1. Perasaan yang Sesungguhnya

1966 Kata
14 bulan sebelum pernikahan... Hujan deras mengguyur Sultan Hasanuddin Airport pagi ini. Setelah perjalanan melelahkan dari Malaysia lanjut ke Makassar, membuat tubuh Mario begitu merindukan kasur dan juga ingin segera bertemu dengan seorang perempuan yang sudah hampir sembilan tahun ini tidak ditemuinya. Cukup lama juga Mario tidak pernah bertatap muka dengan wanita itu. Komunikasi terjalin selama ini hanya sebatas via media sosial dan telepon. Meski hanya sebatas itu, tetapi tidak mengubah perasaan yang sempat singgah di hati Mario. Terserah bila dikatakan Mario adalah pria bodoh, bahkan Romeo dan Juliet zaman modern, tapi dia yakin suatu saat nanti pasti akan mendapatkan kembali Julietnya yang telah lama hilang itu. Sudah hampir satu jam Mario menunggu adiknya yang akan datang menjemput. Lama sekali gadis itu, kebiasaan molornya susah untuk dihilangkan. Sambil menunggu Mario memainkan ponsel sambil memutar lagu-lagu milik Andra and The Backbone, satu lagu yang paling dia sukai berjudul Sempurna. Lagu itu gambaran perempuan yang selalu Mario cintai. Dulu Mario sempat mundur dan menjalankan pernikahan terpaksa, sebagai pelampiasan karena dia merasa wanita itu menolaknya meski secara tidak langsung. Namun akhirnya Mario juga harus merasakan perasaan dipaksa ikhlas melepaskan saat akhirnya wanitanya memutuskan menikah dengan orang lain. Mario melihat beberapa kali akun f*******: wanita yang ingin segera aku temui itu, masih saja sama seperti lima hari lalu saat Mario masih di Malaysia. Sebenarnya hari itu juga ketika wanita itu membuat status f*******: '@Makassar' ingin sekali Mario segera menyusul ke sana. Namun deadline laporan liputan harus segera dikirim ke redaksi dan baru hari inilah Mario bisa berada di sini, kota kelahirannya juga kota kelahiran wanita itu. Marissa terlihat berjalan tergesa ke arah Mario. "Bang, Bang Rio! Huft. Maaf ya, Bang. Tadi mobilnya masih dipakek tante Diah mengantar Kak Fina ke dokter." Segera Mario beranjak dari tempat duduknya saat nama itu disebut oleh Marissa. Jantungnya berdenyut cepat, rasa khawatir mengoyak hatinya dan memburu paru-paru Mario untuk mendapatkan oksigen lebih banyak. "Loh Rissa, Fina kenapa?" tanya Mario gelisah. "Kita ceritanya di mobil aja ya, Bang!" saran Marissa. Mario mengangguk lalu mengikuti jejak adiknya menuju tempat parkir utama bandara. Mario meminta Marissa mengemudikan mobil karena kepalanya tiba-tiba menjadi terasa berat sebelah. Mario mengambil sebotol air mineral yang isinya tinggal separuh botol tanggung dari dalam ransel dan meneguknya hingga ludes. "Kak Fina kacau sekarang. Rissa kasian sama kondisinya," ujar Marissa saat mobil sudah bergerak meninggalkan bandara. Jantung Mario kembali terasa seperti tersayat. Tak bisa dia bayangkan seperti apa perasaan Fina saat ini. Seberat apa beban yang dipikul wanita itu hingga semua orang sampai harus menatapnya penuh rasa prihatin. Mario sudah dengar Fina telah dijatuhi talak oleh pria yang telah menjadi suaminya selama tiga tahun. Namun Mario tidak tahu apa penyebab perceraian. Ibunya, Tante Liana hanya mengatakan bahwa mereka berdua tidak cocok lagi dan sering bertengkar, hanya itu yang Mario tahu. Dan Mario sama sekali tidak percaya alasan itu. Fina dan Mario memang sudah tidak sedekat dulu lagi semenjak Mario dijodohkan oleh orang tuanya dan sampai akhirnya menikah dengan perempuan tersebut, lebih tepatnya memenuhi permintaan nenek dari pihak ibunya. Fina seperti menjauh beribu-beribu langkah dari Mario, seolah tidak ingin lagi terjangkau oleh Mario. Bahkan untuk sekedar 'hay' saja sudah jarang dan hampir tidak pernah. Sampai saat ini Mario juga tidak tahu apa alasan Fina menjauh hingga seakan begitu membenci Mario. Andaikan saja dulu Fina tahu bahwa pernikahan Mario hanyalah sebentuk pelampiasan rasa sakit hati Mario karena merasa Fina menolaknya, tidak memperjuangkannya, dan karena Mario merasa harga dirinya seolah terinjak-injak saat Ayah Fina menolak niat kedua ibu mereka untuk menjodohkan Mario dengan Fina. Ach penyesalan memang selalu datang di akhir cerita, kalau di awal namanya pendaftaran dan maknanya sudah berubah. Namun bukankah sudah menjadi hukum alam kalau seharusnya laki-laki yang berjuang lebih keras dalam sebuah cerita percintaan, bukannya membiarkan wanita yang dicintai berjuang sendirian, lantas meninggalkan menikah dengan perempuan lain. Pantas saja Fina membenci Mario. Itu bayaran yang setimpal baginya atas keputusan yang telah diambilnya dengan gegabah dan penuh amarah. Sejak Mario menikah Fina tidak pernah lagi bercerita tentang siapa saja lelaki yang sedang dekat dengannya. Bahkan lebih mengenaskan lagi bagi Mario adalah, Fina tidak pernah meminta pendapat Mario sedikitpun atas keputusan yang diambilnya untuk menikah dengan kekasih yang sangat mencintainya waktu itu. Mengingat soal bagaimana besar cinta laki-laki yang begitu mencintai Fina waktu itu, membuat Mario merasa semakin curiga kenapa laki-laki itu justru menyakiti Fina hingga membuatnya begitu rapuh seperti kondisinya saat ini. Mario memang tidak pernah bertemu langsung dengan laki-laki yang menikahi Fina. Katakan saja Mario tidak mempunyai nyali yang cukup besar untuk datang ke pernikahan Fina, karena nyali Mario lebih besar untuk melakukan liputan ke negara konflik di Timur Tengah, ketimbang harus melihat Fina bersanding dengan pria lain di pelaminan. Namun Mario selalu mendapat berita terkini soal kehidupan Fina dan laki-laki yang belakangan Mario tahu bernama Rafael itu dari ibu Fina, yang notabene adalah tantenya sendiri, juga dari Marissa yang bisa dibilang juga cukup akrab dengan Fina dan juga foto-foto serta caption nan romantis yang kerap dibagikan oleh Fina di akun media sosialnya yang bisa diakses oleh Mario. Yes, i am stupid guy. Laju pikirannya dipaksa berhenti membayangkan Fina. Mario meminta Marissa untuk diantar ke rumah neneknya, tempat Fina biasa menginap jika pulang ke Makassar. Rasa rindu Mario terlalu membuncah jika harus menunggu lebih lama lagi. "Abang nggak mau ketemu Ibu dulu?" tanya Marissa setelah mendengar permintaan Mario. "Abang mau lihat kondisi Fina dulu." "Okay," jawab Marissa singkat. Dia tahu keinginan Abangnya itu bila menyangkut Fina sulit untuk diganggu gugat. Selama di perjalanan Marissa banyak cerita tentang kondisi Fina selama seminggu berada di Makassar bersama Liana, ibunya. Hati Mario perih mendengar cerita pilu tentang Fina. Apa yang dilakukan pria yang sungguh Fina cintai itu, kenapa tega sekali mengempaskan Fina? Apa salah Fina? Keluarga besar juga tidak tahu menahu soal alasan besar di balik perceraian Fina. Laju pikiran Mario kembali bergerak menuju Fina. "Abang masih cinta ya sama Kak Fina?" Suara Marissa memecah kegelisahan Mario. Laki-laki berkacamata itu hanya mampu menjawab pertanyaan adiknya diiringi dengan senyum kelu. Fina bercerai sudah satu bulan lalu. Sedangkan Mario harus sudah menjadi duda dalam waktu yang cukup lama karena kematian istrinya. Apa ini suratan takdir bahwa Mario dan Fina memang digariskan untuk berjodoh? Entahlah, hanya Yang Kuasa yang tahu. Begitu pikiran sederhana Mario. Mobil milik Marissa memasuki pekarangan besar rumah nenek. Seorang wanita umur 60 tahunan menyambut di pintu utama rumah yang bergaya kuno peninggalan Belanda milik nenek Mario. Tubuh langsingnya dibalut baju gamis warna merah muda dan jilbab warna senada menutupi hingga perut. Senyum manis mengembang saat melihat Mario keluar dari mobil. Tante Liana merentangkan kedua tangan menyambut kedatangan keponakan kesayangannya yang semakin berjalan mendekat. "Assalamualaikum, Ma," sapa Mario ramah pada Liana yang biasa dipanggil Mama oleh Mario. "Waalaikumsalam, Rio. Mari masuk." Tante Liana menggiring Mario masuk rumah, di ruang tamu sudah ada nenek sedang duduk menikmati teh melati. Mario langsung duduk bersimpuh di hadapan wanita lanjut usia yang telah merawat dia dan Fina saat keduanya masih kecil hingga usia Mario memasuki usia remaja. Karena Ibunya dan Liana disibukkan dengan usaha mebel dan restoran milik keluarga mereka. Sedangkan para Ayah disibukkan dengan urusan pekerjaan di instansi pemerintahan. "Rio mau menemui Fina dulu, Eyang," ucap Mario sopan. "Iya cepat temuin adik ngana itu. Eyang sampai jantungan liat dia hampir mati. Sudah cerai tak jelas alasannya, malah nekat mau bunuh diri. Sudah seperti berhenti saja bumi ini berputar hanya gara-gara perceraian. Karier dia korbankan, keluarga dia bikin malu, bahkan hidup juga mau ikut dia korbankan. Apa mau dia, tanyakanlah Rio. Ngana kan yang paling dekat sama Fina. Ibunya saja tak bisa bujuk anak sendiri." Eyang berbicara panjang lebar dengan aksen bahasa Manadonya yang masih sangat kental. Meski beliau orang Makassar, tapi beliau besar di Manado, dan lebih dari seperempat abad tinggal di Manado. Jadi terkadang gaya bicaranya masih terbawa-bawa Manadonya. Mario tidak lagi menjawab kemarahan eyangnya karena dia yakin pasti akan berbuntut panjang. Sedangkan Tante Liana seolah juga memberi Mario kode agar bergegas untuk menemui Fina. Mario segera melangkahkan kaki menuju ke lebih dalam rumah ini. Mario melihat kamar yang biasa ditempati oleh Fina tertutup rapat. Dia mengetuk beberapa kali tapi tidak ada sahutan. Mario mencoba memutar handle pintu yang berbentuk lingkaran di pinggiran pintu, kemudian mendorong perlahan pintu berbahan kayu jati di hadapannya ini. Netra Mario langsung tertuju pada ranjang yang kosong dan masih rapi letak bantal dan seprainya. Netranya kembali berputar mencari keberadaan Fina. Akhirnya dia melihat sosok itu sedang duduk disebuah kursi menghadap jendela besar khas rumah kuno Belanda yang daun jendelanya dibiarkan terbuka lebar kedua-duanya. Lututnya dipeluk erat di depan d**a, dagunya tertumpu di tengah-tengah kedua lututnya. "Assalamualaikum," salam Mario padanya. Tidak ada jawaban, Mario melangkah lebih dalam. Fina masih bergeming. Entahlah dia sadar atau tidak akan kehadiran Mario. Sesampainya di belakang kursi yang tengah diduduki oleh Fina, perlahan Mario memegang puncak kepalanya, mengusap lembut rambut lurus berwarma kecoklatan milik Fina. "Abang di sini, Veris. Semuanya akan baik-baik saja," ucap Mario di sela aktivitasnya merapikan helaian rambut Fina yang kusut. Fina semakin tertunduk tidak menjawab sepatah katapun. Tubuhnya bergetar, isak tangis mulai terdengar di rungu Mario. Tidak terlalu keras hanya seperti suara bisikan saja. Fina tidak menolak belaian tangan Mario di rambutnya. "Jangan siksa hatimu lebih dalam lagi, Veris," pinta Mario. "Bang Iyo pergi aja. Aku nggak butuh dikasihani," jawab Fina getir. Isak tangisnya semakin terdengar. Fina beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri menghadap Mario. "Astaghfirullah. Kamu kenapa, Veris?" Mario mengguncang tubuh ramping di hadapannya saat ini. Bukan ramping lagi, tapi ceking. Wajah oval yang biasanya sedikit berisi dengan tonjolan tulang pipi yang akan terlihat merona saat Fina tertawa tidak nampak sama sekali. Yang ada saat ini hanya wajah oval yang tirus, hingga menampakkan tonjolan tulang pipinya yang tidak ada rona sedikitpun. Wajahnya pucat pasi, ada bulatan hitam yang terlihat jelas di lingkaran matanya. Rambutnya pun sangat terlihat jelas bila tidak begitu terawat. Tubuh dengan tinggi badan lebih dari 165cm di hadapan Mario ini tidak ubahnya seperti sebuah papan seluncur bahkan mendekati menjadi mayat hidup. Tubuh yang hanya dibalut oleh piyama tidur kusut berwarna hitam motif bunga. Entah sudah berapa hari Fina tidak mengganti piyamanya ini. Mario menarik kedua pundak Fina dan merengkuhnya ke dalam pelukan hangat. Mario merasakan tubuh Fina semakin bergetar dan isak tangisnya berubah menjadi tangisan yang sangat pilu. Tanpa terasa butiran bening juga menetes satu persatu di antara hidung Mario sendiri. Dengan cekatan Mario menyeka cairan di ujung matanya sebelum berkata, "kita jalan-jalan yuk. Mau ke pantai?" tanyanya sambil terus membelai rambut sebahu Fina. Kepala Fina menggeleng lemah, terus begitu atas apa pun yang ditawarkan oleh Mario. Akhirnya Mario memutuskan membawa Fina duduk di atas ranjang, dia hanya menurut dan terus menangis sesenggukan dalam pelukan Mario. "Kalau kamu cuma nangis Abang bisa apa, Veris? Jangan siksa diri kamu sendiri, hidup kamu masih harus terus berjalan." "Aku mau pergi jauh, sejauh-jauhnya, Bang," ujar Fina masih tetap sesenggukan. "Hush, kamu jangan ngomong gitu. Ibu masih membutuhkan kamu. Siapa yang akan menjaganya kalau kamu pergi." "I am so tired." "Makanya jangan nangis terus biar nggak capek." Fina tidak lagi menjawab. "Makan yuk. Abang masakin, mau?" Fina mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Mario "Tapi kamu harus janji satu hal sama Abang. Kamu mandi dulu, karena sumpah, bau kamu udah kayak ikan kering." Fina tidak menyahuti candaan Mario. Dia hanya beranjak dari duduknya, masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar ini. Padahal biasanya Fina akan membalas bila Mario meledek penampilannya. Saat Fina di kamar mandi, Mario keluar kamar lalu memberi tanda sebuah jempol pada tante Liana. Mario melihat di ruang keluarga sudah ada Ibunya. Mario segera berjalan ke arah wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini. Mario mencium kedua pipi dan kening wanita itu dengan penuh kerinduan. "Ibu yakin cuma kamu yang bisa menghadapi Fina, Rio." "Ya, Bu, Rio akan berusaha sebaik mungkin." ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN