1. Penguntit

1685 Kata
“Apa kabar tesis, Des?” Pertanyaan yang sangat kubenci. Aku menoleh, menatap tajam pada Jenna yang sedang meringis. Gigi gingsulnya seperti biasa selalu nongol di sisi kiri. “Mau mati beneran, kamu?” “Galak amat, Budhe!” “Budhe-budhe, gundulmu!” Jenna terkekeh. Membuatku ingin melemparnya ke pantai selatan agar digunakan untuk tumbal pesugihan. Jenna adalah teman dekatku. Sudah satu kos, satu jurusan pula. Kami dekat sejak jadi maba pascasarjana. Dia sudah sidang minggu lalu, sedangkan aku seminar proposal saja belum. “Tapi serius, aku nanya gini enggak ada niat mau nyinggung kamu. Aku nanya karena peduli. Nanti kamu kena omel lagi sama kakakmu.” “Ah! Kalau inget Mas Davka bikin inget Papa! Dia enggak sayang adik sama sekali. Semua di-cepu-in!” “Makanya dikerjain, Oneng!” “Aku belum pengen lulus, Jen. Kalau lulus, aku disuruh ngurus butiknya Mama. Belum siap, aku. Masih pengen main.” “Dasar bocah prik! Mahasiswa lain pada berlomba-lomba pengen lulus cepat, kamu malah sengaja dilama-lamain.” Aku tak menyahut lagi. Aku memilih diam dan terus jalan. Aku dan Jenna baru saja keluar untuk cari sarapan sekaligus makan siang. Sudah biasa. Sejak menjadi anak kos, aku jarang makan tiga kali. “Eh, eh! Itu kaya mobil kakak iparmu, Des?” Jenna menahan tanganku. Aku berhenti. Saat ini, di depan kosku ada mobil lexus putih. Kalau hanya lexus saja, bisa jadi itu milik orang lain. Masalahnya, itu memang milik Mbak Ara karena aku hapal betul dengan platnya. Aku pernah meminjam mobil itu seminggu ketika mobilku di bengkel. Mobil itu adalah hadiah dari Mas Davka agar Mbak Ara mau belajar nyetir. “Jen, kayaknya aku harus kabur, deh!” aku mencengkram tangan Jenna. “Woy! Jangan!” “Jangan gimana? Aku mencium sesuatu yang enggak beres.” “Maksudnya?” “Tadi pagi, Papa bilang mau ke Jogja sama Mama. Aku enggak bales karena aku ngiranya cuma buat gertak aj—“ Kalimatku terputus ketika melihat Papa keluar gerbang kos. Aku refleks menarik Jenna untuk sembunyi. “Beneran Papa, Jen! Gimana?” “Ya tinggal ditemuin apa susahnya, sih?” “Masalahnya aku bakal kena omel lagi! Keroyokan, ini, mah!” Aku dan Jenna sembunyi di balik gerobak martabak yang masih tutup. Jantungku mulai berdetak tak karuan ketika melihat Papa celingukan. Seribu persen beliau pasti mencariku. Mati, aku! Tiba-tiba, ponselku berdering nyaring. Aku menganga. Memang dodol! Ketika Papa menoleh ke arah gerobak, aku segera kabur meninggalkan Jenna. “Desya! Kamu mau ke mana, woy? Om, Desya kabur, Om!” Jenna sialan! Teman pengkhianat! Aku berlari cepat ke gang-gang kecil untuk bersembunyi. Please, aku hanya tidak siap mendengar serentetan ceramah dari Papa— ralat, tidak hanya Papa, tetapi Mama dan Mas Davka juga. Mas Dipta tidak termasuk karena dia sedang sibuk dengan kantor. Dia tidak ada waktu memikirkan adiknya yang malang ini. “Aduh, capek!” aku duduk di emper sebuah warung makan dengan napas ngos-ngosan. Sudah lapar, aku semakin lapar karena lari. Mana nasiku dibawa Jenna pula! Aku juga tidak bawa uang karena makan kali ini Jenna yang bayar. Kami sering gantian beli makan. “Harusnya belum jauh, sih, Mas. Desya jarang olahraga akhir-akhir ini. Dia enggak mungkin kuat lari jauh-jauh!” Teman k*****t! Kini kulihat Jenna dan Mas Davka sudah berdiri di ujung gang samping warung makan ini. Aku tidak terlihat oleh mereka karena terhalang sebuah mobil. “Anak itu pasti ngumpet. Katamu, dia belum makan, kan?” “Belum, Mas. Ini kami baru aja beli sarapan.” “Kalau gitu, kita tunggu saja di sini.” Aduh! Beberapa saat berlalu, Mas Davka dan Jenna masih menunggu. Aku tidak kuat kalau harus lari lagi. Aku lemas karena perutku lapar. Aku juga haus. “Tapi besok pulang, kan, Dhik?” tiba-tiba, aku mendengar suara perempuan dari arah warung makan. “Iya, Mbak. Aku cuma mau cari angin sehari aja. Ngilangin penat.” “Ya udah, hati-hati.” Aku melihat seorang laki-laki dan perempuan jalan beriringan keluar warung makan ini. Aku tidak bisa melihat wajah mereka karena posisi agak memunggungi. “Kamu udah makan, tapi, kan? Kalau belum, nanti Ibu khawatir.” “Udah, Mbak. Aku juga bawa bekal buat di sana.” “Baguslah.” “Kalau gitu aku berangkat sekarang, ya, Mbak?” “Iya. Pokoknya hati-hati.” Gawat! Kalau mobil ini pergi, otomatis aku akan ketahuan! Aku tidak bisa mengindar lagi karena Jenna dan Mas Davka masih di posisi tadi. “Apa aku ikut mobil ini aja? Iya aja, kali, ya?” Aku menggumam seperti orang gila. “Ah, penting selamat dululah!” Diam-diam aku menyelinap masuk mobil, lalu melompat ke belakang arah bagasi. Muat, badanku muat duduk di sana. Bagasinya cukup lebar karena kursi paling belakang dilipat. Aku mengembuskan napas lega karena mobil ini tidak terkunci dan si empunya juga tak kunjung masuk. Aku akan minta diturunkan kalau sudah lebih aman. Perkara dia kaget, nanti akan kujelaskan pelan-pelan. Aku menatap ke luar jendela, Jenna dan Mas Davka belum menyerah juga. Mereka masih saja di tempat semula sambil terus celingukan. Krek! Aku langsung menunduk ketika akhirnya si empu mobil masuk. Seketika, wangi maskulin nan lembut menusuk indra penciumanku. Wanginya mirip Mas Davka, tetapi yang ini lebih lembut lagi. “Iya, Pak. Saya jadi ke sana. Ini mau berangkat. Oh, enggak. Saya enggak bawa mobil punya sendiri. Saya bawa mobil milik kakak saya yang lebih ramah sama jalan di sana. Baik, Pak. Terima kasih.” Sejak kapan suara laki-laki bisa seenak ini? Suaranya macam pembawa acara yang jam terbangnya sudah tinggi. Serius! Mobil tiba-tiba menyala, dan hanya dalam hitungan detik, mobil mulai berjalan meninggalkan halaman warung makan. Aku mengembuskan napas lega. Akhirnya, hari ini aku selamat! *** Badanku terasa pegal bukan main ketika pertama kali membuka mata. Ingin meregangkan otot, tetapi gerakanku sangat terbatas. Tanganku bahkan membantur sesuatu yang keras. “Eh!” Dalam sekejap, kesadaranku langsung pulih seratus persen. Aku ketiduran di bagasi mobil? Mobil ini sedang berhenti. Aku menegakkan badan dan celingukan untuk melihat di mana aku berada sekarang. Hutan. Di sekelilingku adalah hutan. Atau lebih tepatnya, pepohonan rindang. Jalan aspalnya juga agak rusak. Di mana, ini? Aku masih dalam kebingungan ketika tiba-tiba pintu mobil bagian depan dibuka dan ada orang masuk. Sepertinya laki-laki tadi. Aku langsung menunduk untuk bersembunyi. Mesin kembali menyala dan mobil pun melanjutkan perjalanan. Aku merogoh ponsel yang ada di saku cardigan. Mataku mendelik begitu melihat ada dua belas misscall dari Mama, lima dari Papa, dan tujuh dari Mas Davka. Ah, lupa, ada empat dari si pengkhianat Jenna. Tadi ponsel memang langsung ku-silent, jadi aku tidak dengar apa pun kalau ada pesan ataupun telepon masuk. Selain misscall yang bejibun, ada banyak pesan juga yang mereka kirim. Isinya kurang lebih sama, yakni menanyakan keberadaanku dan ingin mengajakku bicara baik-baik. Kenapa mereka ini berlebihan sekali? Apa salahnya lulus sedikit lebih lama? Memang, tahun ini harusnya aku sudah lulus karena umumnya magister hanya empat semester. Sedangkan, ini sudah memasuki semester lima. Alasan aku belum lulus ya karena aku belum mengerjakan tesisku. Ya, hanya itu alasannya. Kalau mau, aku pasti sudah lulus. Bahkan mungkin lebih cepat dari Jenna. Keluargaku memang sangat strict soal pendidikan. Bahkan kakak keduaku yang dulunya aktivis saja ditekan harus lulus tepat waktu. Belum lagi, aku memiliki kakak sulung yang berprofesi sebagai dosen. Semakin aku jadi bulan-bulanan keluargaku! Sebetulnya aku paham kalau niat mereka itu bagus. Menyengaja lulus telat memang membuang-buang waktu. Tidak hanya waktu, tetapi biaya yang keluar juga tak sedikit. Hanya saja, aku benar-benar belum siap memasuki ‘dunia orang dewasa’ yang katanya sangat kompleks itu. Aku masih ingin menikmati hidup di Jogja. Pelan-pelan, aku melongokkan kepalaku untuk melihat depan. Dari kaca spion, aku bisa lihat si pengemudi. Mataku langsung menyipit begitu menatap wajahnya. Dia terlihat familiar, tapi siapa? Aku masih menerka-nerka siapa dia, ketika mobil ini belok dan langsung menanjak. Hal itu membuatku oleng dan membentur sisi belakang mobil. “Argh!” aku memekik keras. “Siapa itu?” Aku segera membekap mulutku kuat-kuat. Aduh, ketahuan! Mobil masih terus berjalan karena tidak mungkin berhenti di tanjakan securam ini. Sayup-sayup, aku mendengar suara ombak laut. Kisaran sepuluh menit kemudian, mobil akhirnya berhenti. Jantungku seperti mau melompat keluar ketika melihat pemilik mobil berjalan ke arah belakang. KREK! Aku segera menutupi wajahku dengan cardigan begitu bagasi dibuka. “Siapa kamu?” tanyanya dengan nada tegas. “Saya orang malang yang ditelantarkan keluarga.” Aku menjawab asal. “Orang malang dalam arti bernasib buruk, atau orang Malang Jawa Timur?” “Dua-duanya.” Aku kembali menjawab asal. “Kasihanilah saya, Tuan Baik Hati!” “Kamu kira saya akan memercayai penguntit sepertimu? Cepat turun dan pergi!” “Ini di mana?” aku masih menutupi wajahku. “Dunia lain.” “Hah?” Aku menurunkan cardiganku dan melompat keluar bagasi. Aku langsung mengedarkan pandangan untuk melihat keadaan sekitar. “Waaah!” Mulutku refleks ternganga begitu melihat ke arah selatan. Saat ini, aku berada di atas tebing pinggir pantai dengan pemandangan laut yang sangat cantik. Di sisi utara ada sebuah penginapan kecil yang terbuat dari kayu. “Mas, ini di mana?” Laki-laki itu tidak menjawab. Dia menatapku dengan mata memicing. Aku meringis, lalu mudur selangkah demi selangkah ketik dia mendekat. “M-mau apa? Saya bukan orang jahat, please!” aku menangkupkan kedua telapak tangan di depan kening. “Saya bukan penguntit—“ “Kamu ... bocah sinting itu, kan?” “M-maksudnya? Siapa yang sinting?” Aku langsung mematung ketika laki-laki itu tiba-tiba menahan kedua pundakku dan menarikku ke utara karena ternyata aku berdiri terlalu mepet tebing. Saat ini tanganku masih menangkup di depan kening. “Sudah saya bilang, jangan pernah menampakkan diri di depan saya lagi.” “H-hah?” Perlahan-lahan aku menurunkan tanganku, lalu kuberanikan mendongak menatapnya. Aku langsung meringis ketika dia meremas pundakku agak keras. Sebentar! Aku tiba-tiba ingat sesuatu. Aku menatap laki-laki itu lebih lekat, dan dia juga melakukan hal yang sama. Satu detik, Dua detik, Tiga detik. Mataku kini melebar kaget. Ah, aku ingat. Iya, aku ingat sekarang. “M-masnya itu yang dulu—” “Rupanya kamu memang lebih tertarik membayar kekacauan hari itu daripada menghilang. Harganya naik karena kamu juga menguntit saya. Mau langsung bernegosiasi?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN