1. La Tahzan Innallaha Ma'ana

2510 Kata
“Kita harus bicara serius,” ucap Alex. Setelah mendekati Zohrah yang sedang sibuk melepas kerudungnya duduk di depan meja rias. Aktor tampan dan sedang naik daun itu menatap dingin pada istrinya. Sedikit pun hatinya tak tergerak untuk membantu melepas jarum di kepala Zohrah. “Bicara saja, Mas. Aku akan dengarkan sambil melepaskan jarum ini, ya. Soalnya tanggung. Tapi kalau mau menunggu, sebentar lagi ini juga selesai. Nggak lama kok,” ucap Zohrah. Wanita cantik berhidung mancung, dagu lancip, kulit kuning langsat, bibir mungil dan mata bulat indah dengan senyumnya yang lembut dan manis itu. “Baiklah aku katakan sekarang saja.” Suara Alex terdengar datar dan dingin. “Tapi, sebelumnya aku minta maaf padamu. Karena yang akan aku katakan ini mungkin akan membuatmu kecewa dan menyakiti perasaanmu,” ucap pria yang bernama lengkap Alexander Alamsyah, berbadan tinggi tegap berbodi atletis. Alex memiliki mata agak sipit berkulit putih. Mendengar itu Zohrah segera menoleh pada Alex. Apa gerangan yang akan dikatakan oleh suaminya ini. Mengapa dia harus minta maaf dan menyebut kata kecewa. “Katakan saja langsung, Mas. Aku siap mendengarnya.” “Jangan pernah berharap banyak pada pernikahan kita, Zohrah,” ucap Alex serius. “Berharap banyak? Apa maksudmu, Mas. Katakan lebih jelas lagi.” Zohrah mengulang pertanyaan itu. Meskipun belum jelas, pernyataan itu sebenarnya sudah cukup membuat hatinya merasa tidak enak. Apalagi jika dia perhatikan tatapan dan sikap Alex yang selalu dingin padanya. Firasatnya semakin kuat. Jika ini kemungkinan bukanlah kabar yang menyenangkan. “Sebenarnya aku tidak pernah ingin menikahimu, Zohrah,” tegas Alex kemudian. “Ssst... Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,” ucap Zohrah meringis kesakitan karena salah satu jarinya tertusuk jarum. Dia amati jari telunjuknya. Terlihat ada satu titik merah di ujung jari itu. Alex hanya diam saja melihat itu. Sedikit pun dia tidak merasa kasihan pada Zohrah. Apalagi sampai ingin melihatnya. Menghisap jarinya yang terluka di mulut. Seperti layaknya sepasang kekasih yang lain. “Itu sudah terlihat dari sikapmu selama ini, Mas. Tapi jangan itu kau jadikan beban. Kita jalani saja pelan-pelan. Mengalir apa adanya sebagai teman baru.” Zohrah kemudian berdiri. Lalu menatap Alex sebentar. Setelah itu dia balikkan badan melangkah dengan tenang dengan busana pengantinnya yang masih melekat di badan, ke dekat pintu kaca menuju ke balkon. Zohrah menatap keluar halaman dan kolam yang terlihat temaram. Sementara Alex masih terpaku di tempatnya sekarang. “Awalnya aku juga merasa terpaksa menikah denganmu, Mas. Walaupun kamu merupakan aktor terkenal, tampan, kaya raya, putra seorang konglomerat. Jujur aku juga sama sekali tidak tertarik padamu,” tegas Zohrah dengan penuh percaya diri tak menoleh sedikitpun pada Alex. “Kau bukan tipe pria yang aku dambakan selama ini. Ketampanan, uang, ketenaran. Bagiku bukan jaminan untuk bahagia,” jelas Zohrah. Mendengar itu Alex hanya tersenyum dingin dan sinis. Dia menoleh pada Zohrah sambil menggelengkan kepala. Tak diduga, ternyata Zohrah sombong juga. “Sekali pun aku juga tidak pernah mengidolakan atau bermimpi menjadi Istri seorang aktor. Impianku selama ini adalah menjadi Istri dari orang yang pandai ilmu agama seperti Abahku. Seorang pria yang bisa membimbing dan menjadi imamku berjalan di dunia ini. Dengan ilmunya itu, aku berharap, dia juga akan membantu Abah mendidik anak-anak di pesantren,” jelas Zohrah berhenti sejenak. Kemudian dia berbalik menatap Alex yang masih berdiri di tempat yang sama. Sementara itu Alex masih diam saja. Sekali saja, dia belum ingin membalas ucapan Zohrah. Ia biarkan saja untuk sementara ini Zohrah mengutarakan isi hatinya. Sekaligus dia ingin tahu lebih jauh. Apa sebenarnya yang ingin dia katakan pada dirinya. Zohrah kembali bicara. “Tapi kemudian aku berpikir, mungkin ini sudah jadi takdirku. Aku akan mencoba menjalaninya.” Raut wajah Zohrah terlihat lebih bersemangat. Ada binar-binar harapan di kedua matanya. Senyumnya mengembang menatap Alex. “Walaupun awalnya kita tidak saling mencintai. Yang penting kita mau membuka hati masing-masing dan menutup lembaran lama. Kita lupakan saja kehidupan kita di masa lalu. Tak peduli berapa lama. Jika kita mau mencoba bersama-sama. Insya Allah suatu hari nanti kita bisa membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan penuh rohmah, Mas.” Alex kembali tersenyum sinis. Kemudian dia berjalan mendekati Zohrah. “Wow, sepertinya kau sangat pintar berkhayal, Zohrah. Seharusnya kau salurkan bakatmu itu. Kau bisa jadi penulis n****+ atau penulis skenario film,” sindir Alex. “Sayang sekali, aku sudah tidak bisa membuka pintu hatiku lagi, Zohrah.” “Kenapa tidak dicoba, Mas?” tanya Zohrah. “Bagimu mungkin itu sangat mudah Zohrah. Karena kau mungkin belum mencintai seseorang. Pria yang yang kau dambakan selama ini baru sebatas impian. Tapi bagiku itu mustahil mencintaimu. Karena aku sangat mencintai kekasihku,” ucap Alex. “Lalu, untuk apa kamu menikahiku, Mas? Untuk apa?” tanya Zohrah, mulai emosi. Alex seolah meremehkan pendapatnya hanya karena dirinya diduga belum pernah punya kekasih. “Selama ini aku sudah berjanji tidak akan menikah, Zohrah. Sejak kekasihku tiada beberapa tahun lalu. Aku sudah tidak ada keinginan untuk menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Aku ingin setia padanya sampai akhir hayat,” jelas Alex. “Lalu untuk apa kau menikahiku?” Zohrah mengulang pertanyaannya lagi. Karena menurutnya, pernikahan ini sangat tidak adil baginya. “Jika dalam rumah tangga ini kita tidak bisa membangun apa pun, lalu untuk apa kau menikahiku, Mas? Untuk apa?!” tanya Zohrah makin meninggi tapi putus asa. Dia gelengkan kepala berkali-kali sedih sekaligus emosi. “Aku tidak sudi menjadi Istrimu tapi hanya di atas kertas saja. Aku kira merahasiakan pernikahan kita untuk sementara itu sudah cukup bagimu. Tapi ternyata tidak. Rupanya aku juga ingin kamu jadikan boneka pajangan saja di rumahmu. Sangat keterlaluan. Kau sangat tidak berperasaan. Aku ini manusia, Mas. Kau tidak bisa memperlakukan hidupku semena-mena seperti ini!” Air mata Zohrah jatuh di kedua pipinya yang masih merona. “Kau telah mendzolimi aku, Mas. Itu sama artinya kau telah mendzolimi aku!” Tangis Zohrah akhirnya pecah. Gadis itu pun jatuh terduduk di lantai. Tak sanggup menahan kesedihannya. Melihat itu, Alex seolah tidak merasa kasihan sedikit pun pada Zohrah. Dia malah berjalan mendekati jendela membelakangi Zohrah. “Bukankah aku sudah minta maaf, Zohrah,” ucap Alex terdengar masih dingin. “Terpaksa aku menikahimu. Aku melakukannya demi warisan Papaku, Zohrah,” jelas Alex. Zohrah langsung mendongak menatap punggung Alex. Air matanya jatuh berderai semakin deras. Sungguh malang dan betapa dianggap tidak berharga dirinya. Dinikahi seseorang bukan karena cinta atau pun sesuatu yang istimewa dari dalam dirinya. Namun dia dinikahi demi mendapatkan harta warisan yang tidak ada hubungan dengan dirinya. “Papa mengancamku jika aku menolak menikahimu. Dia tidak akan memberikan secuil pun warisannya padaku. Seluruh hartanya akan dia sumbangkan ke yayasan amal yatim-piatu. Terpaksa akhirnya aku setuju menikahimu demi mendapatkan warisan itu,” jelas Alex, lalu membalikkan badan menatap Zohrah yang masih tertunduk duduk di lantai. “Sedikit pun dia tidak ada belas kasihan padaku. Meskipun aku seorang aktor dan punya penghasilan sendiri. Tapi aku ini putranya. Harta itu adalah hakku. Namun dengan teganya dia akan menghapus hak itu jika aku menolak pernikahan kita,” jelas Alex lagi, mencurahkan isi hatinya dengan begitu emosi. “Kau bisa mengatakan itu padaku atau Abah. Kami pasti menolak pinangan Papamu. Mengapa kamu tidak berterus terang saja sebelum pernikahan kita?” tanya Zohrah masih menyimpan bara emosi. “Itu tidak akan membantu. Jika terjadi kegagalan dengan pernikahan ini, akulah yang akan menanggung kerugian itu. Papa sudah menyampaikan ini dengan jelas. Dia tidak mau tahu. Suka atau tidak. Cinta atau tidak. Bahkan dia juga mengancam, jika setelah menikah pun, aku sampai menceraikanmu maka dia tidak akan memberikan warisan itu padaku,” jelas Alex seperti orang tidak berdosa. Zohrah bangkit. Kemarahannya tak terbendung lagi. Kedua tangannya mencengkram kerah kemeja Alex. Sekuat tenaga dia berusaha mengguncang-guncang Alex. “Terus, bagaimana dengan nasibku, Mas? Kalau seperti ini bagaimana dengan nasibku?!” tanyanya dengan suara makin meninggi. “Kau dan Papamu sama-sama egois. Kalian hanya memikirkan diri sendiri. Kamu tega melihatku selamanya hidup dalam rumah tangga palsu ini?” Alex pasrah saja dengan perlakuan Zohrah itu. Ia biarkan istrinya melampiaskan kemarahan terhadap dirinya. Andai dia akan memukuli tubuhnya pun Alex rela. Walau tak ada perasaan cinta pada Zohrah, setidaknya Alex masih merasa kasihan pada Zohrah. Alex bisa merasakan penderitaan dan kekecewaannya. Bagaimana pun dia memang telah menyakiti dan menghancurkan hidupnya. “Tenanglah. Aku sudah punya solusinya,” ucap Alex, datar. Seketika Zohrah berhenti. Perlahan dia lepas cengkraman tangannya dari kerah Alex. “Apa solusinya? Cepat, katakan!” “Aku akan melepasmu secepatnya.” Tatap Alex serius. "Oh ya?"Kedua mata Zohrah yang indah menyipit curiga. Alex berputar kembali menatap ke luar jendela. Zohrah masih menunggu penjelasan Alex lagi. Dia tatap Alex yang kembali yang memunggunginya. “Aku akan melepasmu secepatnya, Zohrah. Itu segera setelah Papaku tiada,” tegas Alex. "Apa?!" Kedua matanya membelalak lebar. Untuk beberapa saat dia tidak bisa berkata-kata hanya bisa menatap punggung suaminya itu. Sungguh sulit dipercaya Alex punya ide sekejam ini. Sebenarnya dia menikahi manusia seperti apa. "Solusi katamu, Mas? Bukan! Itu bukan solusi. Kamu ingin menggantung nasibku dengan usia orang tuamu. Itu sama saja kamu ingin menawanku,” tegas Zohrah kemudian. “Terserah! Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Itulah yang bisa kutawarkan. Kalau kamu ingin cepat-cepat pisah denganku, berdoalah Papaku dipendekkan umurnya. Kalau kamu masih ingin bertahan, nikmati saja hidupmu di sini," sahut Alex dingin. Zohrah menutup mulutnya. Sekali lagi dia dibuat syok dengan ucapan Alex. Berkali-kali dia terkejut dengan pernyataannya. Namun yang baru saja ini, sungguh membuatnya takut dan ngeri. Bagaimana ada anak dengan ringannya meminta orang mendoakan orang tuanya cepat mati. Sementara dia tahu tujuan baik orang tua Alex menikahkan dia dengan dirinya. Alex membalikkan badannya menatap Zohrah. “Oh ya. Kamu harus dengarkan ini baik-baik. Jasamu tidak pernah aku sia-siakan. Setiap keringat yang habiskan di sini akan aku hitung. Setiap hari, bulan, bahkan tahun. Selain nafkah berupa uang sebagai Istriku, kau masih mendapatkan komisi dari pernikahan ini. Tiap bulan kau dapat seratus juta untuk penderitaan yang kau rasakan selama menikah denganku. Jadi, kita impas. Saat kita bercerai nanti. Aku tidak punya hutang padamu,” tegasnya lagi. Alex hanya memperhatikan Zohrah sebentar. Setelah itu bergegas ke ruang ganti pakaian yang terhubung dari kamarnya. Sementara itu Zohrah sudah lelah membalas ucapan Alex lagi. Meskipun dia kembali dibuat tercengang, emosi, sekaligus syok. Baru kali ini dia bertemu dengan manusia berhati seperti Alex. Dingin dan kejam. Bagaimana bisa, penderitaannya dinilai dengan sejumlah uang. Begitu pun dengan nasibnya. Dengan santai dia gantung sampai orang tuanya tiada. Bagaimana ada anak berpikir seperti itu terhadap orang tuanya? Tapi setelah beberapa saat, Alex keluar dari ruang ganti. Zohrah bergegas mendekatinya. “Dengar, Mas. Aku tidak sudi menerima komisimu berapa pun jumlahnya. Simpan saja uang yang kau sayang itu. Kamu jangan cemas. Aku akan jalani takdirku dengan sebaik-baiknya. Aku tidak berharap untuk cepat dicerai olehmu. Karena itu sama saja aku mendoakan orang tuamu cepat tiada. Aku tidak akan melakukannya. Karena aku tidak seperti dirimu.” Setelah itu Zohrah bergegas masuk ke kamar ganti. Sekarang gantian dia yang ingin segera berganti pakaian. Karena emosi, suhu badannya terasa panas dan gerah. Busana pengantin yang tadinya terasa nyaman dia kenakan, sekarang terasa gerah dan menyesakkan dadanya. Namun, alangkah terkejutnya dia saat keluar dari ruang ganti. Dilihatnya Alex sudah berdiri menghadangnya. “Ada apa, Mas?” “Ingat ini baik-baik. Jangan panggil aku, Mas. Aku tidak mau orang akan curiga dengan hubungan kita,” pesan Alex. “Lalu aku harus memanggilmu apa, Mas? Eh, Bang? Kakak? Atau Alex?” Zohrah menyebut beberapa alternatif. “Panggil namaku saja,” sahut Alex.. “Baiklah, Alex.” Tatap Zohrah menantang Zohrah ingin pergi berwudlu. Kemudian dia berlalu meninggalkan Alex. Dia belum melaksanakan sholat Isya’. Di dalam kamar mandi, air matanya jatuh kembali tak terbendung lagi. Namun dalam sekejap luruh bersama air dingin yang membasuh mukanya. Untuk sementara, dia putuskan berdiam di tempat itu. Zohrah ingin lebih menenangkan diri. *** Saat keluar dari kamar mandi, Zohrah mengambil mukena dan sajadahnya di lemari. Setelah itu dia berjalan ke samping jauh ranjang untuk menggelar sajadahnya di sana. Dia lihat Alex sudah berbaring di atas ranjang. Namun Zohrah enggan mengajaknya sholat. Seperti keterangan papanya, Alex saat ini tidak pernah melaksanakan sholat lima waktu. Kehidupan Alex sangat jauh dengan Tuhan. Karena itulah dia ingin Zohrah bisa membimbingnya atau setidaknya memberi contoh pada putranya itu. Agar hatinya tergugah dan mau mendekatkan diri pada Allah SWT lagi. Untuk saat ini Zohrah tidak ingin mengajaknya. Entah esok atau di lain waktu. “La tahzan innallaha ma’ana. Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita,” ucap Zohrah lirih. Dalam kondisi dilanda sedih seperti ini, ia pun mengingat petikan surat At-Taubah ayat 40 dalam kitab suci Al Quran itu. Seketika hatinya menjadi lebih tenang. Ia percaya Allah sedang bersamanya sekarang. Dalam kutipan ayat itu, Allah menghibur dan memberi pesan jika dalam setiap cobaan yang dia berikan, hambaNya tidak sendirian. Setiap ujian sudah disesuaikan dengan kemampuan hambaNya. Zohrah berdiri dan bersiap menunaikan sholat isya’. Sholat yang dilaksanakan di waktu malam hari, di mana waktunya dimulai setelah habisnya waktu sholat maghrib, sepanjang malam hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit. Sholat isya’ merupakan salah satu dari perintah sholat lima waktu dalam sehari semalam bagi umat Islam yang hukumnya wajib. Jika dilaksanakan oleh seorang muslim maka akan dapat pahala. Namun jika tidak dilaksanakan, seorang muslim akan mendapatkan berdosa. Usai menunaikan ibadah wajib sholat isya’, Zohrah kemudian berdzikir dan berdoa. Meski ini bukan wajib hukumnya, tapi Zohrah biasa melaksanakan tuntunan ini usai melaksanakan sholat. Tentu dia melakukan ini jika ada waktu luang. Zohrah senang menambah amalan-amalan dengan berdzikir, menyebut sang khalik, istighfar, bertasbih memujiNya. Dia berharap dengan begitu dia bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apalagi di saat hatinya sedang sedih dan kecewa seperti ini. Banyak-banyak berdzikir dan berdoa akan lebih menenangkan hatinya. Malam semakin larut. Namun dia masih ingin berlama-lama duduk di atas sajadah. Tak lupa dia mengadukan kesedihan, kekecewaannya sebagai hamba biasa yang merasa tidak berat menahan ujian ini. Zohrah bermunajat memohon kekuatan dalam menjalani pernikahan barunya ini. Sebuah pernikahan yang akan berjalan tidak lebih dari sebuah belenggu saja. Di mana dia tidak tahu pasti kapan akan berakhir. *** Bunyi bedug bertalu-talu dari masjid di berbagai penjuru di kota ini. Riuh rendah karena jarak yang berbeda. Zohrah membuka matanya yang belum lama terlelap. Terdengar suara azan berkumandang bersahutan merdu mendayu mengisi ruang tubuh ini. Zohrah bangun dan duduk di ranjangnya sebentar. Tapi dia merasa bingung. Karena mendapati dirinya berada di atas ranjang. Zohrah mencoba mengingat di mana dirinya sebelum tidur. Seingatnya, dia belum beranjak dari sajadah. Setelah lelah berdoa, dia kembali berdzikir. Sampai akhirnya dia tidak apa-apa lagi. Zohrah menarik napas dalam-dalam. Ia yakin Alex yang menggendongnya kemari. Zohrah kemudian turun dari ranjang. Ia ingin ke kamar mandi dan berwudlu untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar kaca menuju balkon kamarnya sedikit terbuka. “Apa mungkin Alex sedang ada di luar?” bisik Zohrah. Karena sampai saat ini dia tidak mendapati Alex di ruangan ini. Merasa penasaran, Zohrah berjalan pelan mendekati pintu. Mengintip ke balkon yang ternyata masih terlihat gelap temaram. Dia yakin, ada masalah dengan lampu atau kabelnya. Karena di bagian lain tidak mati. Zohrah memegang gagang pintu dan ingin menutupnya. Namun, jantung Zohrah terasa berhenti. Karena tiba-tiba saja dia mendengar suara pria menangis lirih terisak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN