Akhirnya Fina mau keluar dari kamar dan menemani Mario masak. Wajahnya lebih kelihatan segar kali ini. Piyama lusuhnya sudah berganti dengan kaus longgar berwarna pink bergambar Hello Kitty di bagian tengahnya. Kaki jenjangnya dibalut celana pendek selutut berwarna putih. Menurut Mario yang sudah lama tidak bertemu dengan Fina, asik sepupunya itu banyak berubah, wajahnya terlihat lebih dewasa, begitupun juga dengan tubuhnya yang kelihatan lebih matang dari pada saat masih remaja.
Sore harinya Mario mengajak Fina ke pantai Losari untuk menikmati sunset. Mereka berdua menghabiskan sore dengan duduk di atas kap mobil yang menghadap pantai. Lama keduanya terdiam dalam laju pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Mario memecahkan keheningan yang telah tercipta selama beberapa saat.
Mario merebahkan sebagian tubuh di atas kap mobil jeep peninggalan Ayahnya, sedangkan Fina duduk bersila di samping Mario. “Veris, besok abang balik ke Jakarta. Kamu mau nggak ikut Abang aja ke Jakarta?” usaha Mario saat ingin membuat Fina bersuara.
Fina masih setia dalam diam. Netranya masih menatap lurus ke lautan luas. Mario mencoba meraba apa yang kini sedang dipikirkan oleh Fina. Pasti saat ini sedang memikirkan mantan suaminya, begitu tebakan sederhana Mario. Hingga beberapa menit Mario menunggu akhirnya Fina mulai bersuara.
“Aku mau tinggal di Solo, Bang. Mengurusi bisnis butik milik temanku,” jawabnya tanpa menatap Mario.
“Kenapa nggak mengelola bisnis restoran Abang yang ada di Jakarta aja, Veris?” Mario masih mengupayakan keinginannya membawa Fina ke Jakarta.
Fina hanya menggeleng lemah. Fina adalah tipikal perempuan yang keras kepala. Jika dia sudah bertekad maka susah untuk diubah. Akhirnya dengan berat hati Mario mengikuti keras hatinya seorang Fina Veristha. Mau tidak mau Mario harus merelakan Fina yang lebih memilih Solo daripada tinggal bersamanya di Jakarta.
***
Sebelas bulan setelah pertemuan Mario dengan Fina di Makassar, Tante Liana tiba-tiba sakit keras, dan harus dirawat di ruang ICU karena tergelincir di kamar mandi saat akan mengambil wudhu. Syukurnya bagian vital di sekitar kepalanya tidak sampai membentur lantai kamar mandi, karena tangannya masih sempat menjangkau pintu. Namun dokter menyarankan agar beliau dirawat di ruang ICU, karena Tante Liana sempat pingsan saat telah menggapai pintu kamar mandi, dokter khawatir terkena serangan stroke.
Mario berjalan bersama ibunya menyusuri lorong sebuah rumah sakit swasta elit di Surabaya tempat Tante Liana dirawat. Dalam hati kecilnya, Mario berharap bisa bertemu dengan Fina, setelah terakhir bertemu dengannya di Makassar. Harapan sederhana Mario terkabul, dia melihat Fina keluar dari ruang rawat ICU.
Fina menyadari kedatangan Mario dan menatap lurus ke arah laki-laki itu. Penampilannya sangat berbeda dari saat mereka terakhir bertemu. Rambutnya yang dulu kecoklatan sekarang menjadi hitam legam dengan potongan lebih pendek dan lurus, kira-kira sedikit menggantung di atas pundaknya. Seingat Mario rambut asli Fina berbentuk ikal dan berwarna kecoklatan. Dia memang hobi sekali mengganti warna dan model rambutnya, begitu pikir Mario. Hari ini Fina mengenakan atasan bahan satin warna hitam polos, rok jeans mini sedikit di atas lututnya. Wajahnya lebih berisi, senyuman khas terlukis di wajahnya, hingga membuat kedua tulang pipinya menonjol.
“Assalamulaikum, Veris,” sapa Mario setelah berada di hadapan Fina.
“Walaikumsalam, Bang Iyo, Tante Lisa,” balas Fina sopan.
Fina mencium punggung tangan bibinya lalu keduanya bercipika cipiki. Kemudian Fina beralih mencium punggung tangan Mario tanpa cipika cipiki, dan suasana pun mendadak sangat canggung ketika Mario salah tingkah karena Fina mengurungkan niat untuk melakukan kebiasaan cipika cipiki bila bersalaman dengan Mario. Padahal kebiasaannya juga cipika cipiki. Ketiganya lalu duduk di bangku yang tidak jauh dari ruang ICU. Fina mulai menceritakan kondisi Ibunya yang sudah mulai membaik.
“Hari ini akan dipindahkan di ruang rawat inap,” ucap Fina di akhir ceritanya.
Benar saja, tidak lama kemudian seorang perawat dari bagian ICU meminta Fina datang ke ruang administrasi untuk proses pemindahan ibunya.
***
Kini Tante Liana sudah dipindahkan di kamar rawat inap yang diperuntukkan satu pasien. Setelah kepergian perawat yang membantu proses pemindahan Tante Liana, wanita paruh baya itu meminta Mario dan Fina untuk datang mendekat ke ranjang.
“Rio, terima kasih ya sudah belain nengok Mama di Surabaya. Mama tahu Rio pasti sibuk. Mama minta Rio datang karena ada yang mau mama omongin,” ucap tante Liana dengan suara lemah.
“Mama mau ngomong apa memangnya? Bagaimana kalau ditunda nanti saja setelah Mama sudah pulang ke rumah, ya,” jawab Mario lembut, sambil mengusap lengan Tante Liana.
“Nggak, Rio. Harus diomongkan sekarang. Mumpung ada Fina dan Kak Lisa juga di sini.”
Pada akhirnya ibu Mario juga ikut mendekat ke ranjang. Mario bisa melihat dengan jelas saat ini Fina mulai gelisah, gestur tubuhnya menunjukkan bahwa dia sedang tidak nyaman dengan kondisi ini. Tangannya meremas-remas pinggiran selimut rumah sakit yang digunakan Tante Liana.
“Mama, merasa sering sakit-sakitan akhir-akhir ini. Mama minta tolong kamu jagain Fina ya Rio. Tuntun Fina, karena Mama nggak tahu akan bertahan sampai kapan hidup di dunia ini,” ujar Tante Liana masih dengan suara lemah dan agak tertatih.
Fina tiba-tiba mendengus. “Ibu ngomong apa, sih?” ucapnya, memotong kalimat yang tengah disampaikan oleh ibunya, isak tangis dan air mata muncul beriringan dari mata dan bibirnya.
Tante Liana tidak menggubris rengekan Fina, memilih melanjutkan ucapannya. “Rio mau kan memenuhi permintaan mama sekali ini saja?” Sorot mata Tante Liana terlihat begitu memohon.
Mario mengangguk pasti. “Mama mau minta apa? Demi mama, apa pun itu akan Rio usahakan,” ucapnya tulus.
Fina beralih menatap tajam pada Mario. Tatapan yang tidak bisa Mario artikan sedikitpun, perasaan apa yang sedang coba disembunyikan oleh Fina dari tatapannya.
“Rio mau ya menikah dengan Fina,” ucap tante Liana seraya menggenggam tanganku. Bukan meminta, lebih tepatnya memberi sebuah perintah.
“Ibu, cukup!” Lagi-lagi Fina memotong pembicaraan Tante Liana.
Tante Liana menatap Fina kali ini. “Fina dulu pernah tanya kan? Bagaimana caranya supaya bisa membahagiakan Ibu? Inilah saatnya, melihatmu menikah dengan Mario adalah satu-satunya cara membahagiakan Ibu,” ucap Tante Liana.
Fina diam seribu bahasa, sedangkan Mario hanya tertunduk tanpa berani berkata sepatah katapun. Sejujurnya tanpa diminta Tante Liana yang seolah sedang memaksanya menikahi Fina, Mario memang berniat untuk melamar Fina. Karena kali ini Mario tidak akan membiarkan Fina lepas dari rengkuhannya untuk yang kesekian kalinya.
“Rio, tolong penuhi permintaan mama ya. Fina, cuma Mario yang bisa menuntunmu, Nak. Ibu yakin Rio pasti bisa membahagiakan dan menerima kamu apa adanya.”
Fina masih bertahan membisu. Mengerti suasana semakin tidak terkendali, Mario lantas berusaha mencairkan suasana.
“Nanti Rio pikirkan ya, Ma. Sekarang mending Mama istirahat dulu.” ujar Mario, memilih bergegas keluar dari ruang rawat inap untuk mencari udara segar.
Lama Mario berjalan menyusuri koridor rumah sakit, sampai akhirnya dia berhenti di sebuah taman. Dia memutuskan duduk di sebuah bangku panjang yang menghadap ke taman. Dia merenungi kembali permintaan Tante Liana tadi.
Selang beberapa menit aroma parfum yang sangat dikenalnya, aroma segar khas bunga lili yang selalu bisa menenangkan bila Mario sedang dilanda gelisah.
“Mama udah tidur, Veris?” tanya Mario lembut, pada Fina yang kini sudah duduk di samping kirinya.
“Udah, Bang,” jawab Fina singkat.
“Bagaimana pendapatmu soal permintaan Ibu kamu?” tanya Mario, ingin membahas soal permintaan Tante Liana beberapa saat yang lalu. Mario bertekad harus diselesaikan saat ini juga, karena besok dia sudah harus kembali lagi ke Jakarta.
“Terserah Abang aja. Asal lihat ibu bahagia aku juga bahagia. Saat ini cuma itu alasanku bertahan hidup, melihat ibu bahagia. Ibu sudah terlalu menderita dengan perceraianku,” jawab Fina, nada bicaranya terkesan sinis.
Kembali keduanya larut dalam diam, suasana canggung kembali menyelimuti atmosfer di sekitar mereka. Salah satu harus menjadi juru penyelamat dari suasana tidak menyenangkan ini. Perlahan Mario meraih tangan Fina dan menggenggamnya erat. Awalnya Fina menolak, hendak menarik tangannya. Namun Mario meraih lagi dan kemudian mencium punggung tangan adik sepupunya itu.
“Menikahlah dengan Abang. Abang tidak menjanjikan apa pun padamu, tapi beri Abang kesempatan untuk mendampingi dan membahagiakanmu,” ucap Mario tulus.
Fina tak menjawab sepatah katapun, tetapi tiba dia menghambur memeluk Mario. Seluruh wajahnya ditenggelamkan di d**a Mario. Tiba-tiba saja ada rasa hangat di dalam d**a Mario saat ini. Membuat Mario tanpa pikir panjang untuk membalas memeluk tak kalah erat tubuh perempuan yang sangat dicintainya ini. Beberapa saat kemudian Fina menangis sesenggukan dalam rengkuhan Mario.
“Yang Abang butuhkan saat ini adalah jawaban, bukan tangisan,” ucap Mario lirih.
“Aku takut mengecewakan Bang Iyo,” jawab Fina.
“Yang penting itu kamu mau dulu. Selebihnya serahkan pada Allah. Sekali lagi Abang tanya, kamu mau menikah dengan Abang?”
Lama tidak ada jawaban. Dan pada akhirnya dapat dirasakan oleh Mario anggukan Fina dalam dekapannya. Mario membelai rambut hitam dan mengecup puncak kepala Fina. Dihirupnya dalam-dalam aroma shampo wangi daun mint dari rambut perempuan itu.
“Makasih ya, kamu sudah mau memberi kesempatan pada Abang,” ucap Mario sungguh-sungguh.
“Tapi ini semua demi ibuku, Bang Iyo,” jawab Fina berusaha keras menyembunyikan isi hatinya.
“Apa pun alasan kamu, Abang tetap bahagia kamu menerima lamaran tulus dari Abang.”
Fina hanya memberi seulas senyum atas ucapan Mario. Dia tidak tahu mesti merespon apa keputusannya ini. Sebuah doa dipanjatkan oleh Fina detik itu juga. Memohon agar Mario diberi kesabaran tiada batas, saat menghadapinya dalam situasi apa pun di masa yang akan datang.
~~~
^vee^