"Aku berangkat sekolah sekarang ya Bu," pamit ku kepada ibu yang sedang menyapu lantai dapur serta membereskan sampah-sampah bekas ia masak membuat makanan sarapan tadi. Ibu pun menghampiri aku.
"Oh yaudah, kerjakan ujian nya yang benar ya ya sayang, agar nanti ketika pembagian rapot kau bisa mendapatkan peringkat pertama lagi di kelas kau," ucap ibu berpesan kepada ku. Aku pun mencium punggung tangan ibu.
"Iya Bu, pasti!!" ucap ku dengan yakin. Aku pun mengedarkan pandangan ku mencari sosok ayah.
"Cari siapa Aruna?" tanya ibu yang menyadari kalau aku sedang mencari seseorang.
"Ayah ... Kemana ya Bu?" tanya ku.
"Tadi kan keluar, mungkin dia lagi manasin motor nya. Tuh... Dengar tidak suara mesin motor nya itu yang hidup?" tanya ibu.
"Iya, yaudah aku berangkat sekarang ya Bu. Sekalian, mau pamitan sama ayah di luar," ucap ku.
"Eh Aruna, sekalian aja kau minta sama ayah kau untuk mengantar kau ke sekolah, mumpung ayah kau ada di rumah dan sedang gituin motor nya, jadi kau kan bisa menghemat uang jajan kau," ucap ibu. Aku pun langsung mengangguk. Namun, aku tidak yakin jika ayah ingin mengantarkan aku ke sekolah. Karena, waktu itu pernah sekali aku meminta ayah untuk mengantar aku ke sekolah, kebetulan watu itu ayah juga ingin pergi keluar menggunakan motor nya itu. Namun, bukannya ayah mengantarkan aku ke sekolah, malah ayah menolak mentah-mentah permintaan dari ku. Aku berjaaln keluar rumah. Lalu, aku melihat ayah yang sedang memanaskan mesin motor nya itu. Aku pun berjalan menuju ke arah nya.
"Ayah..." panggil ku ke ayah yang sedang jongkok di samping motor nya dengan tangannya yang sedang memeriksa ban motor nya. Ayah yang mendengar aku memanggil nya pun mendongakkan kepala nya.
"Apa?" jawab ayah jutek.
"Aku pamit pergi ke sekolah," ucap ku sambil mengulurkan tangan ku untuk mengambil tangan ayah agar aku mencium punggung tangan nya, sama seperti yang aku lakukan kepada ibu tadi di dalam rumah.
"Ya," ucap nya. Lalu, ayah pun melanjutkan kembali kegiatan nya.
"Ayah, boleh tidak kau mengantarkan aku ke sekolah dengan motor ini?" tanya ku. Ayah pun menghentikan kegiatan nya itu.
"Apa? Aku mau saya mengantarkan kau ke sekolah?" tanya ayah kepada ku. Aku pun dengan pasti menganggukkan kepala ku.
"Iya ayah,"
"Kau tidak salah? Sudah sana pergi! jangan mengganggu pagi saya ini," ucap ayahs ambil mengibaskan tangan nya itu. Menyuruh ku pergi dari hadapan nya.
"Tapi ayah-"
"Udah sana pergi!! Biasanya juga kau berangkat sendiri, sudahlah tidak usah manja jadi orang. Kau itu di beri uang saku oleh ibu kau. Kau naiklah bus atau ojek untuk mengantar kau ke sekolah," ucap ayah dengan kasar memotong ucapan ku ketika aku ingin tetap meminta nya untuk mengantarkan aku ke sekolah. Lalu, tanpa pikir panjang lagi aku yang tidak ingin mendengar ucapan ayah yang semakin membuat hati ku sakit lagi pun, langsung saja aku pergi dari hadapan nya itu. Aku berjalan menuju ke depan gang rumah ku. Lalu, aku pergi menuju halte dan menunggu bus datang.
---
Ternyata di dalam rumah, Emma daritadi melihat interaksi antar suami dan anak nya itu lewat jendela rumah nya. Betapa menyedihkan nya anak nya tadi. Anak nya. Aruna. Yang meminta tolong kepada ayah nya untuk mengantarkan nya pergi ke sekolah pagi ini, di tolak dengan ayah nya yang membentak Aruna. Sakit hati Emma melihat kejadian itu. Aruna, pasti ingin sekali merasakan bagaimana rasanya ketika sekolah di antar oleh ayah nya itu. Sedari TK, SD, SMP, bahkan sampai SMA ini ayah nya itu tidak pernah mengantar Aruna. Untuk pembagian rapot pun, hanya Emma lah yang sering mengambil rapot Aruna. Suami nya itu tidak peduli tentang pendidikan anak nya. Emma pun melangkah pergi menjauhi jendela rumah nya itu. Emma kembali melanjutkan kegiatan nya membersihkan rumah. Ketika Emma sedang menyapu di ruang tv, suami nya. Abraham. Itu berjalan melewati Emma menuju ke kamar nya. Lalu, tidak lama Abraham kembali keluar dari kamar nya dengan sudah menggunakan jaket milik nya.
"Mau kemana bang?" tanya Emma kepada Abraham.
"Bukan urusan kau," jawab Abraham. Emma hanya menghela napas nya.
"Tadi Aruna minta kau untuk mengantarkan nya pergi ke sekolah kan?" tanya Emma. Abraham yang sedang merapihkan rambut nya itu dengan sisir di depan kaca yang menggantung di dinding itu hanya berdehem saja.
"Terus kenapa tidak kau antarkan anak kau itu ke sekolah nya?" tanya Emma dengan masih menyapu debu-debu di lantai di ruang tv.
"Biasanya juga bisa berangkat sendiri, kenapa juga harus saya mengantar nya sekolah. Kerjaan saya masih banyak yang penting daripada mengantarkan anak itu ke sekolah nya," ucap Abraham yang tidak merasa bersalah.
"Apa? Kau punya kerjaan yang lebih penting? Kerjaan apa emang?" tanya Emma menantang. Abraham menatap Emma lewat kaca yang berada di hadapan wajah nya itu.
"Kerjaan penting pokoknya, kau itu perempuan, kau tidak akan paham pekerjaan saya ini," ucap Abraham dengan santai.
"Ya apa salahnya sih mengantar anak kau ke sekolah dulu, baru kau pergi ke kerjaan kau itu bang,"
"Berisik sekali kau ini! Saya tidak punya waktu untuk mengantar anak kau itu,"
"Dia juga anak kau juga. Coba sih bang, sekali saja kau berikan perhatian kecil kepada Aruna. Aruna itu anak kita satu-satunya," ucap Emma.
"Halah! Jika saya memberikan perhatian saya ke dia, nanti lama-lama dia akan melunjak dengan saya. Saya itu bukan kau yang setiap hari memanjakan anak itu. Kau lihat dia, perilaku dia, sikap dia kepada saya. Akibat kau yang sering memanjakan nya, terkadang dia bicara dengan saya dengan sesekali membentak saya. Apa tidak kurang ajar itu anak!" ucap Abraham. Emma menggeleng-gelengkan kepala nya mendengar ucapan dari suami nya itu. Bisa-bisanya suami nya itu berpikir seperti itu terhadap anak kandung nya sendiri.
"Kau tau Abraham? Aruna itu memang terkadang berbicara dengan nada yang kasar dengan kau itu karena perbuatan kau sendiri, itu karena sikap kau sendiri yang kasar dengan Aruna. Kau yang setiap hari memarahi Aruna. Kau yang selalu menyalahkan Aruna. Memang, aku tidak membenarkan sikap Aruna yang terkadang berbicara kasar dengan kau, tapi kau juga sebagai ayah nya, kau itulah yang harus mengintropeksi diri kau sendiri bang! Meski Aruna posisi di rumah ini hanya menjadi anak, Abang itu tidak boleh bersikap semena-mena dengan Aruna," ucap Emma menyadarkan suami nya itu.
"Halah! Bodoamat saya tidak peduli. Sudahlah saya mau pergi dulu," ucap Abraham sambil menaruh sisir yang ia pakai tadi ke atas meja.
"Ingat ya bang! Jika kau bekerja, kau tidak boleh mencari uang dari pekerjaan yang salah, dari pekerjaan yang itu bisa merugikan diri kau sendiri dan keluarga ini," ucap Emma mengingatkan.
"Diam saja lah kau itu! Banyak omong sekali. Jangan sok jadi orang yang paling benar deh," ucap Abraham sambil menutup pintu rumah nya sampai menimbulkan bunyi yang sedikit keras. Emma menghembuskan napas nya kasar. Emma sudah capek sekali mengingatkan Abraham untuk tidak bersikap kasar dengan anak semata wayangnya itu.
---
Abraham berjalan menghampiri motor nya yang sudah terparkir. Abraham pun langsung menaiki motornya itu, lalu memutar kunci motor nya agar mesin motor nya itu hidup. Setelah itu, Abraham langsung menarik gas motor nya agar motor matic nya itu berjalan meninggalkan rumah nya.
"Bonar!!" panggil Abraham ketika Abraham tidak sengaja melihat Bonar yang sedang berjalan dengan sebelah tangan nya menjinjing sekantong plastik berwarna hitam. Bonar yang merasa ada yang memanggil nya itu pun membalikkan badan nya. Bonar pun tersenyum ketika yang memanggil nya itu adalah sahabat dekat nya. Abraham. Abraham yang membawa motor pun langsung saja mendekati Bonar.
"Abis darimana Bon?" tanya Abraham sambil mematikan mesin motor matic nya itu.
"Ini! Abis beliin makanan buat bini bang. Biasa lagi ngidam bini saya bang," ucap Bonar sambil mengangkat kantong plastik hitam yang di pegang nya itu ke hadapan Abraham yang duduk di atas motor matic nya.
"Lagi hamil emang bini kau Bonar?" tanya Abraham. Bonar pun terkekeh.
"Iya bang, udah lima minggu usia kandungan nya," jawab Bonar.
"Wih! Anak kau kan yang pertama masih kecil kan ya? Umur berapa? Lupa saya,"
"Baru satu tahun enam bulan bang anak saya yang pertama,"
"Cepet amat panen nya sih Bonar," ucap Abraham heran namun sambil terkekeh. Bonar pun ikut tertawa mendengar ucapan dari sahabat nya itu.
"Ya, tadinya sih saya belum ada niat buat nambah anak bang, cuman ya pas ngelakuin itu bini saya lupa kalau belum suntik kb, jadi ya gitu kebobolan," ucap Bonar.
"Ngomong-ngomong Abang tidak mau nambah anak lagi seperti saya bang?" tanya Bonar iseng.
"Udahlah cukup si Aruna aja. Ngurus si Aruna aja udah pusing saya. Belum biaya sekolah nya segala macem, kalau mau nambah anak bingung lagi saya dapat duit darimana nanti nya" ucap Abraham yang seolah-olah dialah orang yang paling pusing untuk mengurusi anak nya itu. Padahal selama ini Abraham tidak pernah mengurus Aruna, Abraham tidak pernah memberikan uang untuk Aruna. Selama ini hanya Emma lah yang mengurusi Aruna dari kecil hingga sekarang.
"Iya sih ya bang, saya juga sebenarnya sedikit pusing memikirkan nanti biaya persalinan bini saya, ya walaupun masih lama, tapi kan saya harus memikirkan biaya persalinan bini saya dari sekarang kan bang," ucap Bonar.
"Ya udah percaya aja sih Bonar, kalau kata orang dulu itu bilang nya banyak anak banyak rezeki, nah kau percaya aja siapatau anak-anak kau itu bisa membawa kemakmuran di hidup keluarga kau itu," ucap Abraham.
"Waduh si bang Abraham, kalau ngomong udah kayak orang bener aja hahahha," ucap Bonar sambil tertawa. Abraham pun ikut tertawa mendengar nya.
"Yaudah, kau ini mau pulang atau bagaimana?" tanya Abraham.
"Iya bang, saya mau pulang ini," jawab Bonar.
"Mau saya antar tidak?" tawar Abraham. Bonar pun mengangguk.
"Boleh deh bang," ucap Bonar sambil naik ke jok belakang motor matic milik Abraham. Kemudian, Abraham pun menghidupkan mesin motor nya dan menjalankan motor nya itu. Namun, di belakang daritadi, ternyata Emma melihat Abraham yang sedari tadi mengobrol dengan Bonar, sahabat karibnya itu.
---
Setelah Abraham mengantar Bonar tadi ke rumah nya, Abraham langsung saja pergi menuju tempat tujuan nya itu. Abraham mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan nya. Sekarang masih pukul sembilan lewat lima belas menit. Pantas saja, di jalanan masih sangat ramai sekali. Banyak orang-orang yang baru berangkat kerja ke kantor nya. Lampu lalu lintas pun menunjukkan lampu yang berwarna merah menyala. Abraham langsung menghentikan motor nya itu, menunggu lampu hijau menyala. Di jalan raya itu, Abraham melihat banyak sekali anak-anak yang bekerja berjualan koran. Mereka menawarkan kepada orang-orang yang berhenti ketika lampu merah menyala. Sampai ketika lampu hijau pun menyala, Abraham langsung saja menarik gas nya itu. Tidak lama, Abraham menepikan motor nya itu ke minimarket. Abraham memarkirkan motor nya di sana. Lalu, Abraham pun turun dari motornya dan langsung melangkahkan kaki nya masuk ke dalam minimarket itu. Abraham langsung saja ke meja kasir nya, karena memang Abraham di sana hanya membeli rokok sebungkus.
"Terima kasih," ucap Abraham setelah memberikan uang dua puluh lima ribu rupiah kepada kasir minimarket di sana. Lalu, Abraham pun keluar dari minimarket itu dan langsung berjalan menuju motor nya yang sudah terparkir di sana. Karena, Abraham memiliki janji dengan seseorang di salah satu cafe, maka Abraham pun langsung menjalankan motor nya ke cafe tersebut.
[]