“Alex!” panggil Zohrah di depan pintu.
Spontan Alex segera menoleh. Dalam keremangan terlihat dia sangat terkejut begitu tahu yang berdiri di depan itu adalah Zohrah. Alex segera menoleh ke arah yang berlawanan dan mengusap mukanya.
“Ada apa? Apa sejak semalam kamu tidur di sini?” tanya Zohrah seraya agak memiringkan wajahnya memperhatikan muka Alex. Namun tentu saja tidak terlihat jelas. Karena selain keadaan agak gelap, Alex sudah menghapus dengan tangannya.
“Jangan suka mau tau urusan orang lain!” ucap Alex ketus menatap Zohrah sebentar lalu melangkah pergi dengan menabrakkan bahu kiri Zohrah begitu saja. Entah sengaja atau karena terlalu emosi hingga berjalan tak menghiraukan orang di depannya. Zohrah hampir terjatuh ke belakang. Untung pagar pembatas balkon menahan tubuhnya.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,” ucapnya saat terhuyung ke belakang.
Alex berhenti sejenak. Lalu menoleh pada Zohrah yang tersandar di pembatas balkon. Namun dia tidak kembali untuk menolongnya. Zohrah hanya dilihat saja sambil menggelengkan kepala.
“Payah sekali,” ucapnya sinis kemudian masuk ke dalam kamar.
Zohrah berusaha berdiri tegak lagi dengan perasaan kesal. “Masya Allah, selain kasar ternyata dia juga berhati batu. Sudah salah. Nggak mau menolong. Malah mengejek.”
Ditatapnya pintu kamar yang sudah tidak ada sosok Alex. Selain kesal ia juga teringat kembali dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ia kembali bertanya-tanya, mengapa Alex menangis? Siapa yang dia tangisi? Sungguh aneh, ternyata di balik sikapnya yang kasar dan dingin Alex rupanya bisa menangis juga.
Zohrah menarik napas sangat dalam. Ia ingin buang semua kekesalan dan emosi di dalam dirinya. Azan subuh sudah berakhir beberapa sekitar lima menit yang lalu. Dia harus segera berwudlu dan menunaikan ibadah sholat subuh yang mana waktunya sangat pendek.
Zohrah melangkah masuk ke dalam kamar. Dengan agak terburu dia jalan ke kamar mandi. Namun dia masih sempat mengarahkan pandangannya ke ranjang. Dilihatnya Alex sudah menyelimuti tubuhnya dengan hanya menyisakan kepala saja yang terlihat. Azan tadi tidak membuatnya tergerak untuk melaksanakan sholat subuh lebih dulu. Ini persis seperti yang dikatakan papanya dulu pada dirinya sebelum menikah. Alex memang sudah menjauhkan diri dari Tuhan.
***
“Dompet sudah. Ponsel sudah. SIM juga sudah. Tinggal sapu tangan yang belum,” gumam Zohrah memasukkan nama-nama barang yang dia sebut tadi ke dalam tas. Kemudian mengambil sapu tangan yang sudah dia tata rapi di dalam laci riasnya itu lalu dia masukan ke dalam tas.
Zohrah berusaha membuang kesedihan dan kekecewaannya. Hari ini dia bersiap untuk pergi ke madrasah Darussalam. Dia akan mengisi hari-harinya di sini menjadi guru mengaji saja. Beberapa hari yang lalu, sebelum pernikahan, Zohrah sudah mencari-cari sekolah di kota ini yang membutuhkan jasanya sebagai guru mengaji. Dan dia menemukan sebuah madrasah informal, terbuka khusus untuk orang dewasa yang ingin belajar agama Islam. Baginya sekolah ini sangat menarik. Karena di daerah dan juga pesantrennya, madrasah diniyah seperti ini biasanya hanya diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja saja. Zohrah sangat senang. Di kota yang sangat sibuk dengan urusan duniawi ini, ternyata masih ada orang-orang dewasa yang tertarik dan penuh semangat belajar mengaji atau belajar membaca kitab suci Al Qur'an dari nol. Dan, karena alasan itulah, Zohrah menjadi lebih bersemangat lagi ingin membantu mereka di sekolah milik yayasan Darussalam.
Alex baru saja keluar dari kamar mandi. Dengan hanya mengenakan sehelai handuk, dia mendekati Zohrah yang sedang mengenakan jilbab di depan kaca rias. Alex ingin mengambil hair dryer untuk mengeringkan rambut. Tapi, Zohrah sangat terkejut dan segera memalingkan muka seraya memejamkan kedua mata seperti orang ketakutan. Dia tidak biasa bersama dengan pria asing dengan penampilan seperti itu.
Sementara Alex yang sedang mengulurkan tangannya meraih hair dryer melihat itu dari pantulan cermin. Rasa kesalnya muncul. Dia malah berlama-lama ingin menggodanya.
“Gadis sok suci. Kamu harus diberi pelajaran,” ucap Alex dalam hati seraya menyunggingkan senyum di sudut bibirnya melirik ke arah Zohrah yang terlihat aneh. Badannya sedikit membungkuk dari belakang Zohrah. “Kau lihat sisir. Di mana sisirnya?”
Zohrah segera membuka mata dan menoleh ke meja rias. Sisir yang dicari Alex ternyata masih di atas meja.
“Ini apa?” Zohrah mengangkat sisir itu dia berikan pada Alex. Sementara manik matanya bergerak ke atas agak mendongak pada Alex untuk menghindari melihat pantulan cermin dari sosok badan Alex yang seolah ingin memeluknya dari belakang.
Alex terima sisir itu masih dengan sikap dan senyum menggoda. Zohrah jadi jengkel juga. Alex harus dia beri pelajaran. Agar tidak seenaknya ingin mencoba mempermainkan perasaannya. Semalam dia dengan tegas telah mengatakan menolak dirinya. Namun, saat dia mau coba-coba ingin mempermainkan dirinya. Apa tujuannya kalau bukan hanya ingin mempermainkan dirinya?
“Apa ada yang masih kamu inginkan, Mas? Kenapa masih di sini?” tanya Zohrah dengan suara lembut manis manja bergaya malu-malu menggoda.
“Hahh... “ suara Alex agak terkejut dan segera menegakkan badan seolah melihat hantu setelah dia lihat aksi Zohrah dari pantulan cermin.
“Kenapa, Mas? Sejak tadi kamu sepertinya ingin dekat-dekat aku. Kenapa sekarang sikapmu seperti melihat hantu?” tanya Zohrah dengan gaya kemayu.
Alex jadi salah tingkah karenanya. Tanpa bicara apa pun lagi dia berbalik meninggalkan Zohrah dengan sisir dan hair dryer.
Zohrah menarik napas lega dan tersenyum penuh kemenangan.
“Makanya jangan coba-coba mempermainkan orang.” Bisiknya lirih. Kedua bola matanya memperhatikan pergerakan Alex dari pantulan cermin yang berjalan menuju ruang ganti baju. Setelah itu, dia lanjutkan kembali merapikan jilbabnya.
Setelah beberapa saat Alex keluar sudah rapi dengan mengenakan setelan jaket hitam, dipadu dengan kaos putih serta celana jins biru tua. Tak lupa sepasang sepatu boots wana coklat membungkus kedua kakinya. Zohrah tak bisa berdusta. Jika Alex memang pria yang sangat tampan. Wajar saja bila banyak fans wanita yang tergila-gila padanya.
“Mau ke mana, Mas? Eh, maaf. Maksudku Alex?” tanya Zohrah yang juga telah selesai berkemas dengan tas selempangnya.
Alex menoleh. Matanya memperhatikan Zohrah dari atas sampai ke bawah. Dia heran, mengapa Zohrah juga sudah berpakaian rapi.
“Kamu mau ke mana?” tanya Alex balik penuh selidik. Tatapannya dingin dengan salah satu ujung alis mencuat ke atas.
“Aku mau pergi mengajar, Mas. Beberapa hari lalu aku sudah mencari sekolah di kota ini. Alhamdulillah aku sudah mendapatkannya,” jawab Zohrah.
“Bagus. Fokuslah dengan kegiatan itu. Jadi kamu tidak akan kesepian di rumah ini. Karena aku akan sangat sibuk dengan persiapan film baruku,” sahut Alex hanya menoleh sebentar saja ke arah Zohrah. Setelah itu dia pakai kacamata hitamnya, kemudian melangkah keluar kamar.
Mendengar itu kening Zohrah berkerut. Pikirannya menelaah ucapan Alex. Dengan tatapan sedih dia bergumam sendiri, “memang kalau kamu di rumah dan sedang tidak sibuk akan membuatku tidak merasa kesepian?”
Zohrah hanya bisa menghela napas. Setelah itu dia pun berjalan keluar dari kamarnya.
Saat turun tangga. Zohrah melihat Alex sedang berdiri berbincang dengan kedua orang tuanya di ruang tengah. Mereka sepertinya sedang terlibat pembicaraan serius. Namun ada yang tidak dia suka dari sikap Alex. Suaminya itu hanya berdiri saja saat bicara dengan kedua orang tuanya. Andai sedang terburu-buru pun menurutnya itu tidak sopan. Berbicara dengan siapa pun apalagi dengan orang tua yang sedang duduk, sebaiknya dia duduk juga.
“Zohrah, kamu sudah siap?” tanya pak Firman, orang tua laki-laki Alex, begitu melihat kedatangan Zohrah setelah turun tangga.
Zohrah merasa bingung. Begitu datang sudah ditodong dengan pertanyaan itu oleh mertuanya. Apa sebenarnya yang dia maksud?
“Maaf, siap apa ya maksud, Pa?” tanya Zohrah balik.
“Lho, katanya mau berangkat mengajar,” sahut pak Firman.
“Oh iya, Pa. Ini saya sudah siap berangkat.” Zohrah menunduk dengan kedua tangan bergerak dari atas ke bawah badannya sopan dan kalem.
“Iya Nak, bagus. Kalau begitu kalian berangkatlah sekarang. Alex akan mengantarmu.” Pak Firman tersenyum kepada menantu barunya itu. Tadi dia sudah memberi titah pada putranya supaya mengantar Zohrah lebih dulu sebelum berangkat kerja.
Zohrah mengalihkan pandangannya pada Alex dengan wajah bingung. Ia tahu Alex tidak ingin mengantarnya. Dari raut wajahnya saja, sudah bisa ditebak.
“Saya berangkat sendirian saja, Pa. Itu motor saya sudah siap di depan sana. Disiapkan sama pak Kadir.”
“Oh ya? Kamu sudah bawa motor juga? Kenapa tidak bilang-bilang? Kamu tidak perlu repot-repot bawa motor ke sini. Papa akan belikan motor baru buat kamu.”
Pak Firman terkejut. Ternyata Zohrah sudah membawa motornya kemari. Ia kagum. Menantunya bukan tipe wanita yang matrealistis. Bahkan setelah menikah pun seharusnya dia mulai menggantungkan hidup pada keluarga ini. Menikmati fasilitas mewah yang ada di keluarga ini. Jika Alex dan dia belum akur atau pun dekat. Dia bisa meminta pak sopir untuk mengantarnya. Tapi itu tidak dilakukan oleh Zohrah. Pak Firman senang. Zohrah telah didik oleh kyai Mustafa dengan sangat baik. Tumbuh menjadi gadis sederhana dan tidak manja.
“Motor itu masih bagus, Pa. Sayang kalau dijual. Saya sudah nyaman memakainya. Belum pernah rewel juga.”
“Baiklah kalau begitu. Kamu hati-hati ya di jalan. Sebenarnya Papa lebih tenang kalau kamu di antar Alex atau sopir rumah ini.”
“Jangan cemas, Pa. Saya akan berhati-hati. Semoga Allah akan melindungi saya.”
“Amin. Iya, Nak.”
“Kalau begitu saya berangkat dulu, Pa, Ma.”
Zohrah lalu mencium tangan pak Firman dan juga bu Maya, ibu sambung Alex yang cantik. Namun saat berhadapan dengan Alex dia menjadi agak kikuk. Akan cium tangan apa tidak. Sementara Alex masih belum berniat memberikan tangan kanannya menyalami Zohrah.
“Tadi di kamar kamu sudah cium tangan. Masak kamu mau cium lagi?” ucap Alex terlihat malas.
“Iya,kau benar.” Lalu Zohrah mengalihkan pandangannya pada semuanya. “Assalamu’alaikum,” ucapnya kemudian.
“Wa’alaikumsalam,” sahut pak Firman dan bu Maya. Tapi tidak dengan Alex. Tanpa bicara lagi dia pakai lagi kacamata hitamnya. Kemudian melangkah meninggalkan ruang tengah menyusul Zohrah ke halaman depan. Karena bukan hanya motor butut Zohrah. Tapi mobil sport warna biru miliknya sudah terparkir di sana.
Zohrah sudah siap di atas motor. Helm pun sudah dia pakai. Mesin juga sudah dia hidupkan. Motor metik miliknya siap meluncur meninggalkan rumah itu. Dia lirik Alex yang baru saja muncul dari dalam rumah. Sedikit pun suaminya itu tak melihatnya apalagi menyapa. Alex langsung saja berjalan ke mobil sport warna biru yang ada di belakang motornya. Dari kaca spion Zohrah melihat Alex sedang masuk ke dalam mobil. Tak sadar, tiba-tiba hatinya merasa sedih juga. Bukan dia tertarik dengan kemewahan mobil itu. Namun sebuah kebersamaan yang selamanya tidak bisa terjalin antara dirinya dengan Alex. Seharusnya jika pernikahannya berjalan normal, saat ini Zohrah tidak duduk di atas motor metik bututnya. Tapi di dalam mobil itu di samping Alex.
“La tahzan innallaha ma’ana. Semangat, Zohrah! Semangat! Bismillahirrahmanirrahim.....”
Selesai membaca basmalah dengan khusuk. Zohrah lalu menjalankan motornya keluar halaman rumah itu. Di susul Alex berjalan di belakangnya. Ia berusaha menghapus kesedihan yang dirasakan. Hatinya dia isi dengan semangat baru. Mengajar di sekolah baru. Ia yakin ujian ini akan berakhir pada waktu. Saat ini dia hanya perlu bersabar saja.
“Aneh. Kenapa dia mengikutiku?” tanya Zohrah dalam hati.
Dilihat dari kaca spion Alex masih berjalan di belakangnya. Padahal akan sangat mudah baginya untuk melewati Zohrah. Zohrah menduga, Alex mungkin sedikit mencemaskan dirinya. Sehingga hari pertama ini dia perlu mengantar dirinya sampai ke sekolah barunya itu.
Namun setelah dia berpikir seperti itu, mobil Alex mendahuluinya. Saat konsentrasinya terpecah karena sibuk memperhatikan mobil Alex yang sudah menjauh, tiba-tiba saja motor Zohrah agak oleng.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un... Ya, Allah. Bagaimana ini? Sepertinya banku bocor.”
Zohrah segera mengurangi kecepatan motornya. Dengan hati-hati dia bawa ke pinggir jalan raya lalu berhenti di sana.