Bab. 57

1989 Kata
       Aku dan ibu menaiki tangga untuk menuju kelas ku. Ya, hari ini adalah hari pembagian rapot murid-murid di SMA PELITA NUSA. Seperti biasa yang menjadi wali ku untuk mengambilkan rapot sekolah ku adalah ibu ku sendiri. Tibalah aku dan ibu di depan kelas ku. Aku dan ibu lantas langsung masuk ke dalam dan mencari dua kursi yang kosong untuk ku dan ibu. Di dalam kelas sudah banyak sekali murid-murid sebelas IPA satu yang sudah datang dengan masing-masing orang tua nya.         "Di sana aja Bu kita duduk nya," ucap ku sambil menunjuk dua bangku kosong di pojok kelas. Ibu pun mengangguk mengikuti ku berjalan menuju dua bangku kosong tersebut. Aku dan ibu pun duduk di sana. Aku mengedarkan pandangan ku, mencari sosok yang kini aku sudah menganggap nya lebih dari sahabat. Duma. Aku mencari Duma. Namun, ternyata dia belum datang. Aku mengeluarkan ponsel ku dari saku seragam baju ku. Membuka salah satu aplikasi media sosial milik ku.         "Pah, liburan nanti ayo dong kita ke Bali, bosen tau di Medan terus," tiba-tiba aku mendengar salah satu teman kelas ku yang sedang membicarakan liburan bersama orang tua nya.         "Boleh, nanti kita langsung pesan tiket nya," aku melirik ke arah samping ku. Ternyata yang membicarakan tentang liburan daritadi adalah Tiwi bersama ayah nya. Aku hanya tersenyum miris. Terkadang aku iri sekali dengan kehidupan mereka yang selalu di berikan kesenangan oleh Tuhan. Aku ingin sekali seperti mereka, namun apa daya kehidupan keluarga ku tidak seindah dan tidak seharmonis seperti keluarga mereka. Setiap hari di rumah orang tua ku selalu saja bertengkar. Rumah yang seharusnya menjadi salah satu tempat ku beristirahat, tempat yang harusnya memberikan ketenangan untuk diri ku itu malahan sebaliknya. Aku termenung. Aku memikirkan sampai kapan ini semua berakhir. Sampai kapan.        "Itu Duma," aku sedikit terkejut ketika ibu memegang bahu ku.         "Kau melamun?" tanya ibu yang sepertinya menyadari kalau aku sejak tadi diam termenung. "Mikirin apa sayang?" tanya ibu sambil menyelipkan rambut panjang ku ke telinga sebelah kanan ku. Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala ku.        "Tidak ada Bu," jawab ku.        "Tenang saja, nilai kau pasti akan sangat bagus," ucap ibu. Aku mengangguk walaupun bukan masalah itulah yang sejak tadi berada di pikiran ku.         "Oh iya tadi kenapa Bu?" tanya ku.        "Itu Duma bersama ayah nya," jawab ibu sambil menunjuk ke arah Duma dengan ayah nya yang duduk di depan. "Kau tidak ingin menghampiri nya?" tanya ibu lagi. Aku menggelengkan kepala ku. Tidak lama guru wali kelas ku pun datang dengan dua orang siswa laki-laki yang membantu membawa rapot murid-murid kelas sebelas IPA satu.        "Terima kasih ya nak," ucap wali kelas ku tersebut kepada dua orang murid laki-laki itu. Setelah itu kedua murid laki-laki tadi itu pun pergi.         "Selamat pagi bapak-bapak, ibu-ibu dan beserta seluruh siswa siswi kelas sebelas IPA satu," sapa wali kelas ku. Bu Sri.        "Pagi Bu,"         "Iya... Hari ini adalah hari yang telah di tunggu-tunggu oleh semua murid-murid kelas sebelas IPA satu dan mungkin juga bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian juga sudah tidak sabar untuk melihat hasil anak-anak nya selama belajar di semester dua ini," ucap Bu Sri.         "Iya Bu, benar," saut salah satu ibu-ibu yang merupakan salah satu wali murid di kelas sebelas IPA satu ini.         "Kalau begitu langsung saja ya saya akan membagikan langsung rapot semua murid-murid di kelas ini," ucap Bu Sri sambil berjalan ke tempat duduk nya. Kemudian, Bu Sri pun mengambil salah satu rapot dan langsung memanggil nama nya.        "Arya Wiguna," panggil Bu Sri. Kemudian, Arya dan ayah nya pun langsung berdiri dan berjalan menghampiri Bu Sri. Aku menolehkan kepala ku ke arah jendela, melihat suasana di lapangan saat ini.         "Hei!" aku terkejut kembali ketika ada yang menggebrak pelan meja yang beraad di hadapan ku. Aku menolehkan kepala ku. Ternyata itu Duma.        "Aish! Kau bikin aku kaget saja," ucap ku sambil memukul pelan lengan nya. Duma hanya menyengir saja.         "Hai ibu Emma!" sapa Duma kepada ibu ku. Ibu ku pun tersenyum.        "Sama siapa Duma?" tanya ibu basa-basi. Duma pun menunjuk ke arah ayah nya yang sedang duduk di depan sambil memainkan ponsel nya.         "Ayah," jawab nya. Ibu pun mengangguk. Lalu, ibu kembali memperhatikan Bu Sri yang masih memanggil beberapa siswa siswi untuk segera maju mengambil rapot nya.         "Aruna Ardellia Felicia," nama ku pun di sebut oleh Bu Sri. Lalu, aku dan ibu pun segera beranjak menuju Bu Sri yang sudah menunggu ku di kursi nya itu. Ibu pun langsung duduk di kursi yang telah di sediakan di hadapan Bu Sri. Bu Sri tersenyum kepada ku dan ibu.        "Selamat ya Aruna, kau mendapat peringkat pertama lagi," ucap Bu Sri sambil mengulurkan tangan kanan nya ke hadapan ku. Aku pun langsung saja menyambut uluran tangan Bu Sri dan mencium punggung tangan Bu Sri.         "Terima kasih Bu," ucap ku.         "Nilai nya sangat bagus ya Aruna, ibu sangat senang melihat nilai yang ada di rapot kau. Sempurna," ucap Bu Sri sambil menunjukkan nilai-nilai rapot ku. Aku tersenyum bangga melihat nilai ku di semester ini.         "Belajar yang lebih giat lagi ya, kau sekarang sudah kelas dua belas. Dan nanti setelah lulus dari SMA PELITA NUSA semoga kau bisa di terima di perguruan tinggi negeri yang kau inginkan ya," ucap Bu Sri menyemangati ku. Aku hanya mengangguk. Ya, semoga saja aku bisa melanjutkan pendidikan ku setelah lulus dari SMA PELITA NUSA ini nanti. Kemudian, ibu pun langsung berdiri dari duduk nya. Ibu berjabat tangan dengan Bu Sri.         "Terima kasih ya Bu," ucap ibu dan aku. Ketika melewati ayah Duma. Aku tersenyum ke arah nya.        "Sudah Aruna?" tanya ayah Duma ketika aku melewatinya. Aku mengangguk.        "Duluan ya om," ucap ku. Setelah itu aku pun menyusul ibu yang sudah berjalan keluar kelas.         "Ibu bangga sekali dengan kau, nak," ucap ibu sambil mengusap kepala ku. Aku tersenyum menanggapi nya.         "Kau bisa mendapatkan nilai yang sempurna seperti ini nak. Benar sekali yang di katakan oleh wali kelas kau tadi, kau harus belajar lebih giat lagi agar kau bisa masuk ke perguruan tinggi negeri di kota ini," ucap ibu. Aku mengangguk.        "Iya Bu," ucap ku singkat. Aku melihat Ibu yang melirik jam nya yang melingkar di pergelangan tangan nya itu.        "Sayang, kau pulang duluan saja ya nak, sekarang ibu mau berangkat kerja, kau naik ojek atau bus aja ya nak," ucap ibu ketika aku dan ibu sudah berada di dekat gerbang sekolah ku. "Tidak apa-apa kan?" tanya ibu. Aku mengangguk. Kemudian, aku dan ibu pun berpisah di gerbang. Ibu yang berjalan ke arah kanan untuk menghampiri salah satu ojek yang mangkal di sana. Dan aku yang berjalan ke arah kiri untuk menuju ke arah halte bus. Aku duduk di kursi halte yang di sediakan. Membuka kembali rapot ku untuk melihat nilai-nilai hasil aku belajar di SMA PELITA NUSA ini. Aku tersenyum melihat nilai-nilai ku yang semuanya hampir sempurna. Namun, seketika senyuman di bibirku pun menghilang perlahan. Aku menatap datar ke semua nilai-nilai yang ada di dalam rapot ku ini. Aku berpikir. Apakah nilai-nilai di rapot ku ini semua nantinya akan berguna untuk aku bisa masuk ke perguruan tinggi negeri? Apakah setelah aku lulus dari SMA PELITA NUSA ini aku akan melanjutkan kembali pendidikan ku seperti layaknya orang-orang yang melanjutkan pendidikan nya ke berbagai perguruan tinggi negeri? Apakah aku bisa? Apakah nanti ibu bisa membiayai aku kuliah? Atau kah setelah lulus dari SMA PELITA NUSA ini aku akan langsung bekerja? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di pikiran ku. Aku termenung cukup lama. Sampai ketika terdengar sebuah klakson mobil yang berbunyi. Aku pun mendongak melihat siapa pelaku yang membunyikan klakson mobil nya tersebut.         "Aruna! Ayo masuk ke dalam," ucap Duma yang berada di dalam mobil. Ternyata Duma sudah mengambil rapot nya. Aku pun bangun dari kursi halte dan berjalan menuju mobil yang di tumpangi oleh Duma dan ayah nya.        "Ayo cepat masuk ke dalam, ayah ku akan mengantarkan kau pulang. Kita pulang bersama," ucap Duma lagi. Aku menatap ayah Duma.        "Iya, masuklah ke dalam Aruna. Om akan mengantar kau," ucap ayah Duma. Aku tersenyum tidak enak. Namun, aku pun langsung saja membuka pintu mobil dan langsung masuk ke dalam.         "Ibu kau kemana Aruna? Kok kau sendirian di halte?" tanya Duma. Ayah Duma pun menatap ke arah ku lewat kaca spion depan mobil.         "Ibu ku sudah pergi duluan tadi naik ojek untuk berangkat kerja Duma," jawab ku. Duma mengangguk.        "Biasa ibu nya kerja pulang jam berapa Aruna?" aku mengalihkan pandangan ku ke arah ayah Duma yang sedang menyetir.         "Tergantung sih om. Kadang ibu pulang larut malam, kadang jam tujuh malam udah pulang," jawab ku.         "Ayah juga bekerja?" tanya nya lagi. Aku pun bingung harus menjawab apa. Apakah aku harus menjawab jujur atau bohong kepada ayah Duma? Aku terdiam cukup lama.        "Ayah ... Kerja kok om. Tapi, kerja nya seperti serabutan gitu," jawab ku berbohong. Iya, aku lebih memilih berbohong dengan ayah Duma ketimbang aku harus bicara jujur, kalau ayah itu tidak bekerja. Bahkan tidak pernah bekerja. Aku malu jika aku bicara jujur tentang ayah. Malu sekali. Aku tidak ingin orang-orang malah tambah mencap buruk tentang keluarga ku.        "Oh iya, itu ayah kau ya yang waktu itu, ketika aku dan ibu malam-malam menjenguk ibu kau di rumah sakit?" tanya Duma.         "Iya Duma, itu ayah ku," ucap ku singkat. Entah kenapa, ketika membahas tentang ayah, aku rasanya seperti malas sekali untuk menanggapi nya. Seperti tidak ingin menjelaskan sesuatu tentang ayah ketika ada yang menanyakan tentang ayah ku.         "Bagaimana nilai kau Duma?" tanya ku mengalihkan pembicaraan agar tidak terus menerus membahas keluarga ku.         "Bagus kok, cuman tadi Bu Sri memperingati ku untuk belajar lebih giat lagi agar nilai ku lebih maksimal," jawab Duma. Aku mengangguk paham.        "Iya nih, kalau bisa Duma belajar dengan Aruna saja lah. Pusing om itu Aruna liat Duma di rumah hanya main handphone aja atau tidak membaca n****+-n****+ yang ada dikamar nya itu," ucap ayah Duma. Aku tersenyum kecil.        "Ih ayah! Aku kan udah belajar sangat giat di rumah, aku juga jarang main ponsel di rumah. Jangan Ngada-ngada deh," ucap Duma mencoba mengelak.        "Halah!" aku tersenyum melihat interaksi antara Duma dan ayah nya. Membayangkan kapan aku bisa berinteraksi dengan ayah layaknya Duma berinteraksi dengan ayah nya dengan santai, seru seperti itu. Aku ingin sekali rasanya. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya di sayang, di lindungi, di perhatikan oleh ayah ku sendiri. Dia itu ayah kandung bukan lah ayah tiri. Tapi, kenapa sikap nya seperti ayah tiri. Sikap nya yang seperti tidak menghargai ku kalau aku itu anak nya. Sikap nya yang selalu kasar kepada ku. Apakah ketika dulu aku pernah berbuat kesalahan? Kurasa tidak. Atau aku memang bukanlah anak kandung dari ayah? Tapi, itu tidak mungkin. Aku yakin aku adalah anak kandung dari ayah ku. Abraham. Sampai saat ini aku masih memikirkan kenapa sikap ayah selalu kasar dengan ku. Sampai ketika aku melihat seseorang yang mirip dengan ayah yang berlari sangat kencang dengan di susul oleh segerombolan banyak warga-warga yang mengejar nya. Aku melihat terus ke belakang. Apakah benar itu ayah? Lantas kenapa ayah di kejar-kejar seperti itu layaknya ia seorang jambret?         "Aish! Ada apa sih itu kok kejar-kejaran seperti itu," aku mendengar gumaman ayah Duma. Aku masih saja menengok ke belakang, memastikan apakah benar itu ayah? Atau hanya penglihatan ku saja yang salah?         "Nah sudah sampai Aruna," aku pun menoleh ke arah ayah Duma.         "Terima kasih ya om," ucap ku sambil membuka pintu mobil dan aku pun turun dari mobil. Aku berdiri di samping pintu tempat ayah Duma mengemudikan mobil nya.        "Mau mampir dulu?" tanya ku menawarkan.         "Terima kasih Aruna, om langsung pulang ya. Ibu Duma udah menelpon soalnya," ucap ayah Duma menolak. Aku pun mengangguk paham. Duma tersenyum ke arah ku.        "Kapan-kapan main ke rumah ku ya Aruna," ucap Duma. Aku pun mengangguk pasti.        "Om langsung aja ya Aruna," ucap ayah Duma.         "Iya om, hati-hati ya. Terima kasih sekali lagi," ucap ku. Kemudian, mob ayah Duma pun kembali berjalan bergabung dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Aku pun langsung berjalan masuk ke dalam gang rumah ku. Aku memikirkan tentang tadi, apakah tadi ayah atau bukan? Tapi, jika ayah kenapa dia harus dikejar-kejar begitu? Baiklah, aku akan menunggu ayah pulang ke rumah saja dan aku akan menanyainya langsung kepadanya. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN