Bab. 56

1809 Kata
     "Kusut sekali sih bang Abraham muka nya, ada apa sih emang?" tanya Bonar yang sedang duduk dan menyantap beberapa gorengan yang masih panas. Ya, saat ini Abraham dan Bonar sedang berada di warung biasa yang sering mereka gunakan untuk tempat perjudian dan minum-minum. Di sana tidak hanya ada Bonar dan Abraham saja, melainkan banyak juga bapak-bapak pengangguran yang sedang berbincang-bincang tidak jelas.       "Pusing saya Bonar," ucap Abraham sambil mengusap wajah nya kasar.       "Kenapa? Soal duit lagi? Istri Abang tidak memberikan duit?" tanya Bonar. Abraham memejamkan kedua mata nya.      "Ya, seperti itulah. Dia kan abis sakit, terus juga dia banyak keluar duit kayak p********n biaya rumah sakit nya dan lain-lain. Terus dia juga belum gajian juga dari kerjaan nya, semua tabungan dia ludes. Habis. Tidak ada sisa. Dan itu masalah yang saya pikirkan, dia jadi tidak bisa memberikan saya duit. Sedangkan, saya ini mau main judi lagi, dengan bermain judi itu siapa tau saya bisa memenangkan nya, tapi saya tak ada duit buat modal awal nya," ucap Abraham.       "Ya kalau Abang mau main judi, kan bisa minjam uang saya bang. Biasanya juga kan gitu," ucap Bonar dengan masih sambil mengunyah gorengan yang tersedia di atas meja.      "Saya tidak enak Bonar sama kau, kau kan juga lagi pusing menabung buat biaya persalinan anak kau. Masa saya mau minjam duit kau untuk berjudi," ucap Abraham pura-pura tidak enak. Sebenarnya, Abraham sangat senang sekali ketika Bonar bilang seperti itu. Tapi, Abraham hanya ingin berpura-pura tidak enak saja.       "Aih, kayak sama siapa aja sih bang Abraham ini. Santai aja lah, kan Abang nih jago sekali main judi nya dan selalu menang terus, nah uang dari situ Abang bisa ganti ke saya, tenang saja lah bang. Sekarang Abang butuh berapa?" tanya Bonar dengan santai. Tanpa pikir panjang Abraham pun menyebutkan nominal yang ia butuhkan.      "Lima ratus ribu aja Bonar, ada tidak?" tanya Abraham. Bonar sedikit terkejut mendengar nominal yang disebutkan oleh sahabat nya itu. Bonar pun tak kunjung menjawab pertanyaan dari Abraham. Bonar masih menimbang-nimbang apakah ia harus meminjamkan uang dengan nominal yang cukup besar itu ke Abraham?      "Bonar!" panggil Abraham sambil menepuk pelan paha Bonar. Bonar mengerjakan mata nya dan beralih menatap Abraham yang sedang menikmati gorengan nya dengan cabai rawit. Abraham menaikkan sebelah alis nya, menatap Bonar.      "Ada tidak? Kalau tidak ada sih tidak apa-apa, berarti saya harus berpikir mencari pinjaman ke yang lain, tapi pasti tidak ada yang mau meminjamkan nya sih," ucap Abraham dengan wajah nya yang di sedih-sedihkan.       "Yaudah gini aja bang, Bonar ada kok uang segitu. Tapi, Abang harus cepat mengganti nya ya? Itu uang persalinan anak saya bang, kalau bisa bulan ini juga Abang udah bisa mengganti uang nya, gimana?" tanya Bonar. Abraham berpikir sebentar. Kemudian, tidak lama ia pun menganggukkan kepala nya, menyetujui ucapan Bonar.       "Yaudah, nanti kan besok malam ada main judi kan di sini, nah nanti saya ikutan. Terus kalau saya menang, nanti akan saya langsung ganti uang kau itu," ucap Abraham.       "Oke, tunggu sebentar di sini ya. Saya pulang dulu untuk ambil duit nya," ucap Bonar sambil bangun dari duduk nya. Kemudian, Bonar pun pergi berjalan kaki menuju rumah nya.  ---       "Hai Em!" sapa Lamtiar ketika Emma menghampiri meja yang di tempati oleh Lamtiar. Emma tersenyum ke arah Lamtiar.       "Hai!" balas Emma dengan mata nya pun melirik sebentar ke arah pria yang sedang duduk dengan memainkan ponsel nya di sebelah Lamtiar. Lamtiar yang sadar dengan lirikan mata Emma ke arah suami nya itu pun langsung saja mengenalkan suaminya itu ke Emma yang masih berdiri dengan tangan nya memegang pena dan sebuah buku kecil.        "Kenalin Emma, dia suami saya," ucap Lamtiar memperkenalkan suami nya yang berada di sebelahnya.        "Namanya, Jogi Maruli," ucap Duma. Jogi pun mengulurkan sebelah tangan kanan nya ke arah Emma.       "Jogi, suami Lamtiar," ucap Jogi. Emma tersenyum.       "Emma Fabiola, teman Lamtiar," balas Emma. Kemudian, mereka pun sama-sama saling melepaskan jabatan tangan mereka. Emma seperti tidak asing melihat wajah suami Lamtiar. Seperti Emma pernah melihat nya, namun Emma lupa dimana.       "Kalau tidak salah kau yang menemukan sebuah kartu milik ku di minimarket bukan?" tanya Jogi. Emma pun lantas langsung mengingat kejadian itu, kejadian dimana Emma mengembalikan sebuah kartu kepeda seseorang laki-laki. Dan ternyata itu adalah suami Lamtiar. Teman nya dulu ketika mereka masih tinggal di desa. Dan dengan kejadian itu juga, Emma pun ribut-ribut dengan suami nya. Abraham. Yang menuduhnya selingkuh dengan pria ini. Pria yang status nya adalah suami dari teman nya sendiri.       "Iya pak," jawab Emma membenarkan.       "Jangan panggil pak, panggil Jogi saja biar lebih akrab," ucap Jogi. Emma mengangguk.       "Udah saling kenal kalian?" tanya Lamtiar yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan Jogi dan Emma.        "Ini loh Lamtiar, dia yang membantu menemukan kartu milik ku," jawab Jogi.        "Kartu apa?" tanya Lamtiar.       "Kartu tanda pengenal ku di kantor," jawab Jogi. Lamtiar pun mengangguk paham.        "Oh iya, kalian mau pesan apa?" tanya Emma sambil bersiap untuk menuliskan beberapa pesanan yang akan di sebutkan oleh Emma dan Jogi. Kemudian, Lamtiar dan Jogi pun menyebutkan pesanan yang mereka inginkan. Emma pun mencatat semua pesanan mereka.       "Tunggu sebentar ya, pesanan kalian akan segera di buat," ucap Emma. Kemudian, Emma pun pergi dari hadapan Jogi dan Lamtiar.       "Dia itu ibunya Aruna," ucap Lamtiar kepada Jogi.       "Bisa kebetulan gitu ya," ucap Jogi. Lamtiar pun mengangguk setuju.        "Suaminya kerja apa?" tanya Jogi. Lamtiar menggelengkan kepalanya.       "Aku juga tak tau, aku belum sempat ngobrol-ngobrol banyak dengan nya, dia juga kelihatan nya sibuk sekali kan," ucap Lamtiar sambil menatap Emma yang berjalan bulak balik menuju pelanggan yang satu ke pelanggan lainnya.       "Iya benar, mungkin karena dengan dia bekerja keras ini, dia bisa membantu suaminya untuk membiayai kebutuhan keluarga mereka," ucap Jogi yang sedikit kagum dengan Emma yang sepertinya ia adalah orang yang pekerja keras.  --- Aruna        "Besok udah pembagian rapot, aku sangat tidak sabar menunggu nya. Aku penasaran dengan nilai ku," ucap Duma memulai pembicaraan. Kini aku dan Duma sedang berada di kantin untuk makan. Hari ini tidak banyak kegiatan yang dilakukan di sekolah. Untuk hari ini hanya pengumuman pemenang lomba-lomba yang diadakan ketika class meeting kemarin. Dan kelas ku itu meraih 3 piala sekaligus. Pertama, juara pertama di pertandingan futsal, lalu juara kedua di pertandingan bola voli, dan yang terakhir juara pertama lagi untuk lomba catur. Tidak heran lagi, memang kelas ku ini tiap tahun nya selalu saja meraih juara.         "Iya benar. Aku pun sudah tidak sabar untuk mengetahu nilai ku," ucap ku menyetujui ucapan Duma. Duma berdecak kecil.        "Ah! Kalau kau mah tidak usah di ragukan lagi Aruna, nilai kau tentunya nilai yang paling sempurna di kelas, bahkan bukan hanya di kelas mungkin saja nilai kau adalah nilai yang paling sempurna di sekolahan ini," ucap Duma yang berlebihan.        "Aku mendapatkan nilai yang selalu sempurna itu juga, berkat usaha kerja keras ku Duma yang setiap hari, setiap malam selalu ku habiskan waktu ku untuk belajar. Aku tidak memiliki orang tua yang mempunyai uang banyak seperti orang-orang, di saat aku tidak belajar dengan sungguh-sungguh di saat itu lah kehidupan masa depan ku terancam," ucap ku serius kepada Duma. Duma terdiam mendengar ucapan ku. Memang benar, aku hanyalah seorang anak dari keluarga yang memiliki orang tua yang salah satunya bekerja hanya sebagai pegawai cafe. Hanya salah satunya. Satunya lagi? Yang harusnya menjadi kepala keluarga yang baik, yang seharusnya menafkahi keluarga nya dengan baik itu malah tidak bekerja. Iya, ayah ku. Ayah itu hanya menumpang hidup saja dengan ibu ku. Semuanya dari dulu juga ibu lah yang bekerja keras. Dan saat ini sudah mau kenaikan kelas dua belas. Yang artinya kurang dari setahun, aku akan lulus dari jenjang SMA ini. Aku harus menentukan masa depan ku sendiri. Aku tidak tau, apakah aku bisa melanjutkan pendidikan ku ke jenjang yang lebih tinggi lagi sampai aku bisa mendapatkan gelar sarjana atau tidak. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan untuk melanjutkan pendidikan ke salah satu perguruan tinggi. Salah satunya dan yang paling terpenting adalah uang. Itu adalah hal yang terpenting yang harus aku pertimbangkan sebelum melanjutkan pendidikan ku ke perguruan tinggi. Aku hanya bisa berharap kepada Tuhan untuk bisa memperlancarkan segala urusan ku.         "Tapi, Aruna apa kau tidak pernah merasa lelah?" tanya Duma. Aku yang sedang mengaduk-aduk kuah bakso sisa aku makan pun langsung mendongakkan kepala ku. Menatap Duma bingung.        "Lelah? Maksud kau lelah dalam artian?" tanya ku meminta penjelasan.        "Maksud ku, seperti yang kau bilang tadi kau setiap hari selalu belajar, kau hanya menghabiskan waktu kau itu hanya belajar, dan itu apa tidak membuat kau lelah?" tanya Duma. Ah! Aku paham maksudnya. Aku tersenyum kecil.         "Lelah ya Duma... Setiap hari aku lelah. Aku juga manusia yang perlu istirahat. Aku bukanlah robot. Lelah itu selalu menghampiri ku setiap saat. Pernah aku berpikir untuk berhenti melakukan itu semua, tapi lagi-lagi aku memikirkan tentang kesuksesan masa depan ku. Aku harus memikirkan ibu dan ayah ku. Di pikiran ku hanya ada kebahagiaan ibu dan ayah ku. Aku harus mencari cara bagaimana aku harus bisa membalas semua usaha-usaha, jasa-jasa yang telah mereka berikan untuk ku selama ini. Untuk saat ini, satu-satunya cara yang bisa aku lakukan yaitu aku harus belajar dengan giat agar aku bisa menjadi orang yang sukses dan bisa mengubah keadaan keluarga ku menjadi lebih baik lagi. Terutama kondisi finansial di keluarga ku, karena hal itulah yang membuatku sangat semangat untuk melakukan ini semua. Namun, lagi-lagi ini hanyalah rancangan sebuah rencana ku, ini hanyalah sebuah impian ku. Aku tidak tau kedepannya apakah aku bisa mewujudkan nya atau tidak, tapi aku hanya bisa berusaha dan berdoa kepada Tuhan ku, Duma," ucap ku menjelaskan agar Duma paham kondisi ku. Tapi, aku yakin Duma tidak akan pernah paham dengan kondisi ku. Tidak ada yang paham bagaimana sulitnya hidup ku selama ini. Sedari kecil aku sudah di tuntut untuk menjadi dewasa sebelum waktu nya. Aku bingung. Bingung ingin menyalahkan siapa dalam hal ini semua. Apakah aku harus menyalahkan ayah? Ibu? Diri ku sendiri? Atau ..... Tuhan? Tapi, sebenarnya tidak ada yang harus di salahkan. Hanya keadaan. Keadaan yang menuntut ku harus seperti ini. Ini semua memang takdir ku, namun bukankah takdir manusia bisa kita ubah sendiri? Bukankah kita bisa mengubahnya selagi kita berusaha?         "Aku kagum dengan kau Aruna, kau memiliki pemikiran yang sangat dewasa," ucap Duma. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi nya. Saat ini aku hanya bersyukur kepada Tuhan, ia masih baik memberikan aku kesehatan dan sebuah kehidupan untuk ku. Aku tau di luaran sana masih banyak sekali orang-orang dengan kehidupan nya yang lebih sulit dari ku ini. Semoga saja semua impian dan rencana yang sudah aku rangkai itu akan terwujud. Yah! Semoga saja.         "Aruna, ayo kita pulang. Sekarang sudah tidak ada kegiatan lagi di sekolah," ucap Duma sambil mengambil tas nya di atas meja. Aku pun mengangguk, lalu aku juga mengambil tas ku. Setelah kami membayar semua makanan yang telah kami makan. Aku dan Duma pun langsung berjalan menuju gerbang sekolah. Di sana kami pun berpisah dengan Duma yang masuk ke dalam mobil milik ayah nya dan aku yang berjalan menuju halte, menunggu sebuah angkutan umum yang akan ku naiki.         [] 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN