Tujuh tahun yang lalu ....
“Akhirnya, tiba juga di Jogja.”
Aku tersenyum menatap langit cerah di atas sana. Awan putih menggulung, menyatu dengan warna biru tajam yang menyegarkan.
Cantik sekali!
Sudah hampir satu tahun sejak terakhir kali aku menginjakkan kaki di kota yang katanya istimewa ini. Terakhir setelah kenaikan kelas tahun lalu. Aku datang dalam rangka liburan sekaligus menjenguk kakak sulungku.
Aku adalah bungsu dari tiga bersaudara. Aku memiliki dua orang kakak, mereka kembar dan keduanya laki-laki. Namanya Mas Davka dan Mas Dipta. Mereka kuliah S1 di Jogja, di dua kampus yang berbeda dan di jurusan yang berbeda pula. Hanya saja, setelah lulus S1 tinggal Mas Davka yang lanjut S2 di sini, sementara Mas Dipta lanjut di Jakarta. Salah satu saja sudah cukup, karena jika tidak sama sekali, seribu persen aku tidak diperbolehkan liburan ke Jogja sendirian.
Kata orang, menjadi anak bungsu itu enak.
Enak apanya? Sedikit-sedikit dilarang. Apa-apa tidak boleh!
“Hallo, Mas Dav. Aku udah di bandara, nih! Cepet, jemput!” Mengabari Mas Davka adalah kewajiban pertama begitu tiba di Jogja. Itu adalah pesan Mama ketika mengantarku ke bandara tadi.
“Duh, maaf, Des! Mas lagi mau ketemu dosen. Ini dadakan. Kamu bisa pesen taksi ke rumah Mas.”
“Duitku habis, tahu! Kata Mama, aku disuruh minta Mas Davka aja. Di ATM-ku tinggal seratus ribu. Takut enggak cukup.” Urusan uang memang aku belum dibebaskan.
“Ya. Habis ini Mas kirim duit.”
“Mas, aku juga laper, lho. Mau sambil jalan-jalan dikit enggak papa, ya?”
“Jangan!” aku berjengit kaget karena suara Mas Davka meninggi. “Nanti kamu hilang! Kalau kamu hilang, Mas yang disalahin.”
“Ya ampun! Emang aku anak kecil, apa? Udah SMA, juga!”
“Tapi belum punya KTP. Tetep aja masih bocil.”
“Tapi aku beneran laper, Mas.”
“Beli di bandara kan bisa, lalu pulang.”
“Ya udahlah! Penting cepet transfer.”
“Ya.”
Hanya dalam hitungan detik, sebuah pesan langsung masuk. Mas Davka mengirim satu juta.
“Mantap! Saatnya main. Mau aja dikibulin!” aku tertawa puas.
Aku segera beranjak dari bandara dan pergi menuju ATM terdekat. Aku tidak diperbolehkan pakai m-banking sebelum punya KTP, jadi harus pasrah ke mana-mana bawa uang cash.
Setelah dari Bandara, aku mampir ke sebuah mall yang kukunjungi terakhir kali bersama Papa dan Mama. Ada mie enak di sana.
“Asik! Kelihatan masih sama!”
Tanpa basa-basi, aku langsung pesan makanan. Aku duduk di meja sudut. Sesekali aku menengok kanan dan kiri mengamati pengunjung lain. Beberapa dari mereka menatapku dengan tatapan aneh. Barangkali karena aku makan sendirian, mojok pula.
“Andai tahun besok aku dibolehin kuliah di Jogja, pasti enak banget! Tapi kayaknya mustahil.”
Aku iri dengan kedua kakakku. Mereka sering dibebaskan untuk melakukan ini - itu, sedangkan aku tidak. Sudah bungsu, cewek sendiri pula. Nasib!
Begitu kenyang, aku keluar mall lalu jalan-jalan sebentar. Setelah lelah, aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku pinggir jalan. Langit yang tadi tampak terik, kini tampak mendung. Awan abu-abu menggumpal di atas sana.
Mas Davka baru saja mengabari kalau pertemuannya dengan dosen sudah selesai. Aku segera memberi tahunya kalau aku tidak lagi di bandara, tidak pula sudah pulang. Aku langsung share lock minta jemput dan mematikan data. Aku sedang tidak ingin mendapat omelan di chat maupun di telepon.
“Nanana nanana nananana ...” aku bersenandung kecil sembari mengayunkann kaki. Mas Davka lama sekali.
Karena terlalu asik bersenandung, tanpa sadar ayunan kakiku semakin lama semakin keras. Sampai ketika, tiba-tiba sandal bagian kiriku terlepas dan terlempar keras ke depan.
Mataku mendelik begitu menyadari sandalku mengenai wajah seorang laki-laki bertato dan bertindik. Gara-gara sandalku juga, nasi bungkus yang sedang dia makan jatuh ke tanah. Berserakan.
“KAMU!” laki-laki itu mendelik garang.
“Maaf, Mas! Saya enggak sengaja!”
“Sialan, kamu!”
Melihat matanya yang melotot, aku langsung ketakutan. Detik itu juga aku segera berlari secepat mungkin untuk menghindari amukannya.
“Berhenti, bocah setan!”
“Maaf, Mas! Saya enggak sengaja!”
“Berhenti, enggak!”
Bukannya berhenti, lariku justru semakin cepat. Aku sangat takut!
Dalam keadaan panik, aku tidak bisa berpikir jernih. Yang kutahu hanyalah bagaimana bersembunyi.
Aku belok menuju sebuah gang, lalu melepas jaket, ransel, dan sandal kananku. Aku menyembunyikannya di semak-semak pinggir jalan. Aku harus mengelabui laki-laki tadi.
“Di mana bocah itu?” suara itu terdengar keras.
Aku belok lagi, dan ternyata ada tulisan ‘jalan buntu’. “Aduh, gawat!”
Aku celingukan mencari tempat persembunyian. Mati, aku, tidak ada! Di jalan ini hanya ada perumahan kecil yang gerbang-gerbangnya ditutup rapat.
Ketika tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki yang tampak baru saja keluar dari sebuah rumah, aku langsung menghampirinya. Tanpa pikir panjang, aku segera memeluknya erat-erat.
“Mas, aku kangen banget.”
Laki-laki di depanku mematung. Ketika dia hendak menoleh, aku menahan kepalanya. “Bantu saya, tolong. Saya dikejar preman ...” aku berbisik.
“Ke mana larinya bocah setan itu?” aku langsung mengeratkan pelukan. “Ini jalan buntu. Enggak mungkin dia lari ke sini. Sialan! Malah ngilang!”
Setelah suara itu mengecil dan perlahan menghilang, aku segera melepas pelukanku. Aku mundur. Laki-laki yang baru saja kupeluk masih bergeming di tempatnya. Matanya kini menatapku tajam.
Wah! Gantengnya!
“Dhika ...” Tiba-tiba terdengar suara perempuan. “Ternyata kamu diam-diam nemuin cewek lain di belakangku?”
Aku refleks menoleh ke arah sumber suara. Kini, seorang perempuan berambut panjang sepunggung sedang berdiri kisaran empat meter dariku. Dia membawa banyak buku di tangannya.
“N-nafis?
“Kamu diam-diam selingkuh, Dhik?”
“O-oh, enggak, Fis, enggak! Ini bocah sinting enggak tahu tiba-tiba datang dari mana.”
Aku terjungkal ketika didorong keras untuk minggir.
“Fis, Fis! Kamu salah paham, Fis!”
“Kita, putus, ya, Dhik! Aku paling enggak bisa sama cowok tukang selingkuh. Aku kecewa sama kamu. Kecewa banget!”
“Fis, tunggu, Fis!”
“Jangan ikutin aku! Lanjut sana, mesra-mesraannya!”
O’ow!
Aku salah menargetkan orang sepertinya.
Aku bangun pelan-pelan, lalu menepuk-nepuk celanaku. Celanaku kotor terkena debu dan daun kering.
“Heh, kamu!”
Seketika, aku berdiri tegak. Kini, laki-laki yang tadi kupeluk sedang menatapku tajam seperti hendak menelanku hidup-hidup.
“Puas, kamu?!”
“Maaf, Mas. Saya tadi dikejar preman, saya terpaksa—“
“Kamu sudah bikin pacar saya salah paham dan minta putus! Padahal saya hanya diam.”
Aku mundur ketika dia mendekat.
“Mas, saya minta maaf! Beneran, saya minta maaf banget!” aku menunduk, lalu menangkupkan kedua telapak tangan di depan kening. “Saya enggak bermaksud kaya tadi. Saya cuma cari perlindungan karena dikejar preman. Saya beneran minta maaf.”
Laki-laki itu tidak menyahut. Kupikir dia akan memberiku pelajaran, tetapi ternyata dia malah pergi. Aku refleks mengejarnya.
“Mas, Mas! Saya minta maaf—aduh!” aku jatuh terjerembab karena ternyata paving yang kupijak berlubang.
Laki-laki itu menoleh. Dia terlihat memejamkan matanya sejenak, lalu menghampiriku. Aku langsung menciut ketika dia mengamatiku cukup lama.
“Saya minta maaf, Mas ...” ujarku lirih.
“Desya! Di mana, kamu?”
Mataku mendelik ketika mendengar suara Mas Davka. “Mas Dav! Aku di sini!”
Tiba-tiba, tangan laki-laki itu menyentuh pundakku. Dia meremasnya kuat sampai aku meringis kesakitan. “Kalau suatu saat kita bertemu lagi, kamu harus membayar kekacuan hari ini! Ngerti?”
“Berapa banyak? Seratus juta, cukup? Dua ratus juta? Atau satu milyar?”
“Itu kiasan!” Suaranya agak meninggi. “Artinya, jangan pernah menampakkan diri di depanku lagi.”
“O-oh, gitu. Oke, janji!” aku menjawab mantap.
Tepat ketika dia berdiri, Mas Davka datang dengan nafas ngos-ngosan.
“Desya! Kok bisa sampai sini? Kenapa hapemu enggak aktif?”
“Mas Davkaaa!” tanpa bisa dibendung lagi, aku langsung menangis.
Laki-laki itu segera pergi ketika Mas Davka menghampiriku.
“Kamu kenapa duduk di tanah? Terus tas sama sepatumu mana?” Mendengar pertanyaan itu, tangisku justru semakin keras. “Kamu nangis gara-gara cowok tadi? Mas ingat wajahnya. Lain kali kalau ketemu, Mas marahin dia habis-habisan. Atau Mas kejar dia sekarang?”
“Jangan!” aku menggeleng keras.
“Ya udah, jangan nangis lagi. Sekarang, naik.”
Mas Davka segera jongkok di depanku dan aku lekas naik di punggungnya.
“Mas minta maaf karena enggak bisa langsung jemput kamu di bandara. Jangan lapor Papa sama Mama, ya? Nanti Mas kena marah dan kamu dilarang ke Jogja lagi.”
Aku mengangguk. “I-iya. Aku j-juga minta maaf karena udah b-bohongin Mas.”
“Sekarang tas sama sepatumu di mana?”
“Itu ... tas sama sandalku di semak-semak depan. Jaketku juga di sana. Sandalnya hilang satu, tapi, Mas. Tadi aku dikejar preman.”
“Kok bisa sampai dikejar preman?”
“Ceritanya panjang.”
“Ya udah. Sekarang berhenti nangis!”
“I-iya.”
Selama di gendongan Mas Davka, entah kenapa aku terus kepikiran laki-laki tadi. Dalam sekejap, dia diputus pacarnya gara-gara ulahku. Aku merasa sangat bersalah padanya.
Tadi siapa namanya? Dhika, bukan?
***
Slipped Into You - 14 Agustus 2023