34. Kakak Beradik

1001 Kata
Suasana keluarga penuh kehangatan tampak terlihat jelas dari Zafran yang tertawa ringan dengan suara lantang bernada penuh canda. Keluarga berisikan dua lelaki tampan itu tampak sangat akur. Padahal bisa dikatakan jika keluarga yang memiliki seorang lelaki akan terdengar pertengkaran tidak berujung. Akan tetapi, siapa sangka kalau pertanyaan itu dipatahkan oleh Adzran dan Zafran yang memiliki hubungan sangat baik. Walaupun keduanya sering melakukan candaan satu sama lain. Namun, hubungan kedekatan mereka tetap saja menjadi satu poin penting bagi kedua orang tuanya yang mendidik dengan baik. “Bang, gue dengar lo baru pulang dari pendakian,” celetuk Zafran sembari menikmati wafer cokelat berbentuk panjang yang terasa sangat enak membuat lelaki itu mengangguk-angguk senang. Adzran mengernyit bingung, lalu menoleh sesaat ke arah sang adik sebelum akhirnya terfokus kembali menatap laptop di hadapannya. Lelaki itu terlihat sibuk sampai menanggapi candaan Zafran hanya dalam waktu singkat, selebihnya Adzran gunakan mengetik sesuatu di laptop. “Tahu dari mana lo? Bukannya gue bilang baru pulang dari penyuluhan?” Zafran mendesis pelan, lalu berkata, “Jangan bohong sama gue, Bang. Biar pun gue hiking, tapi masalah update sosial media jelas gue masih jagonya.” “Lo lihat di instajram?” Adzran kali ini menoleh penuh ke arah sang adik yang terlihat mengangguk ringan. “Tadi pas break makan siang gue sempat buka hp dan kebetulan jaringan bagus, jadi gue buka sosmed bentar,” jawab Zafran tersenyum ringan sembari menaik-turunkan alisnya menggoda. Sontak hal tersebut membuat Adzran memutar bola matanya malas, lalu menatap sekeliling rumah yang ternyata sudah sepi. Padahal awalnya lelaki itu hanya bergelut sesaat dengan pekerjaan kuliahnya, tetapi siapa sangka kalau ternyata kedua orang tuanya telah pergi meninggalkan ruang santai keluarga. “Mamah sama Papah ke mana?” tanya Adzran mengalihkan pembicaraan. “Lah? Bukannya Mamah ada kondangan hari ini? Lo lupa ya, Bang?” Kening Zafran mengernyit bingung. Padahal kedua orang tuanya telah berpamitan sejak beberapa saat yang lalu. “Masa, sih? Gue kira masih ada di sini.” Sepertinya virus lemot nan menyebalkan dari Zafran menular cepat ke arah Adzran sampai lelaki itu tidak menyadari bahwa kedua orang tuanya telah meninggalkan ruang santai. Sedangkan Zafran yang melihat sang kakak mendadak aneh pun hanya diam, lalu bangkit dari tempat duduknya. Lelaki itu melenggang keluar sembari menggenggam ponsel di tangannya. Meninggalkan Adzran yang mengangkat bahunya acuh tak acuh, dan kembali menggeluti pekerjaannya. Sesampainya di kamar, Zafran langsung merebahkan tubuhnya di kasur empuk yang terasa sangat nyaman. Sudah lama sekali ia menunggu saat-saat untuk kembali, sampai rasanya begitu melelahkan. Padahal lelaki itu tidak melakukan banyak hal. Saat Zafran hendak memejamkan mata, tiba-tiba ponselnya berdering pelan membuat lelaki itu kembali membuka matanya. Namun, Zafran terlihat sedikit kesal dengan seseorang yang kini menghubunginya. “Halo, Zaf! Lo di mana? Gue ada di rumahnya Eve.” Zafran yang awalnya ingin sekali mengomel, tiba-tiba menguap begitu saja. Lelaki itu tampak melebarkan matanya terkejut dan kembali memastikan bahwa yang menghubungi dirinya adalah Reyhan, dan bukan Jordan dengan sikap dingin layaknya kutub es. “Ngapain lo di rumah Eve?” tanya Zafran meluncur begitu saja. Sejujurnya lelaki itu ingin sekali bertanya tentang keberanian Reyhan yang mengunjungi kediaman Evelina dibandingkan dirinya. Padahal bisa dikatakan lelaki itu bersahabat baik dengan Zafran, tetapi malah mengunjungi Evelina. “Cepat ke sini, Zaf! Selamatkan gue,” cicit Reyhan merubah suaranya menjadi sangat pelan. Sontak hal tersebut membuat Zafran seketika menegakkan tubuhnya kembali, lalu bertanya, “Memangnya lo kenapa, Zaf?” “Astaga, cepat ke sini!” titah Reyhan dengan memutuskan panggilannya begitu saja. Sedangkan Zafran hanya menatap layar ponsel yang menampilkan sebuah gambar bunga matahari kesukaan sang ibu. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa lelaki itu tidak akan mengganti gambar pada layar kuncinya sebelum menemukan seseorang yang akan menjadi wanita kedua setelah sang ibu. Meskipun foto Evelina banyak sekali di dalam galeri ponselnya, tetapi gadis itu benar-benar menyebalkan. Tidak ada satu pun gambar wajah Evelina yang tampak dengan jelas. Gadis itu selalu saja menyembunyikan wajahnya sampai Zafran terkadang merasa kesal. Karena Evelina terlalu pemalu untuk ukuran seorang gadis. Tanpa pikir panjang Zafran pun langsung meraih hoodie merah miliknya dari dalam lemari, kemudian melenggang keluar sembari bersiul pelan. Membuat perhatian Adzran teralihkan. “Mau ke mana, Zaf?” tanya Adzran membawa laptop yang terbuka di tangannya, lalu mengernyit bingung mendapati sang adik tampak rapi hendak keluar rumah. “Rey ada di rumah Eve, Bang. Gue mau keluar bentar,” jawab Zafran mengedipkan sebelah matanya genit. “Jangan lama-lama. Nanti kalau Mamah sama Papah pulang gue juga enggak ada di rumah. Jadi, jangan sampai mereka ngira kita diculik lagi.” Adzran mengembuskan napasnya panjang. Memang pernah terjadi suatu masalah ketika kakak beradik itu kompak meninggalkan rumah tanpa secarik pesan pun membuat kedua orang tua mereka menyangka bahwa sudah dimasuki oleh maling. Untung saja Evelina yang kebetulan mengetahui sahabatnya sedang bertanding basket di lapangan komplek. Membuat gadis itu langsung memberi tahu pada kedua orang tua lelaki tampan tersebut untuk langsung memastikannya. Alhasil mulai dari situlah terkadang Adzran dan Zafran merasa kedua orang tua mereka sangat berlebihan. Apalagi sang ibu yang memiliki banyak drama sampai Adzran terkadang lelah untuk menanggapinya. Ditambah lelaki itu benar-benar kalem seperti Jordan. “Gue naik sepeda, Bang. Kalau lo mau keluar juga, jangan lupa bilang sama Mamah sekalian bilangin gue ke rumah Eve,” pinta Zafran berlari begitu saja meninggalkan sang kakak yang melebarkan matanya terkejut. Sontak hal tersebut membuat Adzran menggeleng tidak percaya. Terkadang lelaki itu merasa bingung sekaligus tidak mengerti melihat sang adik yang begitu ceria. Seakan stok energinya benar-benar penuh dan tidak pernah terkuras habis. Akan tetapi, tetap saja paling melelahkan dalam hidup Adzran adalah menanggapi seluruh ocehan Zafran yang benar-benar panjang. Bahkan lelaki itu seakan tdiak pernah kehabisan ide untuk memulai perbincangan. Sangat cocok untuk menjadikannya teman ketika sedang memiliki masalah. Walaupun begitu, Adzran sangat menyayangi adiknya. Karena mereka berdua saling melengkapi satu sama lain. Bahkan bisa dikatakan mereka tidak mempunyai adik akibat sang ibu yang selalu melarang keduanya agar tetap akur tanpa memiliki perantara. Meskipun Adzran dan Zafran ingin memiliki adik perempuan yang manis. Sampai mereka menganggap Evelina adalah adiknya. Karena memang sangat menggemaskan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN