64. Kalap Berbelanja

1994 Kata
Acara weekend memanglah sangat pas untuk memutuskan pergi berlibur bersama siapa pun, tetapi tidak dengan Evelina yang justru sudah melakukan banyak persiapan. Gadis itu terlihat sibuk memasukkan beberapa perlengkapan pelatihannya ke dalam tas ransel tangan karate pemberian dari ayah tepat ketika gadis itu menjuarai kejurna Batam 2019. Evelina tampak mengenakan kaus putih bertuliskan KARATE yang cukup besar dimasukkan ke dalam celana tegi putih panjang milik gadis itu. Salah satu kebiasaan Evelina hanya mengenakan bagian bawahannya saja, sedangkan atasannya akan dikenakan ketika gadis itu sudah berada di tempat pelatihan. Kali ini Evelina berangkat bersama Wendy yang sudah menawarkan diri untuk pergi bersama. Karena wanita itu ingin melihat kegiatan anak gadisnya ketika berada di luar sekaligus memberikan bingkisan kecil oleh-oleh dari Swiss. Gadis cantik menenteng ransel di tangannya itu pun turun menghampiri seorang wanita cantik nan anggun yang terlihat sedang mencari kunci mobil di dalam kotak kunci di dekat ruang tamu. “Mamah nyari kunci mobil? Tadi Pak Jafra udah bilang kalau ada di dalam mobil,” celetuk Evelina ketika melenggang turun dengan memegang salah satu pegangan tangga. Wendy menoleh dengan mengernyitkan keningnya bingung. “Pak Jafra ke mana? Kok pagi ini Mamah belum lihat?” “Tadi ada pemadangan listrik dari manajemen komplek, Mah. Pagi-pagi Pak Jafra langsung ikut ke sana buat lihat gardu yang bermasalah,” jawab Evelina mengangguk pelan. “Oh, ya udah. Ayo, kita berangkat!” ajak Wendy melenggang pergi bersama anak gadisnya yang mengikuti dari belakang. Ibu dan anak itu tampak mengendarai mobil mewah yang berwarna putih membelah jalanan lumayan lenggang akibat tidak ada aktivitas padat dari para pekerja. Mungkin sekarang mereka sedang menikmati hari libur ataupun berencana rekreasi bersama keluarga. Perjalanan menuju gedung pelatihan benar-benar memakan waktu singkat. Keduanya tidak sampai lima belas menit telah sampai di sebuah gedung tanpa cat dengan baru saja mendapatkan renovasi pada beberapa bagian yang sudah lama usang. “Osh, Kang!” salam Evelina dengan membungkuk 90 derajat ke arah seorang lelaki paruh baya berseragam rapi bersabuk hitam DAN 5. “Osh!” balas lelaki paruh baya tersebut membungkuk sedikit, lalu menegakkan tubuhnya kembali dengan bersalaman penuh sopan ke arah Wendy. “Ini … ibunya Evelina, ya? Saya agak kurang paham, karena selama ini hanya Pak Peter yang sering datang mengantar Evelina.” Wendy tertawa pelan, lalu mengiakan perkataan lelaki paruh baya di hadapannya. “Iya, Kang. Selama ini Evelina selalu diantar ayahnya, kebetulan hari ini sibuk jadi saya yang ngantar sekalian untuk memberikan oleh-oleh.” Empat paper bag besar dari dalam mobil benar-benar wanita itu bawa dengan dua tangan kokohnya. Membuat Evelina sedikit tidak percaya melihat kekuatan sang ibu yang ternyata sangat tidak bisa diragukan, karena wanita itu benar-benar kuat. “Wah, banyak sekali, Bu. Sepertinya ini kelebihan banyak,” ungkap Kang Seop menerima banyak paper bag tersebut dengan sungkan. “Tidak apa-apa, bisa diberikan untuk peserta pelatihan dari sabuk warna, karena saya sengaja membuatkan oleh-oleh lebih dari cukup,” balas Wendy mengangguk dengan tersenyum tipis. “Terima kasih banyak, Bu,” ucap Kang Seop tulus. Evelina ikut tersenyum senang, lalu berpamitan, “Mah, nanti kalau pulang Eve kabarin. Hati-hati di jalan.” “Kalau begitu, Mamah pergi dulu! Kang, terima kasih banyak sudah mendidik Evelina dengan baik!” ucap Wendy mengangguk singkat, lalu tersenyum tulus sebelum akhirnya benar-benar pergi mengendarai mobil. Selesai mengantarkan Evelina pada pelatihannya, Wendy pun memutuskan untuk bergerak menuju salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar. Wanita yang mengenakan blouse merah dipadukan dengan celana bahan hitam itu pun menghentikan mobil mewah tersebut di parkiran basement yang tidak terlalu ramai. Kemudian, Wendy melenggang masuk sembari mengampit tas lengan branded mahal pemberian dari sang suami. Wanita itu tampak melenggang ke arah salah satu toko perhiasan untuk mencuci ulang beberapa perhiasannya yang mulai memudar. Wanita itu berbincang singkat sebelum akhirnya melenggang pergi membawa sebuah nota tebusan perhiasan yang akan dilakukan nanti ketika selesai berkeliling. Wendy benar-benar ingin menghabiskan waktu di dalam mal untuk membelanjakan diri banyak pakaian dan barang-barang yang cocok untuk Evelina. Wanita itu benar-benar memasuki satu per satu toko pakaian yang ada di mal, lalu membeli dua atau tiga pakaian sekaligus menurutnya cocok. Dan kembali memanjakan diri di salon mahal untuk melakukan treatment. Saat Wendy hendak menuju toko pakaian berlabel cukup mahal, langkah wanita itu pun terhenti ketika melihat sepasang suami istri dan kedua anak lelakinya tengah bercengkrama di salah satu restoran. “Jeng Rina!” panggil Wendy berlari kecil dengan tersenyum lebar. Sontak wanita paruh baya yang dipanggil namanya itu pun menoleh, lalu tersenyum senang. “Hai, Jeng Wendy! Sudah lama kita tidak bertemu, ya. Makin cantik dan muda aja.” “Hei, enggaklah,” sanggah Wendy tertawa pelan, lalu menoleh ke arah Zafran yang mengangguk singkat. “Wah, Zafran, Tante pikir kamu ikut karate! Tadi Tante baru aja selesai ngantar Eve latihan.” “Jangan nyuruh Zafran, Tan. Dia kebanyakan main game online dibandingkan olahraga seperti Eve,” sahut Adzran mendesis mengejek pada adiknya yang terlihat kesal. “Heh! Apa bedanya sama lo yang sibuk di depan laptop? Mau dimakan itu benda?” balas Zafran pedas. “Astaga, kalian berdua! Stop, jangan bertengkar ini di mal. Kalian itu sudah besar jangan seperti anak kecil,” sela Kamal menggeleng tidak percaya melihat kedua anaknya selalu bertengkar layaknya seorang anak kecil. Adzran dan Zafran pun spontan mengembuskan napasnya panjang, lalu menatap sinis satu sama lain. Sebelum kembali melanjutkan kegiatan sarapannya. Sedangkan Wendy yang melihat betapa ramainya kakak beradik tersebut pun tertawa pelan. “Kalian berdua masih sama seperti dulu, ya. Tidak ada yang mau mengalah. Kalau aja Eve mau punya adik, mungkin Tante bakalan lihat pertengkaran seperti ini setiap hari.” “Aku saranin jangan, Jeng. Kepala kamu bisa pusing mendengar pertengkaran seperti ini. Bahkan aku aja kalau bisa lebih baik mereka berdua berpisah,” balas Yusrina menggeleng pelan. Tentu saja memiliki seorang kakak atau adik menjadi kebahagiaan tersendiri. Walaupun tidak pernah luput dari pertengkaran sengit, tetapi terkadang mereka akan merindukan satu sama lain. Membuat persaudaraan jauh lebih erat ketika diselingi pertengkaran biasa yang tidak berujung pada kegagalan didikan orang tua. && Seperti biasa Evelina akan menyelesaikan pelatihannya tepat pukul 09.00 am dengan beberapa atlet tampak mengendarai kendaraannya sendiri maupun dijemput oleh orang tua maupun asisten rumah tangga mereka. Namun, tidak dengan Evelina yang berusaha menghubungi sang ibu sembari menunggu kedatangannya untuk menjemput. Sebab, Wendy telah meminta pada Evelina untuk tidak pulang lebih dulu dan berharap tetap menunggunya sampai datang. Akan tetapi, sudah tiga puluh menit terlewat Wendy belum juga muncul membuat Evelina mendadak cemas. Ia tidak ingin terjadi sesuatu pada wanita itu sekaligus mencemaskan mungkin sang ibu melupakan janjinya sendiri akibat terlalu sibuk. Berkali-kali Evelina mengubungi ponsel sang ibu yang hanya berdering tanpa diangkat sama sekali. Membuat gadis itu mengembuskan napasnya bersandar pada rute perjalanan halte yang kosong. Sebenarnya Evelina menunggu di halte agar tidak ada yang memberinya tumpangan, karena itu akan sangat merepotkan. Terlebih para atlet yang berada di bawah tingkat Evelina terkadang merasa tidak enak ketika meninggalkan gadis itu sendiri. “Halo, Mah! Mamah di mana? Eve udah pulang,” tanya Evelina tepat ketika panggilannya tersambung. “Maaf, sayang. Mamah kelupaan tadi banyak berbincang sama Tante Rina. Mamah sekarang ke sana. Oke? Kamu enggak apa-apa, ‘kan?” Wendy terdengar panik membuat Evelina merasa bersalah. “Iya, Mah. Eve tunggu di depan halte.” Setelah selesai menghubungi sang ibu, Evelina pun kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Gadis itu mengerti bahwa sang ibu terkadang sering melupakan sesuatu sampai Evelina merasa bahwa penyakit Wendy selalu datang dan pergi sesuka hati. Tak lama kemudian, sebuah sedan putih nan mewah pun muncul dengan menepi tepat di depan halte membuat Evelina bangkit menghampirinya dengan tersenyum senang. Wajah lelahnya seakan sirna menatap kedatangan sang ibu yang mungkin berkali-kali menyalahkan kesalahannya sendiri. “Ya ampun, sayang! Mamah benar-benar lupa tadi. Kamu udah nunggu lama di situ, ya?” tebak Wendy memberikan sebuah minuman yang sempat dipesan ketika asyik berjalan-jalan. Evelina menggeleng pelan sembari tersenyum menenangkan. “Enggak apa-apa, Mah. Eve senang kalau Mamah datang lebih awal dari perkiraan.” “Mamah tahu dari Zafran tadi, katanya kamu biasa pulang jam segini. Dan benar, pas Mamah lihat ponsel ternyata udah ada belasan telepon dari kamu. Pasti kamu lelah banget, ya. Maafin kesalahan Mamah,” sesal Wendy benar-benar merasa bersalah. Bahkan wanita yang menjadi ibu bagi Evelina itu pun tidak segan berulang kali meminta ampunan akibat kesalahannya sendiri. “It’s okay, Mom. Menunggu beberapa menit enggak akan menjadikan aku ikan asin di pinggir jalan,” pungkas Evelina setengah bercanda membuat sang ibu langsung tertawa pelan. Sudah tidak lagi mempermasalahkan keterlambatan, akhirnya Wendy dan Evelina pun bergerak menuju kediaman rumah yang terletak tidak terlalu jauh. Membutuhkan waktu sekitar dua puluh lima menit perjalanan tanpa macet sama sekali. Sejenak Evelina tercengang dengan barang belanjaan sang ibu yang terlihat sangat banyak berada di belakang. Bahkan bukan itu saja, masih ada di dalam bagasi belakang membuat Evelina semakin tidak mempercayai bahwa sang ibu benar-benar menghabiskan uang untuk kalap. “Mamah beli apa ini? Kok banyak belanjaan?” tanya Evelina bingung sekaligus penasaran. “Oh, itu semua diskon, Ve. Tadi Mamah keliling mal dan ketemu banyak barang yang udah jadi incaran sejak lama,” jawab Wendy santai. “Hah? Mamah yakin beli semua ini enggak akan kena marah Papah? Terakhir kali Papah marah karena Mamah kebanyakan beli barang yang ternyata enggak berguna sama sekali.” “Tenang aja, Ve. Kali ini Mamah yakin kalau Papah enggak akan marah, karena Mamah kebanyakan beli barang yang memang udah rusak. Oh ya, Mamah beli sekitar empat gaun untuk acara pensi sekolah kamu. Nanti jangan lupa dicobain, ya.” “Empat gaun!?” seru Evelina mendelik tidak percaya. “Astaga, Mamah kurang banyak belinya.” Wendy tersenyum jenaka, lalu berkata, “Itu semua gaun yang Mamah incar, Ve. Sayang banget kalau dilewatin gitu aja. Jadi, kamu jangan bilang sama Papah. Karena gaunnya Mamah beli secara terpisah.” Mau tidak mau Evelina mengangguki ucapan sang ibu. Gadis itu hampir tidak mempercayai kenyataan di depannya bahwa Wendy benar-benar berbanding balik sikapnya. Ketika Evelina lebih memilih untuk belanja barang yang lebih berguna, lain halnya dengan wanita itu yang memanfaatkan situasi hanya sekedar obral harga dan diskon. Membuat gadis itu benar-benar tidak percaya. Sejenak gadis itu mengambil beberapa paper bag yang berada di bawah kakinya, lalu melihat isi dalam tersebut ternyata sebuah atasan blouse cukup simpel, tetapi harganya sangat mencengangkan. “Mamah belanja barang branded lagi?” tanya Evelina mendapati beberapa brand ternama di dalam mobil. “Iya, kemarin ada pertemuan bisnis. Papah minta beli beberapa barang branded,” jawab Wendy jujur. Kali ini wanita paruh baya yang terlihat awet muda itu sama sekali tidak menyukai barang branded hanya untuk mencari citra saja. Karena hal tersebut sangat boros membuat Wendy lebih baik memilih untuk mencari barang-barang diskon yang bisa digunakan lebih lama. “Papah suka pertemuan bisnis di sana, Mah?” “Enggak terlalu sering juga, paling sebulan itu ada empat atau lima kali pertemuan aja. Itu pun didominasi sama pencapaian target tertentu ataupun pesta perayaan. Tapi, kamu ‘kan tahu kalangan pembisnis di Swiss itu seperti apa.” “Iya, benar. Makanya Eve lebih baik di sini dibandingkan kumpul sama anak-anak kaya yang hanya pamer harta.” “Cerdas! Mamah pikir kamu akan sombong, Ve. Karena punya Papah dan Mamah yang hebat,” goda Wendy menjawil hidung mungil Evelina dengan centil. “Enggaklah, Mah. Walaupun Eve penampilannya sederhana seperti ini, tapi enggak ada siapa pun yang berani,” balas Evelina tertawa pelan. “Benar, sayang. Jangan pernah merasa sombong saat merasa masih di atas. Karena ketika di bawah nanti akan banyak orang yang menolong.” “Tenang aja, Mah. Eve selalu ingat pesan-pesan Mamah.” Tepat mengatakan hal tersebut, tanpa sadar mobil yang ditumpangi keduanya pun sampai di sebuah rumah mewah. Keduanya beranjak turun sembari membawa banyak belanjaan sampai dibantu oleh Pak Jafra yang kebetulan sedang menyiram kebun. Lelaki paruh baya yang merangkap banyak pekerjaan itu tampak sigap membantu majikannya membawa barang belanjaan masuk. Sedangkan Evelina pun ikut andil membantu sang ibu dan Pak Jafra untuk membawa barang yang bisa dikatakan benar-benar banyak. Bahkan hampir menenggelamkan mobil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN