74. Saling Mengandalkan

1999 Kata
Sesampainya di sebuah restoran yang cukup mewah, Evelina dan kedua orang tuanya itu pun turun. Gadis berseragam sekolah itu tampak membaluti pakaiannya dengan hoodie pemberian sang ibu yang menenggelamkan kemaja putih tersebut. Sementara rok abu-abu selututnya tampak dibiarkan begitu saja bersama sepasang sepatu pantofel dengan kaus kaki pendek berwarna putih bersih. Dengan pergantian pakaian sekilas itu tampak membuat Evelina terlihat bukan berasal dari SMA Catur Wulan. Sepasang suami-istri dengan anak semata wayang mereka mengikuti di belakang itu tampak melenggang santai memasuki restoran yang cukup ramai. Mengingat sebentar lagi malam tiba membuat mereka berencana untuk melakukan makan malam bersama sembari istirahat. Ketiganya diantar oleh seorang pelayan lelaki yang terlihat tampan dan tinggi. Sesaat pelayan tersebut menatap penuh kagum ke arah Evelina yang begitu kalem sembari mencepol rambut panjangnya. Pilihan Peter mengarah pada meja yang berada di dalam restoran dekat jendela berhadapan langsung dengan kolam ikan. Tentu saja salah satu kesukaan lelaki itu adalah memilih restoran yang benar-benar menjaga kebersihan, salah satunya adalah memiliki kolam ikan pribadi dengan penangkaran yang sesuai dengan keinginan konsumen. Meja berbentuk bulat dengan lima kursi berdiri di pinggirnya. Sejenak Peter menarik kursi dengan lembut untuk mempersilakan Wendy duduk tepat di sampingnya. Sedangkan Evelina yang merasa bosan melihat kemesraan orang tuanya hanya bisa pasrah duduk tepat di depan mereka berdua. “Silakan dipesan makannya!” titah pelayan tersebut dengan ramah sembari memegang sebuah catatan kecil di tangannya. Evelina tampak melihat-lihat buku menu yang ada di tangannya. Gadis itu memilih makan malam yang ia inginkan, karena momen jarang seperti ini harus Evelina gunakan dengan baik. “3 nasi goreng seafood, 3 air mineral, dan satu sup krim.” Peter membuka buku menu sembari menatap ke arah pelayan ketika menyebutkan menu pilihannya, lalu menoleh ke arah sang istri. “Sayang, kamu mau apa?” Wendy mengambil buku menu tersebut, lalu membaca deretan makanan dan minuman yang terlihat enak. “Rib eye steak sama es krim banana split.” Sedangkan Evelina yang sejak tadi melihat menu pun mendadak tidak berselera. Entah kenapa pikirannya masih mengarah pada Zafran yang mungkin sekarang tengah bersama Azalia ke suatu tempat. “Eve, kamu mau apa, sayang? Kok dari tadi diam aja,” tanya Wendy lembut sembari memegang punggung tangan sang anak semata wayangnya hingga bergerak tersadar. Tentu saja tindakan tersebut membuat Evelina mendadak malu. Ia sama sekali tidak menyangka akan terlalu asyik memikirkan Zafran sampai tidak menyadari bahwa kedua orang tuanya telah selesai memilih. “Es krim seperti Mamah aja,” jawab Evelina menutup buku menu tersebut dan memberikannya pada sang pelayan. Pelayan tampan itu pun mengangguk pelan, lalu berkata, “Baik. Silakan ditunggu pesanannya.” Sepeninggalnya sang pelayan tadi, kedua orang tua Evelina pun langsung terfokus kembali. Sepasang suami-istri itu yang menjadi orang tua Evelina tampak menatap penuh tanpa ekspresi. “Eve, ada apa?” tanya Peter mendadak curiga melihat anak gadisnya telah beranjak remaja itu tampak semakin menjadi pediam. “Enggak ada, Pah,” jawab Evelina menggeleng pelan. Ia tidak ingin membuat kedua orang tuanya merasa sedikit cemas, terlebih mereka mengundang Zafran yang ternyata tidak bisa datang. Peter mengembuskan napasnya panjang melihat keterdiaman Evelina yang seakan terjadi sesuatu. Membuat lelaki itu memilih untuk diam. Terkadang Evelina memang lebih sering diam dibandingkan berbicara, kecuali gadis itu berada di rumah. Mungkin menurutnya lebih leluasa dibandingkan ketika berada di tempat umum. “Oh iya, di mana Zafran? Bukankah dia diundang untuk datang?” tanya Peter mengalihkan pembicaraan. Evelina mengangkat kepalanya, lalu menjawab dengan lesu, “Zafran ada urusan sama teman sekelasnya, Pah. Tadi Eve samperin, tapi enggak sempat bilang tentang ajakan Papah. Karena Eve takut dia mutusin gitu aja.” “Tumben sekali dia ada urusan sama teman sekelasnya,” gumam Peter penasaran. “Siapa? Reyhan?” “Bukan, Pah. Ini anak baru namanya Azalia,” balas Evelina menggeleng pelan. Sejenak Peter mengangguk pelan mendengar nama asing tersebut. Namun, tidak dapat dipungkiri lelaki itu menyadari perbedaan nada bicara Evelina yang terkesan sedih sekaligus kecewa. Membuat Peter tidak bisa melakukan banyak hal, selain tidak lagi membicarakan masalah Zafran. Tak lama kemudian, pesanan mereka bertiga pun datang. Bertepatan dengan malam mulai menyelimuti langit membuat makan malam hangat nan bahagia itu tampak terlihat jelas di wajah Evelina. “Mamah sama Papah kembali ke Swiss berapa hari lagi?” tanya Evelina di sela suapan nasi goreng pilihan sang ayah, kebiasaan mereka ketika berkumpul selalu Peter yang memutuskan makanan utama. Sedangkan pendamping lainnya dipilih oleh satu per satu dari mereka. Wendy memberikan sepotong steak ke piring anak semata wayangnya, lalu menjawab mewakili sang suami, “Tenang aja, Papah sama Mamah masih ada di sini sampai kamu UAS.” “Berarti ketika Eve naik kelas 12, Mamah sama Papah ada di sini?” tanya Evelina melebarkan matanya bersemangat. Tanpa sadar Peter tertawa pelan melihat wajah sumringah Evelina yang sudah lama sekali tidak terlihat. Sebab, selama ini Evelina terbiasa ditinggal oleh kedua orang tuanya. “Tapi, mungkin Papah aja yang sering ke Swiss selama beberapa hari, dan balik lagi ke sini,” jawab Peter mengangguk mantap. “Karena Papah ada kerjaan lumayan banyak di sini, dan enggak ada yang bisa ditinggal.” “Kerjaan apa, Pah? Tumben ambil kerjaan di Indo.” Evelina mengernyit penasaran. Peter tersenyum geli mendengar perkataan anak semata wayangnya yang terkesan penasaran sekaligus mengejek, sebab gadis itu jelas merasa sedikit tidak percaya pada sang ayah yang terlihat bekerja keras di luar negeri dibandingkan negeri sendiri. “Sebenarnya Papah udah sering nerima tawaran yang ada di sini, cuma kadang enggak Papah terlalu up banget karena belum menguntungkan. Tapi, sekarang Papah mau mulai dari yang lebih awal, karena perusahaan di Swiss udah lumayan maju. Jadi, Papah mau ngembangin yang ada di sini juga,” tutur Peter bijaksana. Sebab, lelaki itu jelas memikirkan para karyawannya ketika memutuskan untuk membangun perusahaan baru, terlebih tidak semudah itu membesarkan perusahaan jika tidak memiliki induk di belakangnya. Walaupun tidak mengerti, Evelina hanya mengangguk pelan. “Jadi, nanti Papah ada dua perusahaan?” “Bisa dibilang begitu, tapi untuk yang di sini mungkin buat sampingan aja. Kalau udah benar-benar besat, baru Papah tekunin,” pungkas Peter tersenyum tipis. ** Selesai makan malam, Evelina dan kedua orang tuanya pun bergegas kembali ke rumah. Ketiganya langsung memisahkan diri dengan Evelina memilih untuk menuju ke kamarnya. Langit gelap dipenuhi gemerlap bintang tampak menyambut Evelina yang baru saja selesai membersihkan tubuh. Gadis berpiyama putih bergambar beruang kecil yang begitu lucu terlihat sedang memandangi langit sembari memegang pagar pembatas balkon kamar. Di saat asyik memperhatikan keadaan langit tiba-tiba Evelina membayangkan jejeran roti di toko roti yang berada tepat di depan komplek membuat gadis itu mengernyitkan keningnya berpikir keras. “Uhm … jadi pengen beli roti kopi,” gumam Evelina pelan. Merasa keinginannya harus terpenuhi, Evelina pun mengambil hoodie berwarna cokelat muda dari dalam lemari gantung khusus outwear seperti jaket, blazer, dan hoodie yang sekarang menjadi pilihan gadis itu untuk keluar. Sejenak Evelina turun dari kamar menatap sekeliling ruangan yang tidak memperlihatkan keberadaan orang tuanya. Membuat gadis itu mengembuskan napas pendek. Ia mengetahui bahwa mereka berdua pasti sedang berada di kamar untuk beristirahat. Kali ini pilihan gadis berpiyama mungil itu tampak mengeluarkan sepeda hybrid milik sang ayah yang sudah lama sekali tidak terpakai. Saat Evelina kesusahan mengeluarkan sepeda tersebut, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat membuat gadis itu langsung berlari keluar garasi. Evelina melihat seorang lelaki paruh baya mengenakan celana panjang berwarna hitam dengan kaus hitam polos tengah memegang sebuah kunci untuk memasukkan mobil sang ayah yang masih berada di luar. “Pak Jafra,” panggil Evelina sedikit keras membuat lelaki paruh baya tersebut menoleh dengan kening berkerut bingung. “Bantuin Eve ambil sepeda.” “Nona Eve mau ngapain?” tanya Pak Jafra penasaran sembari menghampiri anak majikannya yang terlihat rapi, tetapi masih mengenakan sandal jepit. “Keluar sebentar,” jawab Evelina tersenyum penuh arti. Tidak ingin bertanya lebih lanjut, Pak Jafra langsung membantu anak majikannya mengeluarkan sepeda hybrid berwarna biru. Membuat Evelina menunggu dengan sabar di luar garasi sembari memegang uang saku untuk membeli roti keinginannya. “Nona Eve, ini ban sepedanya kempis. Mau dipompa dulu?” tanya Pak Jafra menyandarkan sepedanya tepat di hadapannya Evelina. “Pompa aja, Pak. Eve mau ke depan komplek beli roti,” jawab Evelina mengangguk mantap. Setelah itu, Pak Jafra langsung bergegas mengisi angin sepeda milik majikannya. Lelaki paruh baya tersebut benar-benar mengecek keadaan sepeda yang berbulan-bulan tidak dipakai. “Sudah, Pak?” tanya Evelina menghampiri lelaki paruh baya yang terlihat sudah selesai memberikan banyak pengecekan. “Iya sudah, Nona Eve,” jawab Pak Jafra mengangguk pelan. “Terima kasih, Pak.” Evelina mengangguk pelan, lalu bersiap untuk pergi. Hal tersebut membuat Pak Jafra mengantarkannya dengan sangat berat hati. Lelaki paruh baya itu awalnya ingin menemani Evelina membeli roti, tetapi sayang sekali gadis itu menolak dengan halus. Membuat Pak Jafra tidak memiliki kekuatan lagi untuk tetap menyuarakan keinginannya. Selesai mengantarkan Evelina yang sudah hilang dari pandangan, Pak Jafra pun langsung menutup kembali pintu gerbang. Namun, sebelum tindakan itu terjadi tiba-tiba terdengar suara panggilan dari seseorang yang jauh. “Pak Jafra!!! Jangan ditutup dulu!” teriak Zafran berlari sekuat tenaga menyusul pintu gerbang yang nyaris ditutup. Seorang lelaki paruh baya itu langsung menatap kedatangan Zafran dengan tersenyum geli, lalu berkata, “Nak Zafran nyari Nona Eve, ya?” Zafran mengangguk polos. “Iya, Pak. Di mana Eve?” “Nona Eve lagi keluar, katanya mau beli roti yang ada di depan komplek,” jawab Pak Jafra memberi tahu tujuan kepergian Evelina kali ini. Sejenak Zafran mengernyit bingung memikirkan kepergian Evelina yang cukup jauh. “Eve naik sepeda atau jalan kaki, Pak?” “Nona Eve naik sepeda milik Tuan Peter. Mungkin kalau Nak Zafran mau nyusul bisa naik motor, karena Nona Eve pasti udah cukup jauh.” “Kalau begitu, Zafran tunggu di sini aja, Pak,” putus lelaki tampan itu mengangguk pelan. Sedangkan Pak Jafra yang mendengar keputusan itu pun langsung mempersilakan lelaki tampak beranjak remaja itu masuk ke dalam untuk menunggu sahabatnya masih berada di perjalanan. Sementara itu, Evelina terlihat sedang memilih beberapa rasa roti yang akan ia beli. Gadis cantik dengan tudung hoodie dinaikkan hingga menutupi sebagian wajahnya itu tampak menunjuk ke beberapa rasa yang tersisa sedikit. Tak lama berkendara sepeda menyusuri beberapa komplek, akhirnya Evelina pun sampai di depan rumah milik kedua orang tua dengan gerbang depan terbuka sedikit. Membuat gadis itu langsung melesat masuk tanpa turun lebih dulu. Kemudian, Evelina memarkirkan sepeda tersebut tepat di depan pintu garasi dan beranjak turun membawa sekotak roti miliknya dengan melenggang santai sembari bersenandung pelan. Akan tetapi, langkah kaki gadis itu mendadak terhenti melihat seorang lelaki yang terlihat tidak asing tengah terduduk di kursi depan rumah sembari memainkan ponsel dengan begitu serius. “Zafran, sejak kapan lo di sini?” tanya Evelina menurunkan tudung hoodie tersebut dan mendudukkan diri tepat di kursi kosong, kemudian meletakkan kotak roti miliknya di atas meja. “Akhirnya lo datang juga, Ve. Gue hampir ketiduran nunggu lo di sini,” keluh Zafran dengan melebih-lebihkan waktu. Mendengar hal tersebut Evelina spontan memutar bola matanya malas, lalu berkata, “Gue baru pergi lima menit yang lalu, ya. Enggak masuk akal lo di sini malah jadi numpang tidur.” Zafran tertawa pelan, lalu mengangguk mengerti. “Baiklah, gue sekarang tahu kenapa lo bisa pantas masuk kelas IPA. Ternyata perhitungannya benar-benar akurat.” “Ya udah, sekarang lo ngapain di sini? Bukannya tadi bilang ada urusan sama Azalia?” “Cuma bantuin dia beli buku aja, jadi enggak terlalu lama. Lagi pula gue sore ke sini, tapi lo katanya belum pulang. Dan gue baru balik lagi ke sini lo malah pergi lagi.” Evelina tertawa pelan. “Iya, gue tadi ngiler mau makan roti. Lo udah makab malam belum?” “Kebetulan Bang Adzran tadi bawa nasi goreng, jadi gue sekarang udah makan malam.” “Tumben Bang Adzran inget punya adik lagi. Padahal saat tu Zafran sudah lumayan besar, tetapi tetap saja Adzran tidak rela jika kasih sayang orang tuanya dibagi dengan lebih besar sang adik.” “Enak aja!” sungut Zafran mendengkus kesal. “Walaupun tampangnya seperti kakak tiri, dia tetap menjadi seorang kakak lelaki yang mampu diandalkan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN