Rumor

1281 Kata
Sudah lima putaran Langit mengayuh sepedanya mengelilingi kompleks perumahan. Nafasnya sudah tersengal-sengal. Dan kausnya pun sudah basah oleh keringat yang bercucuran. Ia lalu berhenti di sebuah taman untuk melepas lelah. Diluruskan kedua kakinya yang terasa pegal di atas rerumputan. Ia memang sudah lama tidak bersepeda lagi. Kini ia mengamati orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Mereka juga baru saja memulai aktifitas olah raga. Bersepeda, berlari, atau hanya berjalan santai bersama keluarga, saudara, teman... Langit menarik nafas panjangnya. Bahkan teman saja ia sudah tidak punya. Sudah tiga tahun lamanya ia tidak pernah berkumpul lagi dengan teman-temannya. Sejak ia pindah ke rumah yang ditinggalinya saat ini. Ia memang sengaja menghilang, karena tidak ingin teman-teman lamanya mengetahui keberadaannya. Ia ingin menata hidup yang baru. Menjadi laki-laki yang bertanggung jawab untuk satu-satunya keluarga yang masih ia miliki, Mentari. Ia tidak ingin kembali lagi pada kehidupan lamanya yang keras dan terlalu banyak bersenang-senang. Fokusnya saat ini hanyalah bekerja sebaik-baiknya demi mencukupi kebutuhan ia dan adik semata wayangnya itu. Hanya dirinyalah satu-satunya tumpuan hidup Mentari saat ini. Meski terkadang ia merasa sangat lelah, tapi ia mencoba bertahan. Ia bahkan sudah melupakan cita-citanya sendiri. Karena baginya, masa depan Mentari jauh lebih penting. Ia akan membiayai Mentari hingga ke perguruan tinggi. Mentari harus lulus sampai sarjana. Dia tidak boleh seperti dirinya yang putus kuliah di tengah jalan. Kini Langit menatap ke atas. Ke arah matahari yang mulai mengeluarkan sinar panasnya. Ia lalu beranjak bangun. Dikayuhnya sepedanya lagi. Menempuh jarak dua puluh lima kilometer untuk sampai ke sebuah pemakanan umum. Langit memarkirkan sepedanya di tepi jalan kecil beraspal. Ditelusurinya jalan itu hingga sampai di depan dua makam yang saling bersisian. Ia lalu bersimpuh di sana sambil memanjatkan doa. Sudah tidak ada lagi kesedihan di wajahnya. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya melihatnya terpuruk lagi dalam duka. Ia ingin mereka melihatnya sebagai laki-laki dewasa yang kuat. Meski terkadang ia merasa sangat rapuh. Sudah tiga bulan lamanya ia tidak datang berkunjung. Rerumputan liar sudah tumbuh di sisi-sisi makam. Dan dedaunan kering berjatuhan di atasnya. Menutupi nisan bertuliskan nama kedua orang tuanya. Dipungutinya daun-daun kering itu dengan tangannya. Diusapnya nisan itu perlahan. Langit mencoba tersenyum, menutupi hatinya yang kembali terasa pilu. Rasa yang selalu datang setiap kali ia datang berkunjung. Setelah beberapa saat berdiam di sana Langit pun beranjak bangun. Lalu mengayuh sepedanya kembali pulang. Ia sangat lelah dan mengantuk. Tak sabar rasanya untuk kembali menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuknya. Tapi sesampainya di rumah Langit dibuat terkejut oleh penampakan sepatu dan sandal yang berserakan di depan pintu. Seketika ia teringat janjinya untuk memberi les lukis teman-teman Mentari hari ini. Dengan langkah lemas Langit masuk ke dalam rumah. Pupus sudah harapannya untuk kembali melanjutkan mimpi. Dilihatnya teman-teman Mentari sudah siap dengan papan lukis dan cat di tangannya masing-masing. "Selamat Pagi, Mas Langit!!" Sapa keenam remaja putri itu menyambut Langit dengan wajah sumringah "Selamat Pagi juga!" Sapa Langit dengan senyum terpaksa. Mentari keluar dari dalam dapur dengan wajah terkejut. "Aduh! Aku kirain Mas Langit lupa! Aku tadi telepon gak tahunya hapenya gak dibawa," sungutnya sambil membawa minuman dingin untuk teman-temannya. "Bilangin sama teman-teman kamu itu, hari ini gak boleh ada yang pegang hape. Semuanya pegang kuas lukis. Dan gak boleh ada yang cengengesan. Harus serius!" ucap Langit seraya bergegas masuk ke dalam kamar mandi. "Siap, Mas!" Jawab Mentari sambil menahan senyum. Kini langit sudah berganti pakaian. Ia baru saja selesai mandi. Ditatapnya bayangannya dalam cermin. Wajahnya tampak berantakan. Ia sudah lupa kapan terakhir kali memotong rambutnya. Sejak wanita itu meninggalkannya, ia jadi tak perduli lagi dengan penampilannya. Ah! Kenapa ia jadi mengingatnya lagi? Rutuknya. Langit berusaha menyunggingkan senyum kepada gadis-gadis remaja yang sudah berkumpul di studio lukisnya yang kecil. Kalau bukan karena bayarannya yang lumayan, ia enggan memberi les lukis kepada para ABG tujuh belas tahun itu. Mereka sungguh menguji kesabarannya. Mereka seperti anak TK yang diberi buku gambar dan krayon. Tak perduli apa yang digambar, yang penting bersenang-senang dengan warna. Kadang mereka lebih banyak bersenda gurau satu sama lain. Dan kadang mereka hanya memandangi dirinya saja sambil berbisik-bisik. Entah apa yang mereka gosipkan. ... Langit bangun lebih awal dari biasanya. Bahkan lebih awal dari Mentari. Setiap Hari Senin pekerjaannya memang lebih banyak, karena cafe perlu pembersihan ekstra setelah libur akhir pekan. "Pagi banget nih, Mas Langit?" Sapa Pak Riswan seraya mendorong lebar pintu gerbang yang masih tertutup. "Biasa, Pak. Senin!" Sahut Langit. "Dinas malam, nih Pak?" Tanyanya penuh harap. "Iya, Mas! Nanti saya bantuin ya, Mas. Sambil minta kopi," bisiknya. "Siap!" Jawab Langit sumringah. Di saat-saat seperti ini ia memang sangat membutuhkan bantuannya. Benar saja. Lima belas menit kemudian Pak Riswan sudah menyusul ke cafe dan langsung membantu Langit. Hingga pekerjaan Langit pun selesai lebih cepat dari biasanya. Dan kini keduanya menikmati kopi bersama di teras belakang. Dengan siraman hangatnya matahari pagi yang mulai muncul dari balik gedung-gedung pencakar langit. Diiringi dengan suara riuh lalu lintas di jalan raya yang mulai memadati ibu kota. "Mas Langit kemarin jatuhnya di sebelah mana? Tanya Pak Riswan tiba-tiba. Langit memandang Pak Riswan sambil tersenyum. Disesapnya kopinya sambil menebak-nebak, apakah Pak Riswan memang belum tahu yang sebenarnya atau dia hanya ingin memancingnya. Karena setelah kejadian itu banyak sekali rumor mengenai dirinya yang beredar simpang siur. "Di pojok sana itu." Dagu Langit menunjuk sudut teras di sampingnya. "Kepeleset kakinya cewek itu. Karena gelap jadi gak keliatan. Ya, akhirnya kita jadi jatuh berdua," ucapnya lagi. Ia tahu ceritanya ini akan menjadi versi yang kesekian dalam infotainmen gosip para penghuni Bagja Tower. Dan Pak Riswan adalah pembawa beritanya. Pak Riswan mendekatkan wajahnya. "Bukannya Mbak Malia itu mau lompat dari atas gedung, Mas?" Bisiknya. Langit tersenyum. Susah payah ia berusaha menyembunyikan kejadian yang sebenarnya, ternyata Pak Riswan sudah tahu. Ternyata benar dia hanya ingin memancingnya. "Kok, Pak Riswan tahu?" Tanyanya kemudian. "Saya tahu dari supirnya Pak Bagja," sahut Pak Riswan. "Kasihan sekali Mbak Malia itu Mas." Kini suara Pak Riswan terdengar prihatin. Langit mengernyitkan keningnya. "Kenapa, gitu?" Tanyanya penasaran Pak Riswan mengepulkan asap rokoknya ke udara. "Dia stres dikurung terus oleh orang tuanya di rumah. Gak boleh keluar." "Ah. Masa? Lah, itu kemarin keluar?" "Ya, itu akal-akalan dia, Mas. Pura-pura ijin ke pesta ulang tahun temannya supaya bisa keluar rumah." Langit terdiam. Diingatnya kembali kejadian malam itu. Pantas saja dia mengenakan gaun pesta. "Malahan tadinya dia gak boleh keluar sama sekali. Kalau pun pergi dia selalu ditemani supir. Pokoknya dia gak boleh pergi sendirian, Mas. Apalagi bawa mobil sendiri." "O ya? Bandel kali?" Pancing Langit. "Ah, tapi mukanya gak keliatan bandel. Cantik dan kalem begitu. Ramah lagi orangnya. Dia sering negur saya kalau ketemu." Langit kembali merenung. Apa yang membuat perempuan itu benar-benar depresi sampai Pak Bagja begitu protektif padanya? "Oh ya, waktu malam itu, siapa yang angkat saya ke mobilnya, Pak?" Tanyanya. "Oh, waktu Mas Langit pingsan itu kebetulan rekan saya yang jaga. Dia dan supirnya Mbak Malia yang mengangkat Mas Langit, pakai kursi roda punya klinik kantor. Kata rekan saya Mas Langit berat sekali. Mereka enggak kuat mengangkatnya." Langit pun tertawa mendengar ucapan Pak Riswan. "Tolong sampaikan terima kasih saya sama rekan Bapak." Langit menepuk bahu Pak Riswan. Pak Riswan menganggukan kepalanya. "Katanya, Mbak Malia itu panik banget melihat Mas Langit Pingsan. Dia sampai nangis." "Ah, masak?" Sahut Langit tak percaya. "Katanya sih, begitu Mas. Dia takut Mas Langit meninggal dunia." Langit kembali tertawa. Dicobanya mengingat kembali wajah Malia saat di dalam mobil itu. Kedua matanya terlihat berair. Tapi apa benar karena dia menangisinya? "Udah mau jam buka, Mas." Pak Riswan melirik jam tangannya. Lalu menyeruput kopinya sampai habis. "Saya ke pos dulu, ya. Makasih loh, kopinya," ucapnya lagi seraya beranjak bangun lalu pergi meninggalkan Langit. Dari balik dinding kaca Langit melihat Mas Bima baru saja masuk sambil menenteng boks rotinya. Langit pun beranjak bangun. Saatnya mulai bekerja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN