulan tadi ibu liat Aruna turun dari motor ojek, dan ibu kepikiran buat ngasih makanan buat Aruna makan di rumah," ucap nya sambil menggeserkan rantang makanan ke arah ku.
"Ih ngerepotin ya Bu, Aruna jadi tidak enak," ucap ku.
"Tidak kok, Aruna kan udah ibu anggap seperti anak ibu," ucap nya tersenyum. "Yaudah, Bu Ajeng langsung pulang ya, nanti Bu Ajeng nengok Emma pas udah di rumah aja ya," ucap nya sambil berdiri.
"Iya Bu, terima kasih banyak ya Bu," ucap ku tersenyum.
"Iya sayang, udah ya ibu pulang. Pintu nya di kunci lagi ya," ucap Bu Ajeng berpesan. Aku mengangguk. Setelah Bu Ajeng pergi aku langsung menutup kembali pintu dan mengunci nya. Dan aku pun membawa rantang makanan yang ada di atas meja ke dapur untuk aku pindahkan ke atas piring. Dan aku melanjutkan kembali menggoreng telur.
---
"Aruna!" aku menolehkan kepala ku. Saat ini aku sudah berada di rumah sakit dan ingin masuk ke dalam lift untuk segera ke ruangan kamar rawat inap ibu. Aku melihat ke belakang ternyata itu adalah Duma yang sedang berlari kecil menuju ke arah ku.
"Untung kita ketemu di sini, jadi bisa ke ruangan ibu kau bareng deh," ucap nya dengan ceria.
"Kau sendirian?" tanya ku. Duma menggelengkan kepala nya, dan ia mengangkat jari telunjuk nya menuju ke arah seorang perempuan yang sedang berjalan ke arah ku dan Duma.
"Bersama ibu ku," jawab nya kemudian.
"Aruna ya?" tanya ibu Duma ke arah ku sambil tersenyum. Aku mengangguk dan langsung bersaliman dengan nya.
"Ibu nya sakit apa?" tanya nya. Tepat sekali pintu lift pun terbuka dan aku, Duma bersama ibu Duma pun masuk dan langsung menuju lantai 2.
"Tipes Bu," jawab ku. Ibu Duma pun mengangguk. Di dalam lift kami semua tidak membuka pembicaraan. Tidak lama pintu lift pun terbuka di lantai 2, kami semua segera keluar dari lift dan langsung menuju ke kamar rawat inap ibu. Ketika kami semua sudah berada di depan pintu kamar ibu, aku mengetuk terlebih dahulu pintu tersebut dan langsung membuka nya. Di sana aku melihat ibu yang sedang tertidur di ranjang nya dan ayah yang juga tertidur sambil duduk di sofa tunggal di pojokan.
"Eh udah pada tidur?" tanya ibu Duma kemudian. Aku tersenyum tidak enak.
"Sebentar, aku bangunin dulu ya Bu," ucap ku. Setelah aku menaruh parsel buah-buahan dari Duma dan parsel buah-buahan yang ku beli ke atas meja, aku langsung saja membangunkan ibu.
"Ibu, bangun Bu. Ada Duma dan ibu nya mau ngejenguk ibu," ucap ku sambil menepuk pelan lengan ibu. Tidak susah untuk membangunkan ibu. Karena, memang ibu itu orang nya jika tertidur dan mendengar ada sedikit suara yang mengganggu nya, maka ibu pun langsung bangun.
"Eh? Sudah datang Aruna?" ucap nya ketika membuka kedua mata nya. Aku mengangguk.
"Itu, Duma dan ibu nya mau menjenguk ibu," ucap ku memberitahu. Ibu pun langsung saja mengubah posisi nya menjadi duduk dan bersandar. Duma dan ibu nya pun menghampiri ibu.
"Hai ibu Emma," sapa Duma dengan tersenyum. Sementara itu, aku berjalan ke arah ayah yang masih tertidur sampai-sampai terdengar dengkuran yang sedikit keras. Aku menepuk bahu ayah.
"Ayah! Bangun!" ucap ku. Dan seperti biasa ayah sangat sulit sekali untuk di bangunkan.
"Biarkan saja Aruna, ayah kau mungkin capek," ucap ibu tiba-tiba. Aku pun menuruti ibu untuk tidak membangunkan ayah lagi. Aku menggelar karpet tipis di lantai dan langsung duduk di sana. Duma pun menghampiri diri ku dan duduk di samping ku.
"Oh ya? Sama dong Bu Lamtiar, saya juga dari Desa Adat Ragi Hotang. Saya lahir nya di sana," ucap ibu. Aku hanya mendengarkan saja pembicaraan ibu ku dengan ibu Duma. Duma yang di samping ku itu pun daritadi hanya memainkan ponsel nya saja.
"Lah iya? Jangan-jangan kau Emma yang tinggal di dekat warung nya nenek Ampa itu, yang di depan warung nya itu loh, yang rumah nya banyak sekali tanaman-tanaman bunga," ucap ibu Duma.
"Eh? Iya saya yang tinggal nya di dekat warung nenek Ampa. Kau Lamtiar Malungun kah? Soalnya saya punya teman dekat di sana namanya sama seperti ibu. Lamtiar juga dia namanya," ucap ibu ku.
"Iya benar, kau Emma Fabiola? Astaga! Saya tidak menyangka loh kalau bisa bertemu di kota ini. Saya pikir kau pindah rumah kemana gitu. Yaampun Emma, kangen sekali saya sama kau," ucap ibu Duma sambil memeluk ibu ku. Aku mendengarkan pembicaraan mereka daritadi. Aku menangkap pembicaraan mereka, kalau ibu ku dengan ibu Duma adalah teman semasa kecil di desa, tempat mereka di lahirkan.
"Aruna dan Duma juga temenan lagi ya, yaampun saya tidak menyangka beneran aja," ucap ibu Duma. Mereka pun melanjutkan pembicaraan mereka kembali mengenang masa kecil mereka.
---
"Nanti kapan-kapan saya main ke rumah kau deh Emma," ucap ibu Duma. Iya, mereka saat ini ingin pulang, karena jam juga sudah menunjukkan pukul delapan malam.
"Iya main aja, kan Duma udah pernah main ke rumah ibu Emma kan waktu itu?" tanya Emma sambil menatap Duma. Duma mengangguk tersenyum.
"Yaudah, saya dan Duma pulang dulu ya. Suami saya udah menunggu di parkiran nih,"
"Iya hati-hati ya Lamtiar," aku pun tak lupa bersaliman kepada ibu Duma dan mengantar Duma beserta ibu nya ke depan ruangan.
"Aku pulang ya Aruna, dadah!" ucap Duma sambil melambaikan tangan nya. Aku pun membalas lambaian tangan nya itu.
"Emma! Saya ingin pulang sekarang. Dan saya minta duit dong, saya ada perlu nih," terdengar suara ayah yang berbicara kepada ibu. Ya, sedari tadi ayah juga sudah bangun dari tidur nya dan mengobrol-ngobrol sedikit dengan ibu Duma juga tadi. Aku pun segera masuk ke dalam.
"Kau ini duit terus ya bang! Saya sedang mikir untuk p********n di rumah sakit ini, tau tidak sih?! Kau ini setidaknya jika tidak membantu saya, coba kau jangan menyusahkan istri kau ini, apalagi saya sedang sakit seperti ini. Kalau saya kasih kau duit terus, lantas saya bayar rumah sakit ini gimana?!!" ucap ibu dengan intonasi suara nya sedikit tinggi. Aku pun masih memerhatikan mereka dari tempat ku berdiri di dekat pintu.
"Ya daripada saya ngutang sama orang, terus bayar nya berbunga lagi, kau kan kan ada duit. Jagan pelitlah sama saya," ucap ayah yang masih tidak mau mengalah. Aku yang mendengar adu mulut mereka itu pun sangat geram. Tidak di rumah, tidak di rumah sakit. Mereka ribut terus. Dan yang di ributkan itu selalu tentang uang. Lelah sekali melihat mereka setiap hari selalu seperti ini.
"Dasar istri tidak berguna!!!" ucap ayah membentak ibu. Tiba-tiba ayah pun membalikkan badannya dan berjalan dengan cepat, aku yang masih di dekat pintu pun di dorong oleh nya ke samping sampai aku menabrak dinding. Ayah pun membuka pintu dan menutup nya dengan sangat kuat. Sampai aku pun terlonjak kaget mendengar suara dentuman pintu tersebut. Aku pun langsung saja berjalan ke arah ibu dan memeluk ibu yang sedang menangis dengan menutupi wajah nya dengan kedua telapak tangan nya itu. Aku menenangkan ibu. Mengingat ayah, aku sangat kesal sekali dengannya, ingin aku teriak di hadapan wajah ayah. Kalau yang tidak berguna itu sebenarnya adalah ayah. Melihat ibu menangis sesenggukan seperti ini, aku pun ikut meneteskan air mata ku. Sedih sekali rasanya memiliki ayah yang seperti itu.
"Udah ya ibu, tenang .... tenangkan diri ibu," ucap ku sambil mengusap-usap punggung ibu. Tidak terasa ibu pun tertidur di pelukan ku. Aku dengan segera memindahkan kepala ibu ke atas bantal nya, lalu tak lupa aku selimut kan tubuh ibu agar tidak kedinginan. Aku pun duduk di kursi samping kasur ibu dan tertidur sambil memeluk lengan ibu.
[]