35. Bertamu

980 Kata
Sepanjang perjalanan menuju kediaman Evelina, sepeda yang melaju cukup kuat mengitari komplek itu tampak sangat lancar dan sesekali berbelok ketika mendapati tikungan tajam. Sampai laju sepeda milik Zafran berhenti tepat di depan rumah bergaya mewah nan elegan dengan serba putih menghiasi sekitarnya. Lelaki itu tampak memencet bel pagar sebelum akhirnya dibukakan oleh wanita paruh baya yang tidak asing. “Bi, Eve ada di rumah?” tanya Zafran tersenyum sopan. “Ada, Tuan Muda. Silakan masuk!” jawab Bibi yang selama ini menjadi asisten rumah tangga sekaligus membantu segala keperluan Evelina dengan baik. “Terima kasih,” ucap Zafran tulus sembari menuntun sepeda miliknya masuk ke dalam pekarangan yang terlihat satu motor asing terparkir sempurna. Hal tersebut membuat lelaki berpakaian hoodie merah yang tergulung sampai ke siku langsung melenggang masuk dengan santai. Tanpa mengetuk pintu sama sekali, karena ia tahu bahwa orang-orang di dalam rumah tersebut tidak ada yang memperhatikan tamu. Bahkan untuk ukuran pertemanan yang sangat lama benar-benar membuat Zafran menganggap rumah Evelina sebagai rumahnya sendiri. Walaupun gadis itu juga tidak merasa keberatan. Di tengah langkah kakinya menuju tempat yang biasa digunakan untuk berkumpul, sejenak Zafran menghentikan langkah kaki ketika mendapati sepasang suami istri tengah duduk di meja kecil sembari berbincang. Hal tersebut membuat Zafran menyempatkan diri menyapa keduanya yang sudah tidak lagi canggung. Memang antara Evelina dan Zafran sudah layaknya kakak beradik yang saling melengkapi. Sehingga tidak ada rasa kecanggungan yang terjadi di antara keduanya. Bahkan Evelina sering menginap ketika gadis itu sering ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya. “Om, Tante, kapan pulang? Zafran kira masih lama,” sapa lelaki itu menyalimi tangan kedua orang tua Evelina secara bergantian. “Enggak, Zaf. Om udah pulang dari pagi,” balas Peter tersenyum tipis. Zafran mengangguk pelan. “Eve sama Rey di mana, ya, Om?” “Ada di belakang,” jawab Peter santai. “Oh ya, Papah kamu ada di rumah? Om mau datang untuk membicarakan masalah kerjaan.” “Papah lagi pergi kondangan, Om.” “Kondangan? Tumben sekali dia pergi, biasanya saja menitipkan amplop pada kami.” Zafran tertawa pelan, lalu mengangguk pelan menyetujui apa yang dikatakan oleh Peter. Karena sang ayah benar-benar malas harus bepergian, apalagi ke acara pernikahan yang katanya sangat melelahkan. Entah apa yang terjadi pada lelaki itu ketika berada di tempat umum. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Adzran atau Zafran yang sering kali menemani sang ibu bepergian. “Kalau begitu, Zafran ke belakang dulu, Om,” pamit Zafran membungkuk sopan, lalu tersenyum manis menatap ke arah Wendy yang terlihat sibuk memainkan ponsel. Wanita paruh baya itu masih sangat cantik seperti terakhir kali bertemu. Sejenak Zafran kembali melanjutkan langkah kakinya menuju pintu belakang yang tepat mengarah pada taman bunga kecil dengan saung bambu kesukaan Evelina. Tatapan lelaki itu langsung terpaku pada dua lelaki tampan yang duduk menatap seorang gadis tengah memotong sebuah bolu secara perlahan. Kemudian, meletakkannya di atas piring dan menyajikan ke arah dua lelaki tampan yang terlihat tidak sabar. “Kalian berdua benar-benar mencerminkan pengkhianatan dalam persahabatan. Bagamana bisa lo berdua mampir ke rumahnya Eve tanpa gue,” sungut Zafran mendengkus kesal melihat kedua sahabatnya benar-benar keterlaluan. Mendengar sebuah sendiran yang mengarah pada mereka pada keduanya, Evelina hanya tersenyum geli. Ia memang tidak mengatakan apa pun, selain mempersilakan dua tamu tersebut menikmati hidangan. Setelah itu, Evelina kembali melenggang masuk menaruh kotak kosong tersebut sekaligus pisaunya ke dapur. Memberikan pada Bibi yang terlihat membersihkan meja makan. Zafran yang hanya menanggapi dengan sebuah candaan pun melenggang santai mengikuti langkah kaki Evelina. Gadis itu sempat melewatinya membuat lelaki itu langsung mengekori. “Sejak kapan mereka berdua datang, Ve?” tanya Zafran tampak sedikit kesal. “Baru beberapa menit yang lalu,” jawab Evelina santai sembari menaruh kotak beserta pisau. “Kenapa lo enggak usir aja?” sungut Zafran masih tidak terima kehadiran sahabatnya. “Bukankah lo sendiri yang minta mereka ke sini?” Kening Evelina mendadak berkerut bingung sekaligus tidak percaya, lalu mengeluarkan ponselnya yang menampilkan sebuah pesan singkat di grup dari Zafran. Sontak bukti konkret itu pun membuat Zafran tercengang sesaat. Lelaki itu langsung meraup wajahnya lelah, lalu menatap Evelina yang menahan senyuman. “Astaga, maksud gue itu besok bukan sekarang!” keluh Zafran mengambil gelas dari tangan Evelina. Lelaki itu benar-benar menandaskan minuman lemon milik Evelina dalam sekali teguk. Membuat gadis itu mengernyit penuh asam. Terkadang Zafran benar-benar tidak terduga sampai menghabisi minuman asam itu dengan sekali teguk saja. “Asam enggak, Zaf?” tanya Evelina menerima gelas kosong tersebut dengan hampir menyemburkan tawa gelinya. “Lumayan,” jawab Zafran mengangguk beberapa kali. “Itu minuman lemon punya gue, jadi wajar aja kalau asam,” ungkap Evelina tertawa pelan, lalu kembali menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas dan meneguknya dalam gelas yang sama. Sejenak tindakan itu membuat Zafran terdiam sesaat, lalu kembali teringat dengan perasaan kesalnya pada Jordan dan Reyhan yang sudah salah arti dalam pesan singkatnya di grup. “Ya udah, sekarang lo mau ngapain? Pulang atau tetap di sini?” tanya Evelina mengembuskan napasnya panjang melihat betapa menyebalkannya Zafran mengomel sedari tadi. “Jelas gue tetap di sini. Lagi pula di rumah cuma ada Bang Adzran,” jawab Zafran cepat, lalu melenggang keluar membawa sekotak minuman lemon yang ternyata cukup enak. Mungkin Zafran akan ketularan seperti Evelina menyukai banyak minuman asam dibandingkan manis. Bahkan gadis itu memiliki banyak kotak s**u, walaupun meneguknya hanya beberapa kali saja. Sisanya sering kali digunakan untuk mencampur banyak kue kering yang diperlukan. Memang Evelina bukanlah tipe gadis yang menyukai s**u, sehingga tubuh mungilnya sudah menjawab itu semua. Meskipun untuk ukuran keluarga tinggi, Evelina masih berada di rata-rata. Kedatangan Zafran membawa minuman Evelina membuat kedua sahabatnya mengernyit bingung, tetapi mereka memilih untuk tidak mengatakan apa pun, selain memperhatikan dengan berbagai pertanyaan mulai bersarang. Membuat Jordan dan Reyhan saling berpandangan satu sama lain. “Jangan pandang-pandangan kalau mau bilang sesuatu,” sindir Zafran mendudukkan diri tepat di hadapan keduanya, lalu mengambil satu potong bolu dan melahapnya begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN