Drama Queen

1105 Kata
Dari jendela kaca Langit memandangi hari yang sudah hampir gelap dan hujan yang turun sejak sore. Ia sudah selesai membereskan cafe. Dan Mas Bima pun sudah pulang sejak tadi. Tapi ia masih di sini. Memandangi hujan yang tak berhenti. Bukan basah yang ia takuti, tapi genangan air dan macet yang membuatnya malas untuk segera pulang. Tapi sebuah pesan singkat yang baru saja masuk ke ponsel membuatnya berpikir ulang. Mentari mengirimkan gambar nasi goreng dengan sebuah telur ceplok di atasnya. Langit tersenyum. Mentari tidak bisa membuat makanan apa pun jadi enak, kecuali nasi gorengnya. Langit mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi. Akhirnya ia beranjak bangun. Dikenakannya jaket, lalu berjalan keluar dan masuk ke dalam elevator yang membawanya turun. Hujan sudah sedikit reda ketika ia melangkahkan kaki ke halaman parkir motornya yang terletak di luar gedung. Tapi sesampainya di sana ia terpaku. Dilihatnya perempuan itu tengah bersandar di Vespa tuanya. Tubuhnya basah kuyup kehujanan. Langit memandangnya tak percaya. Drama apalagi ini? Geramnya. "Lu kebanyakan nonton drakor kayaknya. Lu mau apa lagi?" Teriak Langit. Ia tak bisa lagi menahan emosinya. Kenapa perempuan ini selalu bikin ulah di saat perutnya kelaparan? Dasar perempuan stres, umpatnya dalam hati. "Aku cuma mau minta kamu datang ketemu orang tuaku," sahut Malia seraya menyibakan rambut panjangnya yang basah, yang menutupi separuh wajahnya. Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Ya, Tuhan Miss Drama Queen ini benar-benar menyiksanya. Sesaat ia berpikir. Ia tahu perempuan itu tidak akan berhenti mengejar sampai ia mendapatkan keinginannya. Dasar perempuan manja, rutuknya lagi di hati. "Ok!" Akhirnya Langit menyerah. "Besok aku datang ke rumah kamu. Ketemu orang tua kamu. Tapi habis itu kamu janji gak akan mengangguku lagi. Meminta aneh-aneh lagi, atau datang tiba-tiba ke rumah. Ok?" Malia mengangguk. Diusapnya wajahnya yang basah. "Sekarang kamu pulang. Cepat panggil supir kamu. Drama selesai! Aku mau cepat-cepat pulang." Langit mengibaskan tangannya. Meminta Malia untuk menyingkir dan menjauh dari motornya. Tapi Malia tak bergerak. Ia masih terdiam di sana. "Supirku udah aku suruh pulang tadi," sahut Malia dengan suara yang kini terdengar gemetar. Langit menepuk keningnya. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan putus asa. Dilihatnya jalanan dengan kendaraan yang sudah tidak bergerak oleh macet. Tak mungkin untuk memesan taksi online di saat seperti ini. Langit lalu menghela nafas panjang. "Ok. Aku antar kamu pulang," ucapnya pasrah. Dilepaskannya jaket dari tubuhnya, dan diberikannya kepada Malia. Kini ada senyum kecil tergurat di wajah Malia yang pucat. Di atas motornya Langit merasakan perutnya semakin lapar dan dingin. Sepanjang jalan Malia memeluknya sangat kencang. Seolah takut ia akan menjatuhkannya dari atas motor. Sesekali ia meliriknya dari kaca spion. Ia takut Malia benar-benar terjatuh. Baru kali inilah ia merasa sangat khawatir membonceng seseorang di motornya. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya jika ia jatuh dan membuatnya lecet. Bisa-bisa Mas Bima benar-benar memecatnya karena tak bisa lagi menyewa cafe di sana. Akhirnya setelah hampir satu jam perjalanan yang melelahkan, Langit tiba di depan sebuah rumah besar berdinding putih, dengan pagar besi yang menjulang tinggi di hadapannya. Dilambaikannya tangan pada kamera pengawas diatasnya. Dan beberapa detik kemudian dua orang pria berseragam keamanan mendorong pagar itu, lalu tergopoh-gopoh membawakan payung untuk tuan putrinya. "Makasih, ya," ucap Malia seraya membuka jaketnya dan mengulurkannya kepada Langit. Tapi Langit menolaknya. "Gak usah. Nanti aja. Aku udah terlanjur basah. Udah, ya!" Langit langsung tancap gas sebelum Malia sempat berucap lagi. Dari kejauhan Malia memandangi motor Langit hingga menghilang dari pandangannya. Dipeluknya jaket basah itu. .... Di atas kasurnya, Langit memandangi langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang jauh. Diingatnya kembali saat ia membonceng Malia, dan memandanginya dari kaca spion. Kepalanya bersandar di punggungnya. Matanya terpejam sepanjang perjalanan. Ia merasa ada yang aneh di hatinya. Kenapa bayangan wajah itu berputar-putar terus di kepalanya? Ia pun berusaha menghapus bayangan itu dengan memejamkan mata. Sepiring nasi goreng buatan Mentari membuat matanya terasa berat. Tapi Langit tak bisa benar-benar memejamkan mata. Masih terlalu sore untuk membuatnya terlelap. Dan bayangan Malia di kepalanya membuat otaknya terus berputar. Akhirnya ia pun beranjak bangun, lalu keluar dari dalam kamarnya. Tapi kenapa tidak ada suara dari kamar Mentari? Biasanya kamarnya selalu berisik oleh suara musik dan ocehannya di telepon. Diketuknya pintu kamar adiknya itu. Terdengar sebuah isakan lirih. Langit lalu membuka kamarnya yang tak terkunci. Dilihatnya Mentari buru-buru menghapus air matanya. Perlahan Langit pun menghampirinya. Dan tiba-tiba saja Mentari mendekapnya dengan erat. "Aku kangen Ibu sama Ayah, Mas!" Isaknya. Dan tangisnya pun pecah dipelukan Langit. Langit tak kuasa menahan air matanya. Selama ini ia bisa menahan kesedihan itu untuk dirinya. Tapi melihat adik tercintanya menangis, ia tak sanggup. Ia akan melakukan apa saja untuk membuatnya tetap ceria dan bahagia seperti biasanya. Mentari bukan orang yang cengeng. Mentari bahkan lebih kuat darinya. Sejak kepergian Ibu dan Ayah mereka tiga tahun yang lalu, jarang sekali ia melihatnya menangis seperti ini. Mentarilah bahkan yang lebih sering menguatkannya. Tapi kini ia melihatnya tak berdaya meratapi kesedihannya. Langit tahu dia sudah tidak kuat lagi. Dia sudah terlalu lelah memendam kesedihannya selama ini. Langit mengusap-ngusap rambut Mentari. Dibiarkannya adik yang sangat disayanginya melebihi apa pun di dunia ini menumpahkan semua kepedihannya. Hingga akhirnya tak didengarnya lagi suara tangisnya. Mungkin ia sudah lelah. Atau sudah tidak ada lagi air mata yang tersisa. Dilihatnya Mentari mengusap air mata dan melepaskan pelukannya. Lalu membiarkan tubuhnya jatuh di atas kasur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Langit menatap punggung adiknya dengan mata yang masih berair. Tak ada sepatah kata pun yang sanggup diucapkan untuk menenangkannya. Hanya tangannya yang masih terus mengelus rambut Mentari. Diciumnya kepala adiknya itu, sebelum kemudian ia beranjak keluar dari dalam kamar. Kini Langit melangkah ke studio lukisnya. Diambilnya sebuah lukisan yang tertutup kain putih di sudut ruangan. Dibukanya kain penutup itu. Sebuah lukisan besar berpigura kayu dengan kanvasnya yang sobek. Lukisan keluarga mereka berempat. Lukisan terakhir yang dibuat Ayah sebelum kecelakaan merenggut nyawanya. Langit mengusap kanvas yang sobek itu. Selama tiga tahun baru kali ini berani menyentuhnya lagi. Ia bahkan tak ingin memperbaiki sobekan itu. Biarlah itu menjadi saksi bisu yang akan dijadikannya bukti jika ia telah menemukan orang itu. Orang yang telah menabrak Ayahnya hingga mati lalu meninggalkannya begitu saja di tepi jalan. Orang yang membuat Ibunya jatuh sakit dan mati dalam kesedihannya. Orang yang memaksanya harus berhenti kuliah. Dan orang yang telah membuat adiknya meratap pilu hari ini. Setiap hari ia merapalkan doa agar orang itu mendapatkan kembali apa yang dirasakannya. Merasakan semua kepedihannya, kepiluannya kehilangan orang yang dicintai. Merasakan sakitnya menerima kenyataan yang merubah hidupnya dalam sekejap. Suatu saat ia akan bertemu orang itu. Dan ia akan menatap matanya untuk memastikan ia menerima semua penderitaan itu. Karena ia percaya karma itu ada. Langit mengusap air matanya yang menetes jatuh ke lukisan. Dipeluknya lukisan itu dalam dadanya. Dan kini ia kembali meratapi kesedihannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN