BAB 2| Pelelangan

1306 Kata
*** Suasana di club pelelangan terasa begitu tegang, cahaya redup memancar dari lantai yang terbuat dari marmer, menciptakan bayangan-bayangan yang misterius di sekitar ruangan. Orang-orang berpakaian rapi berkumpul di ruangan tersebut seakan tidak sabar menanti penampilan memukau para gadis-gadis yang akan menjadi incaran mereka. Sementara suara langkah kaki yang halus menggema di koridor-koridor yang elegan. Di tengah keramaian, Jihan mempersiapkan diri di belakang panggung, penampilan yang mempesona dengan gaun malam berwarna biru tua yang memancarkan kilauan dari setiap langkahnya. Gaun tersebut dipercantik dengan detail payet yang mengalir indah, membingkai sosoknya dengan anggun. Rambutnya diatur dalam gaya yang elegan, dan setiap gerakannya tentu akan menarik perhatian semua orang di ruangan itu. Sementara Maurice, sang mucikari, menatap Jihan dengan senyum puas. Ia tidak sabar membuka acara ini karena penasaran berapa harga yang akan dijatuhkan oleh pelanggan nanti terhadap Jihan. Jihan merasa deg-degan yang tak tertahankan. Hatinya berdebar kencang ketika ia melangkah menuju panggung pelelangan. Sorot matanya menunjukkan ketakutan yang luar biasa serta napasnya terasa terengah-engah. Meskipun gugup, ia mencoba menenangkan diri sambil berusaha mempertahankan senyumnya seperti yang telah diperintahkan oleh Maurice tadi. Beberapa saat kemudian… Suasana di ruangan pelelangan begitu mewah. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya gemerlap, menciptakan kilauan di sepanjang dinding yang dihiasi dengan karya seni yang elegan. Di tengah ruangan, panggung dipenuhi dengan karpet merah yang mempesona, sementara kursi-kursi berlapis kain sutra disediakan khusus untuk para tamu yang menghadiri acara tersebut. Lima orang wanita telah berdiri atas panggung sembari menampilkan senyum terbaik mereka untuk menggaet hati para master. Sedangkan Jihan menyusul dan berdiri di belakang salah satu peserta. Tubuh Jihan terasa kaku, bingung bagaimana ia harus berpose seperti lima peserta lainnya. Akhirnya, ia hanya berdiri sambil menampilkan raut wajah cemas. Tak lama kemudian, seorang lelaki dengan gaya gemulai berdiri di tengah panggung. Ia adalah seorang MC yang akan membuka acara pelelangan tersebut. Beberapa menit berlalu, dan akhirnya kelima peserta telah menemukan para master yang menginginkan mereka. Kini, dengan hati yang berdebar, tinggallah Jihan, seorang peserta yang masih menanti nasibnya. Ia berdiri di tengah panggung dengan tatapan penuh harap, menunggu langkah selanjutnya dalam perjalanannya. Dalam keheningan yang melingkupi panggung, Jihan merapatkan permohonannya dalam hati, ‘Ya Tuhan, tolong aku. Kirimkan aku malaikat penyelamatmu, kumohon Tuhan," dengan harapan yang tulus. Matanya memancarkan keputusasaan sambil ia berusaha menenangkan diri di tengah situasi yang begitu menekan. Dengan sorotan mata yang tajam, MC menggeser tubuhnya ke arah Jihan, sementara tatapan penuh harap terpancar dari wajah gadis itu. "Jihan Aurelia, gadis berusia 27 tahun dan... virgin!" ucap MC dengan suara yang menggelegar. Suara riuh para master seketika memenuhi ruangan, terdengar jelas kegembiraan mereka yang tidak sabar untuk menjatuhkan harga demi Jihan. Raut wajah mereka penuh dengan nafsu untuk memenangkan penawaran. "Silakan untuk para master... harga dimulai dari lima juta dolar!" ucap MC sembari menatap ke depan dengan penuh semangat. Sorakan dan bisikan para penawar mulai terdengar, menciptakan ketegangan yang memenuhi ruangan. "Tujuh juta dolar!" Master pertama menjatuhkan harga, disambut dengan kekehan remeh oleh para master lainnya. MC menunggu dengan semangat, sementara Jihan semakin terlihat cemas. "Sepuluh juta dolar!" tawar seorang master dengan harga sedikit lebih tinggi dari master yang sebelumnya. "Lima belas juta dolar!" "Dua puluh juta dolar!" Mereka terus saling menyerang dengan harga yang semakin tinggi, membuat Maurice yang turut menyaksikan pelelangan tersebut sontak tersenyum puas. Dalam hatinya, dia tidak menyesal telah membayar Jihan kepada Claudya sebesar sepuluh juta dolar, karena dia yakin malam ini akan mendapatkan ganti yang lebih banyak. "Tiga puluh juta dolar!" seorang pria menjatuhkan harga lebih tinggi. Hening sejenak, pria itu mengulas senyum yang menyeringai di bibirnya, seolah yakin tidak ada lagi yang mampu melampaui harga yang ditawarkan. "Lima puluh juta dolar!" Rupanya masih ada yang menawarkan lebih tinggi. "Wow! Sangat fantastis sekali," seru MC dengan wajah sumringah. Hening... kini Jihan sudah pasrah. Sebentar lagi, dia akan menjadi milik pria yang memiliki perut buncit itu yang barusan menjatuhkan harga paling tinggi. "Tidak ada lagi?" MC menatap mereka, sembari menunggu para master menjatuhkan harga yang lebih gila. "Oke, saya akan hitung mundur," lanjut MC. Para master kini berbisik-bisik. "Tiga! Dua—," MC menghentikan hitungan ketika master yang sesungguhnya membuka suara. "Seratus juta dolar!" Deg! Hening... bersamaan dengan itu, sorot lampu kini menyinari sosok misterius itu. Sementara Jihan seketika melebarkan kedua mata saat melihat sosok itu. ‘Uncle Al? Ya Tuhan... apa ini?’ gumam Jihan dalam hati dengan raut wajah kaget. "Wow! Anda sangat luar biasa, Tuan," puji sang MC dengan riang. Setelahnya, MC menunggu beberapa saat dan ternyata tidak ada lagi master yang sanggup melampaui harga terakhir yang dijatuhkan. Sehingga, pria misterius itulah pemenang sesungguhnya. Kemudian, MC mempersilahkan sang master sesungguhnya naik ke atas panggung untuk menjemput miliknya, yaitu Jihan yang telah dibeli seharga seratus juta dolar. Bangkit dari duduknya, pria paruh baya yang berkarisma memiliki nama Alvino Alexander's itu mulai melangkah tegas menuju panggung. “Uncle…” suara Jihan terdengar lirih dan bergetar. Al, dengan wajah datarnya penuh perhatian, mengamati wajah pucat Jihan sejenak seolah sedang menilai situasi dengan serius. Tanpa ragu, dengan gerakan cepat, ia melepas jas hitam yang memenuhi tubuhnya. Dengan hati-hati, ia memposisikan jas tersebut di atas tubuh Jihan yang terekspos, memberikan perlindungan dan menutupi bagian yang seharusnya tidak terekspos. Tindakannya ini sontak menarik perhatian pria-pria di sekitarnya, membuat mereka saling berbisik. *** Setelah menyelesaikan transaksi di club, Al langsung membawa Jihan pergi ke sebuah hotel. Dan selama dalam perjalanan, Al tak mengatakan sepatah katapun. Begitu pula dengan Jihan, meskipun kepalanya penuh dengan pertanyaan tentang pria paruh baya tersebut, dia tidak memiliki keberanian untuk membuka suara. Setelah sekitar 20 menit di perjalanan, Al akhirnya tiba di hotel yang telah dia booking sebelumnya. Dia membawa Jihan masuk ke dalam kamar. “Silakan duduk, Jihan.” Al memerintahkan Jihan untuk duduk di sofa yang tersedia di sana. Jihan dengan cepat menjatuhkan tubuhnya pada sofa, sembari tetap menatap Al dengan takut. Pikirannya menjadi kacau, di antara mempercayai pria itu dan mulai meragukannya. ‘Ya Tuhan, tolong jangan rusak pandanganku terhadap Uncle Al. Aku tahu dia adalah pria yang baik meskipun terlihat dingin. Dia tidak mungkin menjadikanku sebagai wanita pemuas nafsunya," batin Jihan sambil meremas kedua tangannya yang berada di atas paha. Al duduk di sofa yang terpisah dari Jihan, saling berhadapan dengannya, menatap tajam. "Apa alasanmu sehingga mengambil keputusan seperti itu?" tanyanya tajam. Sejenak, dahi Jihan tampak berkerut, berusaha mencerna pertanyaan itu. "Bukan aku yang menginginkannya, Uncle," jawabnya. "Lantas, mengapa kau berada di atas panggung pelelangan?" tanya Al. "Ibu tiriku... Dia yang menjualku tanpa persetujuanku," ungkap Jihan dengan jujur. Mendesah panjang, Al kemudian terkekeh pelan. "Selain kau lugu, kau juga naif, Jihan, karena selama ini kau menganggap sosok Claudya seperti malaikat pelindungmu." Jihan terdiam. "Baiklah, sebaiknya kita lupakan tentang ibu tirimu yang tidak berguna itu, karena ada hal lebih penting yang harus kita bicarakan," ucap Al dengan serius. "Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku rela mengeluarkan uang sebanyak itu untuk mendapatkanmu, bukan?" Memberi jeda sebelum melanjutkan. "Dan tentu saja, membelimu bukan untuk diriku sendiri dan juga bukan untuk menyelamatkanmu." Dahi Jihan kembali mengerut. Al paham kemudian dengan segera melanjutkan. "Aku akan menikahkanmu dengan Michael." Deg! “Michael Alexander's!” tegas Al menyebutkan nama lengkap putranya. Jihan seketika menegang. Tenggorokannya seakan tercekat. "Kau adalah milikku dan aku berhak melakukan apapun terhadap milikku sendiri. Sementara itu, kau tidak memiliki hak untuk membantah, menolak, atau sekedar bernegosiasi. Setiap kalimat yang keluar dari bibirku adalah perintah yang wajib kamu patuhi," lanjut Al dengan tajam. Jihan semakin menegang. "Menikahlah dengan Michael dan buatlah dia jatuh cinta dan bertekuk lutut padamu. Kalau kau gagal, maka kau wajib mengembalikan 100 juta dolar ku!" Al menambahkan dengan tegas. Jihan menggelengkan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Dia tahu tantangan ini sangatlah berat bahkan mustahil bisa dia lakukan, sebab dia tahu persis bahwa pria yang bernama Michael itu sangat membencinya. "Uncle..." Jihan mencoba bicara, namun Al mengangkat tangan sebagai isyarat meminta Jihan untuk tidak membuka suara. "Ini bukan penawaran, tetapi ini adalah perintah!" ucap Al tegas. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN