73. Kenangan Buruk

1998 Kata
Sejak pertemuan tidak sengaja untuk ke sekian kalinya, Azalia dan Zafran mendadak sering bersama. Keduanya menghabiskan waktu untuk mengajarkan banyak hal pada Azalia, termasuk mengetahui tempat-tempat yang wajib dikunjungi selama masih berada di Indonesia. Tentu saja hal tersebut membuat Reyhan merasa sedikit heran, tetapi lelaki itu sama sekali tidak menduga bahwa Zafran akan dengan sangat cepat melupakan sahabatnya sendiri yang secara perlahan dijauhi. Membuat Jordan dan Reyhan yang masih sadar pun menemani Evelina. Walaupun gadis itu terbiasa sendiri, tetapi kehilangan satu-satunya orang yang bisa membuat diri sendiri menjadi lepas bukanlah perkara yang mudah. Apalagi terkadang keduanya bertindak seperti sepasang kekasih, sehingga aneh melihat mereka mendadak saling menjauh satu sama lain. Sebenarnya Evelina melakukan hal tersebut bukan tanpa alasan. Gadis itu hanya tidak ingin mengganggu hubungan mereka berdua yang terlihat seperti sepasang kekasih. Meski pada kenyataannya belum tentu benar, semua terbanting akibat kerusuhan dari penggemar tersebut. “Ve, lo udah makan siang?” tanya Reyhan tepat ketika keduanya sampai di kelas yang menjadi rumah kedua bagi lelaki tersebut. “Gue belum sempat makan, tapi tadi dikasih cemilan sama Syafa,” jawab Evelina memperlihatkan satu kotak makan penuh. Cemilan yang dibicarakan gadis itu ternyata bekal sebuah salad buah dengan mayonaise super banyak. “Kok lo doyan, Ve? Gue aja ngelihatnya udah ngerasa aneh.” Reyhan mengernyitkan keningnya mendadak jijik melihat banyak potongan buah tersebut dimakan secara bersamaan dalam keadaan mentah, tetapi matang ketika dari buah itu sendiri. Evelina tertawa pelan, lalu memakan satu per satu salad pemberian teman sekelasnya. Sebab, gadis itu sudah membawakan empat loyang kue pemberian sang ibu untuk semua orang temannya yang tersisa. “Belakangan ini lo udah lumayan berbaur ya sama teman sekelas lo sendiri?” tanya Reyhan menyangga kepalanya dengan tangan kiri sembari menandangi Evelina dan Jordan yang duduk di bangku mereka sendiri, sedangkan ia berada di bangku tepat di depan keduanya dengan membalikkan ke belakang. Evelina memang tidak pernah menampik bahwa belakangan ini dirinya menjadi sedikit lebih terbuka pada teman sekelasnya. Semua jelas berawal dari hiking yang benar-benar merubah seluruh kebiasaan gadis itu. Kini Evelina sudah tidak lagi menjadi pribadi yang pendiam, walaupun masih sesekali mengabaikan orang lain akibat kebiasaan buruknya. “Jauh lebih baik daripada kelas 10,” jawab Evelina mengangguk pelan, lalu menatap ke arah Reyhan penuh. “Bukankah gue juga lebih terbuka sama lo, Rey?” Mendengar hal tersebut, Jordan spontan tersenyum tertahankan sembari menggeleng pelan. Memang apa yang dikatakan Evelina benar, gadis itu telah menjadi sedikit lebih baik dibandingkan sebelumnya. “Iya juga, sih. Lo emang agak sedikit beda belakangan ini. Mungkin karena kemampuan lo juga udah sedikit terbuka dan enggak ada tekanan lagi,” gumam Reyhan merasa bodoh terhadap dirinya sendiri, lalu kembali menatap Evelina dengan sedikit mencondongkan tubuhnya untuk berbisik, “lo masih bisa ngelihat mereka, Ve?” Sejenak Evelina mengaduk salad pemberian Syafa, sebelum akhirnya menusuk potongan buah tersebut menggunakan garfu miliknya. Kemudian, mengangguk patah-patah mengiakan bisikan pelan dari Reyhan. Sedangkan Jordan yang melihat anggukan tersebut semakin mengerti bahwa Evelina terkadang bertingkah aneh. Bahkan gadis itu sering kali melamun di kelas. Untung saja sebagai teman sebangkunya, Jordan selalu mengingatkan Evelina untuk tetap sadar. “Sebenarnya gue masih sering ngelihat arwah gitu samar-samar, tapi berusaha buat enggak terlalu ngeladenin. Karena semakin sering gue gunain kemampuan ini, maka gue juga akan sering ngelihat mereka. Jadi, gue pikir lebih baik biasa aja,” tutur Evelina mengembuskan napasnya panjang. “Tapi, untuk sekarang gue belum ngelihat apa pun, karena gue juga udah perjanjian sama mereka kalau jangan ganggu ketika gue mau sendirian.” “Oh … jadi mereka itu bakalan ngerti dan enggak ganggu ketika kita tegas?” tebak Reyhan mengangguk pelan. “Arwah itu mirip manusia. Ketika kita lemah dan ketakutan, maka mereka akan semakin kuat. Begitupun sebaliknya.” Evelina menutup tempat bekal dengan salad pemberian Syafa telah tandas tak tersisa. “Belakangan ini gue juga lebih tegas, dan mereka segan. Karena mereka juga memiliki sebuah rasa seperti manusia.” “Wah, gue baru tahu kalau hantu juga seperti manusia,” gumam Reyhan mendadak takjub membayangkan dirinya bisa melihat mereka semua. Pasti apa yang dikatakan Evelina memang benar. Jordan yang sejak tadi merasa penasaran pun langsung berkata, “Jadi, sekarang lo belum lihat apa pun, Ve?” “Udah kok, cuma gue enggak terlalu nganggap aja. Bahkan di kelas ini ada tiga penunggunya. Yang pertama di belakang kelas dekat loker itu ada sesosok hitam besar memenuhi ruangan, gue pikir dia mungkin penjaga. Kedua, di sudut dekat lemari penyimpanan alat tulis kelas itu bocah kecil, dia sering lari-lari kalau malam. Dan yang ketiga, seumuran kita cewek, dia sering datang ke kantin dan ngobrol sama gue. Tapi, untuk terakhir sesosok cewek ini udah lama banget dan korban bunuh diri akibat kekasihnya,” papar Evelina menjelaskan seluruh penglihatannya selama bisa menggunakan kemampuan dengan bebas. Penjelasan dari gadis cantik yang memiliki kemampuan luar biasa itu pun membuat Jordan dan Reyhan seketika saling berpandangan, lalu mulai melihat spot kediaman makhluk astral yang sedikit menakutkan. “Sekarang mereka lagi ngapain, Ve?” tanya Jordan mulai merinding dengan bulu kuduknya berdiri seketika. Padahal biasanya lelaki itu hampir tidak pernah merasa takut sama sekali. “Uhm … yang besar biasa sih dia enggak akan ganggu karena emang jadi penjaga aja, anak kecil itu jelas dia mainnya kalau malem, dan hantu cewek seumuran kita jarang buat ganggu. Paling dia datang ke gue buat ngobrol, tapi sekarang entah ke mana gue juga belum lihat dari pagi,” jawab Evelina tersenyum geli melihat ekspresi ketakutan dari kedua lelaki yang ada di hadapannya. “Kalian berdua takut, ya? Astaga, Rey udah enggak aneh lagi, tapi … lo-Jo udah mulai ketakutan?” Sejenak Jordan meringis pelan sembari mengusap tekuknya yang terasa merinding, lalu berkata, “Bulu kuduk gue mendadak berdiri saat lo ngomongin tiga hantu itu.” Evelina mengangkat kedua alis lentiknya terkejut, lalu menggeleng ragu. “Mereka enggak ada di sini, Jo. Lo kenapa bisa merinding?” Sedangkan Reyhan yang melihat sahabatnya ketakutan pun langsung tertawa keras sekali sembari memukul-mukul meja sampai mengalihkan banyak pandangan anak kelas 11 IPA 2 yang langsung menatap bingung ke arah lelaki tersebut. ** “Zaf, lo balik sama siapa?” Seorang gadis berwajah kalem itu tampak berlari mendekat ke arah Zafran yang bersandar pada tiang penyangga gedung sekolah. Lelaki tampan itu tampak sedang menunggu seseorang sembari menyampirkan sebelah tali tas miliknya. Terdengar sebuah pertanyaan tersebut membuat Zafran menoleh mendapati seorang gadis tengah menatap penuh sembari memegangi dua tali ranselnya. Ia mengernyit bingung. “Gue lagi nunggu Azalia,” jawab Zafran santai, lalu menunjuk ke arah ruang guru dengan pintu yang terbuka lebar. Sejenak Evelina menatap sesaat ke arah pintu tersebut, lalu kembali memperhatikan sahabatnya yang sedikit berbeda. Entah kenapa seharian ini Zafran tidak mengunjungi dirinya membuat Evelina sedikit merasa kecewa. “Kalian berdua ada janjian?” tanya Evelina berusaha tersenyum ikhlas. Zafran mengangguk pelan, lalu menjawab, “Iya. Tadi Bu Liane minta gue buat nemenin dia beli beberapa buku pelajaran.” Mendengar hal tersebut, Evelina berusaha menelan kekecewaannya. Padahal ia berniat mengajak lelaki itu untuk bertemu kedua orang tuanya yang kebetulan hari ini mengajak makan malam di luar. Namun, ajakan Peter sepertinya harus ditolak oleh Zafran. Karena lelaki itu sudah memiliki urusan dengan teman sekelasnya. Membuat Evelina harus sadar bahwa sekolah jauh lebih penting dan tidak bisa memaksa pada Zafran untuk membatalkan perjanjiannya dengan Azalia. Keterdiaman Evelina membuat Zafran mendadak bingung, terlebih gadis itu mendatangi lebih dulu dengan menanyai pulang bersama siapa. Tentu saja pertanyaan seperti itu hampir tidak pernah terjadi. Kalau bukan saat ini. “Kenapa, Ve? Tumben lo nanyain gue bareng sama siapa. Mau ikut nebeng gue balik?” tanya Zafran mengulangi pertanyaan sahabatnya dengan sedikit penasaran. Spontan Evelina menggeleng pelan, lalu menjawab, “Enggak. Gue cuma mau nanya aja, karena aneh lihat lo di sini. Padahal sebelum enggak pernah sama sekali.” Perkataan meyakinkan dari Evelina yang sedikit masuk akal itu membuat Rafif tidak merasa curiga sama sekali. Apalagi gadis itu terus tersenyum seperti biasanya, seakan tidak terjadi apa pun. “Sebenarnya gue juga malas, karena lo tahu sendiri bakalan banyak banget siswi yang lewat kalau ngelihat gue di sini,” timpal Zafran menegakkan tubuhnya sembari merogoh kantung celana abu-abu miliknya. “Buat lo! Gue mau ngasih ini tadi pas istirahat, tapi enggak bisa karena harus nemenin Azalia belajar.” Terlihat sebuah gantungan kunci berbentuk miniatur akuarium dengan bagian dalamnya terdapat tumbuh-tumbuhan laut yang sangat cantik. Benda berbentuk kotak itu tampak sangat cantik membuat Evelina melebarkan matanya senang. “Lo beli ini di mana, Raf?” tanya gadis itu menerima dengan senang hati. “Itu titipan dari Bang Adzran,” jawab Zafran memperlihatkan gantungan lainnya yang sama persis dengan milik Evelina. “Kita dikasih sepasang sama dia.” Pandangan Evelina sesaat teralihkan menatap miniatur akuarium yang terlihat sama persis dengan miliknya. Gadis itu membulatkan mulutnya tidak percaya, lalu tertawa pelan melihat Adzran sangat perhatian sampai memberikan miniatur kembar yang hampir sama persis. “Gue enggak tahu Bang Adzran romantis beliin miniatur couple begini,” gumam Evelina senang, lalu mengangguk bersemangat dengan melupakan kekecewaannya sesaat. “Entahlah, dia masih terobsesi sama hubungan kita berdua,” balas Zafran mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Oh ya, lo balik sama siapa? Naik bus lagi?” Evelina mengangguk pelan sembari memasukkan miniatur pemberian Adzran melalui Zafran ke dalam tas mungilnya yang kebetulan sedang dibawa. Mengingat buku pelajaran yang digunakan tidak terlalu banyak, hanya membutuhkan loker saja untuk memasukkan beberapa buku penting. “Enggak, hari ini orang tua gue yang jemput. Tapi, mereka lagi di perjalanan, jadi gue sengaja nyamperin lo dulu sebelum pulang,” ungkap Evelina mengenakan tas mungilnya kembali. “Ya udah, gue mau ke gerbang dulu nunggu. Lo masih lama, ‘kan?” Zafran mengangguk dengan tersenyum tipis. Entah kenapa ekspresi lelaki itu tampak sedikit kecewa membuat Evelina mendadak tidak nyaman, tetapi ia tidak mungkin menunggu sampai Azalia datang. Karena jelas perasaannya akan lebih kecewa lagi. “Enggak tahu juga, gue malas ke dalam,” jawab Zafran menatap arloji yang ada di tangannya. “Lo di sini udah lima menit, Ve. Sana keluar nanti Om sama Tante nunggunya kelamaan.” Sejenak Evelina mengembuskan napasnya singkat, lalu mengangguk pelan. “Ya udah, gue pergi dulu!” Setelah itu, Evelina pun benar-benar melenggang pergi meninggalkan sahabatnya yang masih menunggu kedatangan Azalia. Membuat Zafran hanya bisa menatap kepergian gadis dengan perasaan sedikit tidak rela. Jujur saja, kalau bukan permintaan Bu Liane, mungkin Zafran akan lebih memikirkan Evelina. Karena istirahat tadi sudah membuat lelaki itu merasa bersalah. Sebab, ia sama sekali tidak datang mengunjungi Evelina, padahal Reyhan datang dan kembali lebih dalam. Namun, sayangnya lelaki itu tidak mengatakan apa pun perihal sahabatnya membuat Zafran mendadak penasaran. Langkah kaki Evelina tampak menyusuri setiap lorong kelas yang terlihat sepi. Hanya ada beberapa penunggu mulai berkumpul dengan duduk di atas meja. Mereka semua memandangi setiap langkah kaki Evelina melalui jendela kelas yang berjejer rapi. Akan tetapi, tidak ada satu pun dari makhluk astral tersebut yang mendatangi Evelina. Membuat gadis itu merasa nyaman untuk sesaat, sebab biasanya mereka akan memblokir langkah kakinya yang hendak keluar. Tentu saja mereka semua berniat untuk meminta Evelina mendengarkan seluruh curhatan yang sama sekali tidak berfaedah. Sesampainya di depan gerbang, Evelina menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan mobil sang ayah yang mungkin sudah datang. Akan tetapi, sayang sekali tidak ada tanda-tanda kedatangan mobil mewah tersebut membuat Evelina mengembuskan napasnya panjang dan memilih untuk berdiri di dekat pos satpam penjaga gerbang. Tentu saja kedatangan orang tua Evelina sedikit mencolok membuat beberapa murid SMA Catur Wulan yang masih tersisa langsung menatap penuh penasaran. Mereka tampak kagum melihat keluarga sempurna yang selama ini tanpa disadari mendapatkan banyak perlakuan yang tidak adil. Akan tetapi, pelaku dari perbuatan itu sudah mendapatkan keadilannya sendiri berkat kedatangan orang tua Evelina ke sekolahan. Membuat tidak ada lagi yang berani mengganggu gadis itu. Bukan hanya berurusan dengan Zafran, melainkan kedua orang tua yang sangat berpengaruh untuk sekolah. Sehingga mereka memilih untuk mencari aman dibandingkan harus mengadu nasib dengan melakukan perisakan tersebut. Karena perlakuan seperti itu di dalam lingkungan sekolah sangat disalahkan, terlebih perjalanan mereka masih sangat panjang untuk menjadi seseorang yang nakal di masa depan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN