“Nasi uduknya enak, kan, Mas?” tanyaku ketika melihat Mas Dhika makan dengan sangat lahap. Dia memang sudah mengeluh lapar, jadi tak heran kalau dia langsung menyerbu nasi begitu disajikan. Aku memilih untuk tidak menanyakan maksud dari kalimatnya tadi agar tidak terjadi kecanggungan. Kami bahkan baru saja keluar. Aku tidak bisa membayangkan merasa canggung seharian. “Iya, enak.” Mas Dhika mengangguk. “Kamu tadi merekomendasikan nasi uduk, tapi kamu sendiri malah pesan nasi daun jeruk?” “Menu andalan di sini emang nasi uduk, kok. Cuma karena saya sudah sering, saya pesan menu lain. Ada juga nasi kuning dan nasi merah. Itu kalau mau.” “Enak, nasi daun jeruknya?” “Enak itu relatif, tapi menurut saya enak. Mas Dhika mau coba? Boleh kalau mau ambil bagian sini. Belum kesentuh sendok saya